Monday 18 December 2006

Bermain dan Belajar

Kita harus terus menerus mengembangkan metode pelatihan perancangan. Metode yang digunakan diberi nama oleh para ahli pendidikan: Metode Pembelajaran Orang Dewasa alias andragogi. Kenapa andragogi? Katanya:

adults need to be involved in the planning and evaluation of their instruction (Self-concept and Motivation to learn), experience (including mistakes) provides the basis for learning activities (Experience), adults are most interested in learning subjects that have immediate relevance to their job or personal life (Readiness to learn), adult learning is problem-centered rather than content-oriented (Orientation to learning).

Awalnya, metode pelatihan yang digunakan oleh PSHK sangat terbatas. Kebanyakan ceramah dan tanya jawab. Seperti kuliah konvensional di kampus. Paling ditambah studi kasus, karena intinya memang praktek penggunaan metode pemecahan masalah (MPM) dan perancangan peraturan. Juga ditambah sedikit permainan di sela-sela sesi.

Tapi semakin kita ngobrol sama banyak orang dan belajar, kita jadi ingin semakin mengembangkan metode pelatihan. Keinginan ini makin kuat bukan hanya karena kita makin menyadari efek positifnya pendekatan belajar seperti ini, tapi juga karena terasa sekali banyak peserta yang merasa fun dan happy betul ketika mengikuti pelatihan. Bayangkan, anggota DPD, DPR, bisa sampai joget-joget dan ketawa-ketawa bahagia. Sampai-sampai ada beberapa anggota DPD yang beberapa kali ikut pelatihan karena alasan ini :-).


Sekarang ini, kita sudah punya beberapa lembar kasus dan permainan. Misalnya lembar kasus “Kisah Negeri Berduri” untuk membedakan antara MPM, ends-means, dan incrementalism. Juga menggunakan lagu-lagu seperti lagu Bang Toyib dan lagunya Benyamin untuk mendapatkan esensi bahwa satu masalah sosial, bisa disebabkan oleh banyak penyebab - pengantar ke agenda ROCCIPI.


Sekarang ini, rival sudah ikutan pelatihannya Inspirit dan PSHK sendiri waktu strategic planning 2006 lalu difasilitasi oleh salah satu pendiri Inspirit, Mas Dani. Sementara, aria juga sudah ikutan suatu pelatihan untuk fasilitator yang diselenggarakan oleh UNDP. Sehingga kita semakin banyak masukan. Termasuk untuk energizer.


Saya sendiri, dalam pengalaman saya diundang menjadi fasilitator, mulai “mencuri-curi” metode yang digunakan rival dan juga mas Dani sewaktu memfasilitasi SP kita [nggak keberatan kan Mas… ;-), belum punya uang buat ikut pelatihan Inspirit siiih… :-)].


Yang menarik, pendekatan yang mulai dipakai rival untuk menggunakan kartu-kartu anak-anak untuk sesi pengelompokkan dan penata-urutan peraturan (grouping and ordering). Sementara, waktu pelatihan DPD kemarin, saya dan Anna menggunakan resep makanan.

Yang saya “curi” dari metode yang dipakai mas Dani waktu SP adalah “mandala”. Metode ini saya gunakan untuk membantu ibu-ibu anggota legislatif aceh untuk berefleksi, sebelum mereka masuk ke materi soal bagaimana peran mereka sebagai legislatif perempuan dalam fungsi legislasi yang mereka miliki. Mandala adalah sebuah gambar bulatan yang di tengahnya ada sebuah gambar dan kemudian di antara lingkaran dalam dan lingkaran luar dibagi-bagi lagi untuk diisi dengan gambar-gambar lainnya. Untuk ibu-ibu itu, saya minta mereka menggambar simbol atau gambar apapun yang bisa menceritakan “kenapa mau menjadi anggota legislatif?” untuk bagian tengah. Sementara ruang di antara lingkaran tengah dan lingkaran terluar kita bagi menjadi tiga bagian untuk tiga gambar: cita-cita sebagai anggota legislatif perempuan, kelebihan sebagai anggota legislatif perempuan, dan masalah perempuan yang paling menjadi perhatian. Gambar-gambar ini hanya alat untuk mereka berefleksi sewaktu menggambar dan kemudian bercerita lebih banyak ketika mereka diminta menceritakan makna gambar-gambar itu. Saya cukup suka metode ini sebagai alat refleksi. Sebab sewaktu SP, terasa betul efek refleksi itu pada saya.

Beberapa peserta tampak malu-malu. "Kayak mana ini.. saya nggak bisa menggambar." Susah juga saya meyakinkan mereka bahwa bukan gambar yang mau dinilai. Mungkin karena mereka tidak biasa: pelatihan kok disuruh menggambar! :-) Sebagian lagi, meniru gambar lambang perempuan yang kebetulan terpampang di halaman awal presentasi saya. Sebuah strategi yang salah untuk menayangkan gambar itu di bagian awal. Tapi toh yang penting memang refleksinya. Cerita-cerita mereka sangat menarik! Ada yang berkeinginan membantu perempuan buruh perkebunan di kabupatennya. Ada yang ingin membantu perempuan korban konflik di Aceh. Ada yang hobi berkebun dan menganggap itu sebagai kelebihannya untuk meningkatkan kapasitas perempuan dalam hal ekonomi, dan lain sebagainya. Dari situ, baru saya presentasikan soal peran hukum dan fungsi legislasi mereka, dengan selalu mengaitkannya dengan potongan-potongan cerita mereka. Kesimpulannya, banyak yang bisa dilakukan untuk perempuan melalui fungsi legislasi. Banyak Qanun yang bisa didorong dan perlu dicegah :-) supaya perempuan di Aceh tidak lagi tertindas dan semakin berdaya.

Sekarang ini kita sedang terus menerus mengembangkan metode pelatihan. Saya yakin setiap pulang pelatihan pasti banyak cerita baru dari para fasilitator. Tapi yang jelas, buat saya (dan saya yakin juga buat kawans lain), banyak hal yang juga saya pelajari dari peserta setiap pelatihan. Dan tentu saja yang paling membuat saya seringkali seperti batere yang di-charged adalah setiap kali mendengar pengalaman mereka.

Friday 15 December 2006

Hukum agama, hukum negara

Judul di atas bisa jadi debat yang panjang kalau bicara dengan pendukung negara islam. Yang bikin ketawa, waktu urusan poligami ramai lagi gara si aa berturban ajaib itu, ramai-ramai pendukung poligami bilang "negara tidak usah mencampuri urusan agama, poligami atau tidak, saya bisa adil atau tidak, itu urusan saya dengan Tuhan saya!" Sementara, kalau urusannya mau mengatur "moral" atau kesusilaan, katanya "Negara mesti mengatur moral masyarakat." Bahkan: syari'at Islam mesti masuk konstitusi. Nah!

Coba, kalau saya bilang urusan perempuan aceh harus berjilbab atau tidak itu urusan si perempuan dengan Tuhannya, jangan dipaksa, atau dirazia sama Wilayatul Hisbah (Satpol PP Syari'at-nya Aceh, di bawah Dinas Syari'ah Pemda), saya bisa didebat sambil ditunjuk-tunjuk :-). Waktu saya dan rbm mempertanyakan soal syari'at atas interpretasi yang mana saja, kita langsung dimarah-marahi hihi. Untung rbm sarjana syari'at.. hehe

Urusan poligami biarin lah, saya udah "eneg". Capek diskusinya. Soalnya cara pandang sih. Mau diskusi 7 harmal juga tidak akan habis. Mentok-mentok, diulang lagi: yang penting negara nggak usah mengatur mau poligami atau tidak, itu urusan pribadi, bukan urusan publik. Padahal, ya itu tadi, kalau urusannya "moral", sampai ada RUU APP, RUU KUHP, yang mengatur urusan "pribadi" seperti dilarang pakai baju seksi (RUU APP) dan kumpul kebo (RUU KUHP).

Yang mau saya angkat di sini sebenarnya soal kegelisahan saya terhadap Qanun (buat yang belum tahu, Perda di Aceh namanya Qanun, di Papua juga khusus, namanya Perdasus dan Perdasi). Sama seperti kegelisahan saya pada segala peraturan moral dan kesusilaan. Tapi untuk Qanun Aceh, ada soal "drafting"nya yang unik. Qanun-qanun di Aceh itu memasukkan Al Qur'an dan Hadits di dalam konsiderans "Mengingat".

Teorinya, konsiderans "mengingat" itu isinya dua. Pertama, dasar hukum bagi lembaga pembuat peraturan itu untuk membentuk peraturan itu. Kedua, peraturan-peraturan yang terkait dengan materi muatan, baik yang secara hirarkhi ada di atasnya, maupun peraturan yang tingkatnya setara.

Lalu, apa hadits dan al Qur'an bisa jadi dasar hukum? Saya selalu bilang sama teman-teman di Aceh: TIDAK. Kenapa?

Pertama, kita bicara soal hukum negara, hukum positif. Maka yang dimaksud dengan peraturan di atasnya atau sejajar adalah peraturan sesuai hirarkhi peraturan di UU 10/2004, yaitu UUD, UU/PERPU, PP, Perpres, Perda. Bahkan Keppres, Kepmen, SE, dll tidak bisa masuk ke situ karena bukan "peraturan perundang-undangan". Diskusi yang lebih dalam, kita ini memang negara sekuler, itu jelas di UUD. Saya nggak suka menyambungkan dengan pancasila kalau untuk soal pluralisme ini. Mau bicara hukum dan pluralisme? ya konstitusi dong, jelas tuh.

Kedua, saya sebagai orang Islam (biasa.. namanya juga cari-cari "kekitaan"... hehe), percaya bahwa menempatkan Al Qur'an dan Hadits yang buatan Allah dan Muhammad SAW sama saja dengan merendahkan kedua maha sumber hukum itu karena menempatkannya sejajar dengan hukum buatan manusia!

Jalan tengahnya, kalau memang mau merujuk ke al Qur'an dan Hadits, masukkan itu ke dalam konsiderans "menimbang", dan di bagian Penjelasan umum. Sebab konsiderans menimbang memuat landasan-landasan filosofis, sosiologis, yuridis. Kalau dalam Metode Pemecahan Masalah (MPM), di situ masuk masalah sosial, penyebab, dan lain-lain. Sementara, Penjelasan Umum itu bisa banyak menceritakan konteks pertimbangan. Saya harus memberikan jalan tengah ini karena harus ada sesuatu yang bisa diterima bersama, daripada soal perancangan jadi makin kacau??! Kenapa terkesan saya merasa "terpaksa" memberikan jalan tengah ini? Karena saya memang tidak setuju betul hukum Islam masuk hukum negara. Kalau mau tahu alasan kenapa saya tidak setuju, nanti saya buat artikel tersendiri, soalnya bisa panjang :-). Yang jelas, untuk satu hal yang obvious saja: tidak akan pernah ada satu interpretasi soal hukum Islam. Contoh paling dekat: NU sama Muhammadiyah saja sering tidak sepakat soal "kapan hari raya idul fitri". Nah lho! Di soal begini saja tiap tahun jadi repot, apalagi mau bicara soal apakah sebenarnya Islam mengharuskan perempuan pakai jilbab??

Padahal, begitu jadi "peraturan", hukum positif, maka sebuah norma jadi bersifat "coercive". Punya kekuatan memaksa yang besar. Semua warga negara harus tunduk dan bisa dihukum bila melanggar peraturan.

Balik lagi ke soal konsiderans Qanun. Sayangnya, argumen saya bisa diterima oleh banyak orang, kecuali ulama hehe.. padahal di aceh kalau mau punya legitimasi harus bawa-bawa ulama. Bu Maria ngomong begitu juga, dibilang karena dia kristen, nggak paham islam. Walah.. repot deh kalau urusan agama-agama-an begini...

Monday 11 December 2006

Hukum untuk Transformasi Sosial

Mungkin sebagian besar orang di Indonesia saat ini sangsi bahwa hukum ada pengaruhnya terhadap perubahan sosial. Apalagi untuk percaya sampai mentransformasi kondisi sosial, "kayaknya gak mungkin deh!". Malah sebaliknya, hukum lebih sering dianggap menguntungkan status quo. Cuma buat melesetarikan kepentingan dan kelompok yang sedang berkuasa saja. Lalu apa gunanya kita belajar apalagi meyakini bahwa peraturan perundang-undangan bisa jadi sarana memperjuangkan kepentingan kaum marjinal? Apa tidak salah kaprah? Apa tidak buang-buang energi saja?

Kaum yang sangsi memang punya alasan teoritik maupun empirik. Tak susah sama sekali untuk percaya pada apa yang dipidatokan penganut Marxist klasik bahwa hukum hanyalah alat kaum berkuasa, kalau di depan mata kita berulang kali disuguhkan peristiwa-peristiwa nyata di mana hukum dan aparatus penegaknya sewenang-wenang terhadap kelompok yang lemah. Perda-perda lebih banyak menggusur daripada memberi tempat hidup bagi keluarga-keluarga yang sudah terjepit hidupnya di kota-kota besar. Aparatus hukum lebih garang kepada tukang beca, pedagang kaki lima, perempuan dan anak-anak di jalanan, tapi justru lemah gemulai dihadapan pengusaha, anak mantan presiden, dan birokrat pemeras.

Namun sesungguhnya, meyakini bahwa hukum sama sekali tak berperan untuk mengubah nasib banyak orang lemah juga bisa menyesatkan, dan malah menguntungkan yang sedang berkuasa juga. Hukum sebagai sarana memang punya keterbatasan, tapi juga punya kekuatan. Contoh di atas sebetulnya secara tak langsung membuktikan, kalau hukum ada pengaruhnya pada perubahan sosial.

Masyarakat sejatinya selalu berubah, tidak statis, seperti sungai. Air dan berbagai unsurnya bergerak menuju arah tertentu. Hukum, baik yang tertulis maupun tidak, sebetulnya seperti endapan sungai alias sedimentasi. Cenderung statis dan mengarahkan arus aliran sungai.

Ada tiga hal yang membuat hukum lebih kokoh: perspektifnya (dasar filosofisnya), materi pengaturannya dan kelembagaannya. Semakin erat kaitan di antara ketiganya semakin kokoh bangunan hukum yang terbentuk. Tiga hal inilah yang mesti dipertimbangkan bila menginginkan hukum yang proses pembentukan dan pelaksanaannya mendorong transformasi sosial. Jadi, perancang yang progresif, pasti akan mempertimbangkan tiga unsur bila ingin melakukan perubahan sosial melalui hukum.

Peraturan Yang Melindungi Hak perempuan

[Catatan Pengantar Diskusi dalam “Seminar on Mechanism and Legislation to Promote Gender Equality in Aceh, Banda Aceh, 6 Desember 2006]

Catatan ringkas ini dibuat dengan asumsi bahwa di dalam seminar ini perdebatan tentang hak perempuan sudah selesai. Sehingga pembahasan diarahkan secara khusus pada bagaimana mendorong lahirnya peraturan perundang-undangan yang melindungi dan mempromosikan hak-hak perempuan.

PERLINDUNGAN DAN PEMAJUAN HAK-HAK PEREMPUAN DALAM PERATURAN

Perempuan seringkali dihadapkan pada penolakan atas hak-haknya. Penolakan atas hak untuk memiliki pilihan-pilihan hidup yang setara dengan laki-laki adalah satu hal. Namun di banyak tempat dan waktu, hak asasi manusia yang mendasar, seperti hak untuk tidak mendapatan kekerasan fisik, bahkan dianggap tidak berlaku bagi perempuan karena ‘kodrat’-nya sebagai perempuan, dan juga kadang sebagai istri. Budaya, bisa dipastikan akan menjadi tantangan terbesar. Tentu saja setiap bicara budaya, kita sesungguhnya sedang berbicara tentang sesuatu yang bersifat struktural. Dan pada komunitas dengan budaya patriarki yang kuat, isu ini menjadi jauh lebih rumit. Apalagi, seringkali ‘budaya’ ini sudah berurat-akar sehingga ada anggapan yang umum bahwa perempuan sudah begitu dihormati dalam kodratnya. Karena itu, pengaturan untuk melindungi perempuan tidak diperlukan karena komunitasnya secara serta merta akan menghormati perempuan. Lantas ‘kodrat’ dan ‘penghormatan’ pun diinterpretasikan dalam konteks budaya yang dominan.Dalam konteks inilah, mempromosikan peraturan perundang-undangan yang melindungi dan mempromosikan hak-hak perempuan menjadi sangat krusial. Peraturan perundang-undangan sebagai instrumen yang legitimate dan bersifat coercive dalam banyak hal seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, peraturan bisa berguna bagi masyarakatnya. Mendorong ketertiban, mendorong perubahan sosial. Di sisi lainnya, peraturan bisa mendorong ketertiban yang tidak adil dan represi bagi kelompok marjinal dalam mendorong perubahan sosial. Begitu pula halnya bagi perempuan. Bila tidak ‘awas’, peraturan justru bisa menjadi instrumen sah untuk menindas perempuan.

Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam mengawal substansi peraturan yang melindungi hak perempuan. Pertama, peraturan yang secara khusus mengatur isu perempuan, misalnya: Rancangan Qanun tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan. Kedua, peraturan yang tidak secara khusus mengatur soal perempuan tetapi berpotensi melanggar hak-hak perempuan, misalnya peraturan ketenagakerjaan yang tidak sensitif terhadap hak-hak pekerja perempuan.

UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) sendiri mengatur beberapa hal mengenai isu perempuan. Salah satunya yang saat ini sedang dibahas adalah Rancangan Qanun tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan. Rancangan yang berisi pernyataan hak-hak perempuan ini pernah dibahas dalam sebuah diskusi terbatas yang diselenggarakan oleh MisPi beberapa minggu lalu dan menghasilkan beberapa kritik yang cukup komprehensif. Namun pertanyaan mendasar yang patut diajukan adalah, apakah Pasal 231 UU PA memang memerintahkan secara kaku dan eksplisit untuk membuat satu qanun untuk mengatur hak-hak perempuan? Bila pun hal ini memang benar dilakukan, tidakkah sebaiknya dimasukkan pula ketentuan yang mensyaratkan adanya pengarusutamaan jender dalam mekanisme perancangan dan pembahasan qanun? Apalagi, UU PA sebenarnya sudah memberikan dasar hukum yang memadai untuk melindungi HAM dan hak-hak perempuan.

Soal Perempuan dalam UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh

No

Isu

Pasal

1.

Tugas gubernur dan wakil gubernur serta walikota dan wakil walikota untuk memberdayakan perempuan

Pasal 44 dan 45

2.

Memperhatikan 30% keterwakilan perempuan dalam pendirian dan kepengurusan partai lokal

Pasal 75

3.

Keterwakilan perempuan dalam MPU

Pasal 138

4.

Prinsip dasar ekonomi Aceh:
Usaha perekonomian di Aceh diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan, penghormatan atas hak-hak rakyat setempat, pemberian peluang dan akses pendanaan seluas-luasnya kepada usaha ekonomi kelompok perempuan, serta pemberian jaminan hukum bagi pengusaha dan pekerja.

Pasal 154

5.

Pendidikan:
Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat termasuk kelompok perempuan melalui peran serta dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengendalian mutu layanan.

Pasal 215 ayat (2)

6.

Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota serta penduduk Aceh berkewajiban memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak serta melakukan upaya pemberdayaan yang bermartabat.

Pasal 231 ayat (1)


Ada dua “jebakan” bagi hak perempuan yang mungkin ada dalam peraturan. Pertama kali tentu saja di dalam substansinya itu sendiri, dan kedua, di dalam rincian kalimat.

Dari segi substansi, beberapa peraturan yang mengatur soal moral dan kesusilaan seringkali menjadi pintu masuk pelanggaran hak perempuan. Sudah jamak bahwa peraturan mengenai kesusilaan memang selalu berdampak negatif pada kelompok marjinal: orang miskin, perempuan, dan lain sebagainya. Karena soal ‘kesusilaan’ adalah soal interpretasi budaya dari kelompok yang dominan. Di sinilah, kelompok-kelompok yang mendorong perlindungan dan promosi hak-hak perempuan harus waspada. Perda Garut No. 6 Tahun 2000 tentang Kesusilaan dan Perda Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran adalah dua contoh konkrit peraturan semacam ini. Karena itu, adopsi kesusilaan dan moral dalam agama dalam hukum positif juga mesti diperhatikan baik-baik.

Dari segi rincian kalimat, yang harus diperhatikan adalah bagaimana konteks budaya dan struktur organisasi lembaga pelaksana peraturan akan menafsirkan kalimat-kalimat tertentu, yang mungkin aslinya tidak diskrimatif terhadap perempuan. Kata-kata memang selalu bekerja dalam konteks.


Catatan lainnya yang harus diperhatikan adalah pentingnya memasukkan mekanisme dan prosedur untuk mendapatkan hak-hak. Pernyataan hak ‘saja’ tidak akan ada manfaatnya dalam peraturan perundang-undangan. Menyatakan hak dalam peraturan perundang-undangan cukup untuk peraturan yang bersifat ‘bill of rights’, misalnya saja konstitusi, dan juga UU HAM dan peraturan perundang-undangan mengenai pengesahan konvensi/kovenan internasional yang terkait dengan hak asasi manusia (mis. Ratifikasi Kovenan Ekosob dan Sipol). Kalaupun perlu ada pernyatan hak (“setiap orang berhak...” atau “perempuan berhak...”) untuk menegaskan adanya hak, pasal ini harus diikuti dengan mekanisme dan prosedurnya. Karena pernyataan hak ‘saja’ tidak bisa diimplementasikan.

MEKANISME YANG MEMUNGKINKAN LAHIRNYA PERATURAN YANG MELINDUNGI HAK PEREMPUAN

1. Keterwakilan

Keterwakilan perempuan mesti ada baik dalam institusi yang merancang peraturan maupun yang membahas peraturan.

Di dalam yang mengkoordinasikan perancangan peraturan (Biro Hukum) seharusnya ada keterwakilan perempuan. Berbeda dengan institusi politik, biro hukum sebagai institusi birokrasi tentunya memiliki sistem rekrutmen yang berbeda sehingg jaminan keterwakilan staf perempuan tidak bisa dipaksakan dalam strukturnya. Karena itu, yang mestinya diperhatikan, bahkan lebih daripada sekadar jumlah staf perempuan yang ada, adalah perspektif jender yang dimiliki oleh para perancangnya. Perancanglah memegang peran yang krusial pertama kali dalam menghasilkan rancangan peraturan, bukan politisi pembahasnya. Sebab pembahasan peraturan oleh legislatif dan eksekutif bagaimanapun akan berdasar pada rancangan yang sudah disiapkan.

Di dalam legislatif, isu keterwakilan perempuan menjadi penting dalam hal pemunculan isu perempuan. Mengawal adalah satu hal, namun memunculkan isu perempuan adalah hal lain. Soalnya, apakah perempuan yang ada di lembaga legislatif juga sudah memiliki perspektif jender yang memadai? Persoalan sistem pemilu dan partai politik tentu bisa menjadi isu di sini, namun upaya penyadaran melalui pelatihan dan jaringan adalah upaya yang sangat dibutuhkan.

2. Partisipasi

Mekanisme partisipasi juga menjadi kunci penting. Sehebat apapun politisi perempuan dan politisi lelaki yang berperspektif perempuan, tetap saja harus ada mekanisme yang memastikan didengarnya suara-suara perempuan dari luar. Sebab banyak pengalaman perempuan yang juga tidak bisa diterjemahkan secara utuh oleh perancang maupun politisi. Misalnya masalah perempuan korban konflik atau masalah perempuan korban traficking. Telah banyak argumentasi mengenai partisipasi. Namun masalahnya tidak kunjung usai karena kata partisipasi justru menjadi arena perebutan makna. Karena partisipasi menjadi salah satu kata kunci dalam pengelolaan negara modern sejak akhir abad 20. Timbul kesadaran akan kelemahan kelembagaan politik. Terutama dalam konteks lembaga perwakilan. Soalnya bukan hanya pada kualitas ketewakilan yang mestinya bisa diukur melalui pola hubungan antara partai/wakil rakyat melalui konstituen, tetapi juga melalui pola pengambilan keputusan di dalam partai dan di dalam parlemen.

Sejak dekade 1990-an, pemerintah menggunakan istilah ‘partisipasi’ atau ‘konsultasi publik’ dalam banyak pembentukan kebijakan. Ada dua pandangan utama mengenai hal ini, yaitu pandangan liberal dan pandangan dalam garis pemikiran Marxisme tentang relasi kelas yang tidak seimbang. Namun bila dilihat lebih dalam, kedua pandangan di atas sesungguhnya berdiri pada pijakan yang sama, yaitu bahwa hukum adalah suatu arena pertarungan kepentingan. Soalnya hanya pada bagaimana kemudian pertarungan itu dilihat: apakah semua kepentingan dianggap sama atau ada kelompok yang dianggap selalu lebih kuat? Dan lantas bagaimana merespon persoalan itu? Karena itu, terlepas dari pandangan mana yang diyakini, partisipasi dalam pembentukan kebijakan selalu dianggap penting.

Dalam konteks kebijakan berperspektif jender, partisipasi perempuan harus dilihat secara khusus. Perempuan, serta kelompok-kelompok marjinal lainnya (yang tidak mempunyai akses kepada kekuasaan), seharusnya mendapatkan mekanisme khusus dalam berpartisipasi. Baik dalam bentuk undangan berpartisipasi, maupun metode partisipasi.

Untuk itulah, penting untuk memasukkan kekhususan bagi kelompok marjinal dalam rancangan Qanun tentang Mekanisme Pembentukan Qanun yang saat ini tengah disiapkan. Dan Qanun itu tidak boleh lagi-lagi hanya mengatur HAK, namun MEKANISME: bagaimana hak partisipasi ini konkrit didapatkan dan kewajiban Pemda dan DPRD untuk secara khusus mengakomodasi suara perempuan.

Di tingkat teknis, sebagai langkah pertama, penting bagi DPRD (DPRA dan DPRK) maupun Biro Hukum Pemda untuk membuat suatu database pemangku kepentingan perempuan, di samping berbagai kelompok kepentingan dalam pembuatan peraturan

Yuk!

Kenapa blog? karena kawan-kawan bisa menulis apa saja di sini. Sharing pengalaman dan pengetahuan. Dan nggak usah repot-repot memikirkan bahasa yang harus baik dan benar karena ini bukan publikasi resmi :-). Kalau ada ide, pokoknya, tulis aja! Nggak usah mikirin bahasa sudah baik dan benar atau tidak dan apakah akan diterima editor atau tidak :-)

Biar ada pemulainya, saya upload dulu, catatan ringkas saya buat seminar soal peraturan yang melindungi perempuan minggu lalu. Selanjutnya, dari waktu ke waktu, tampilan blog ini akan kita coba perbaiki (maklum pemula juga siiih...)

Yuk, mulai nulis!

Thursday 5 October 2006

Tentang PerancangProgresif.Blogspot.Com

Perancang? duh, jangan salah ya, ini bukan blognya perancang mode, dan juga bukan blognya "drafter" lulusan STM :-). Memang susah mencari padanan kata yang sesuai untuk "legislative drafter" alias perancang peraturan perundang-undangan.

Progresif?
Agak repot ya kalau menjelaskan konsep progresif. Intinya, kata ini dipilih karena keinginan untuk membedakan diri dengan perancang peraturan yang konservatif, yaitu yang positivistik, yang melihat peraturan hanya sebagai instrumen pengatur disiplin dan didominasi oleh kepentingan elite politik. Lebih lanjutnya, di-google aja! :-) atau sekalian kita diskusikan di sini.


Kenapa blog?
Karena kawan-kawan bisa menulis apa saja di sini. Sharing pengalaman dan pengetahuan. Tidak usah repot memikirkan soal tata bahasa, jumlah kata, diterima atau tidak oleh editor, dan lain-lain. Kalau ada ide, tulis aja! :-)

Blog ini bukan tentang pshk atau dpr atau hukum semata. Tetapi tentang siapa saja yang percaya bahwa hukum seharusnya dekat dengan masyarakat (orang-orang yang diaturnya) dan merancang peraturan (legislative drafting) bukan soal merancang instrumen kedisiplinan semata. Dan yang paling penting: buat siapa saja yang percaya bahwa banyak membaca dan menulis baik untuk otak :-p

Blog ini adalah tempat bertukar pengalaman, gagasan, cerita, foto, atau apa saja, yang berkaitan dengan perancangan peraturan yang progresif, yaitu yang menolak untuk melihat hukum sebagai instrumen pengatur ketertiban belaka.
  • Mau ikut menulis di sini tapi sungkan menjadi anggota penulis blog ini? Kirim tulisan anda via email ke mbak.pos@gmail.com
  • Mau selalu mendapatkan info tentang blog ini? Daftar saja ke “feed” blog ini di: http://perancangprogresif.blogspot.com/feeds/posts/default.
  • Pernah ikut pelatihan yang diselenggarakan PSHK atau difasilitasi oleh peneliti PSHK dan ingin terus bertukar pengalaman dan gagasan dengan peserta-peserta lainnya? Gabung ke milis perancang progresif, dengan mengirimkan email kosong ke perancangprogresif-subscribe@yahoogroups.com (untuk keperluan menjaga efektivitas diskusi, secara otomatis anda akan diminta mengisi biodata ketika mendaftar).