Wednesday 19 December 2007

Naskah Akademik, Dokumen Kebijakan, dan Pemangku Kepentingan

[Catatan Pengantar Diskusi (dimodifikasi) dalam Lokakarya Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat Penyusunan RUU dan Raperda, diselenggarakan oleh Bappenas, Jakarta, 19 Desember 2007]

Naskah akademik seperti ada dan tiada dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Keberadaannya sering diinginkan, namun belum adanya dasar hukum yang kuat membuat Naskah Akademik seringkali tidak ada. Dalam praktek keberadaan Naskah Akademik muncul dari penelitian-penelitian yang dibuat oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional sejak 1970-an. Namun istilah ini baru mulai muncul dalam ‘teks’ hukum pada 2000-an.

Definisi Naskah Akademik bisa dilihat pada Perpres 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rancangan Perpu, Rancangan PP, dan Rancangan Perpres.
“Naskah Akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan Rancangan Undang-Undang.” (Pasal 1 Angka 7 Perpres 68/2005)
Yang menyusunnya adalah instansi pemrakarsa. Namun menurut Perpres 68/2005 Naskah Akademik bukanlah suatu kewajiban, normanya adalah “dapat”. Dinyatakan bahwa pemrakarsa dapat menyampaikan Naskah Akademik. Artinya, instansi pemrakarsa boleh saja tidak membuat Naskah Akademik, sepanjang ada konsepsi yang jelas. Begitu pula, istilah Naskah Akademik hanya muncul dalam pasal-pasal yang mengatur pengajuan RUU di luar Prolegnas (Pasal 5 Perpres 68/2005).

Didambakan dalam Praktek

Namun di dalam praktek, kehadiran Naskah Akademik memang seringkali diminta dalam pembahasan undang-undang. Pada saat ini dalam pembahasan di DPR RI hampir bisa dipastikan ada Naskah Akademik yang melengkapi sebuah naskah RUU. Karena itu (atau barangkali justru faktor ini yang mendorong adanya Naskah Akademik), dalam perencanaannya pun Naskah Akademik justru dijadikan syarat oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dalam pengajuan RUU prioritas dari departemen teknis. Adanya Naskah Akademik disepakati untuk dijadikan salah satu kriteria teknis dalam membatasi besarnya jumlah usulan RUU dari pemerintah (Lihat Pedoman Rapat Pembahasan Tahunan Prolegnas 2007 yang disusun oleh BPHN. Kriteria lainnya adalah (i) harus telah selesainya proses harmonisasi RUU di Departemen Hukum dan HAM; dan (ii) sudah ada naskah/draft RUU-nya. Hal ini juga tercermin dalam Tabel Rekapitulasi Hasil Monitoring Rancangan Undang-Undang Prolegnas Usulan Pemerintah (Departemen/LPND) Tahun 2007).

Mengenai apa dan bagaimana penyusunan Naskah Akademik, belum ada pengaturan lebih jauh. Pasal 5 Perpres 68/2005 menyatakan dua kriteria. Pertama, pembuatnya adalah oleh pemrakarsa dan Dephukham dan pelaksanaannya dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk itu. Kedua, muatannya sekurang-kurangnya adalah dasar filosofis, sosiologis, yuridis, pokok dan lingkup materi yang akan diatur. Selanjutnya, akan diatur di dalam sebuah peraturan menteri.

Menariknya, di daerah keinginan akan adanya Naskah Akademik juga mengemuka dengan kuat. Hal ini muncul dalam berbagai aktivitas yang saya lakukan dalam pelatihan maupun pendampingan DPRD. Namun masalahnya adalah ketiadaan sumber daya (manusia dan dana) yang memadai untuk membuatnya. Sehingga kalaupun ada Naskah Akademik, kualitasnya juga kurang memadai. Dalam hal istilah pun Naskah Akademik seringkali memunculkan salah kaprah di lapangan. Seringkali ada asumsi bahwa pembuat Naskah Akademik adalah akademisi dari universitas karena penggunaan istilah “akademik”.

Satu contoh kasus yang menarik adalah di Aceh. Keinginan untuk memiliki Naskah Akademik itu pun cukup kuat di sana. Dalam pengamatan saya, hal ini terjadi karena interaksi pembuat peraturan di Aceh yang cukup kuat dengan pembuat undang-undang di Jakarta dalam proses pembentukan UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Banyak hal di tingkat pusat yang ingin diadopsi ke konteks Aceh. Karena itu pula, wacana mengenai Naskah Akademik muncul dengan kuat dalam pembahasan Qanun Aceh No. 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun. Bahkan ketika pembahasan masih dalam tahap sangat awal, ada sebuah masukan mengenai suatu Rancangan Qanun Aceh yang diberikan kepada DPR Aceh yang ditolak karena ketiadaan Naskah Akademik yang mampu menjelaskan kepentingan Rancangan Qanun tersebut. Dalam berbagai diskusi, praktek dan dasar hukum di pemerintah pusat seringkali diacu. Maka pola pengaturan Qanun 3/2007 pun mengacu pada Perpres 68/2005, dengan memasukkan peran pemrakarsa dalam pembuatan Naskah Akademik.

Dokumentasi Pembahasan

Keberadaan Naskah Akademik diperlukan untuk mampu menjelaskan kepada pembentuk undang-undang/ perda mengenai materi muatan rancangan peraturan, termasuk kerangka pikir serta tujuan adanya peraturan tersebut. Tidak akan ada yang menyangkal hal ini. Naskah Akademik membantu orang banyak untuk dapat memahami pasal-pasal yang pada awalnya bisa terlihat membingungkan.

Sama pentingnya, Naskah Akademik juga akan berguna dalam pembahasan kasus oleh para hakim di Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung. Indonesia yang menganut model civil law Napoleon (meski di manapun penerapan sistem hukum ini sudah tidak ketat) masih memelihara tradisi civil law dalam interpretasi hukum di pengadilan. Model-model penafsiran yang diterapkan, mulai dari penafsiran kalimat sampai dengan teleologis membutuhkan dokumentasi yang lengkap mengenai pembahasan hukum. Seorang akademisi hukum Belanda pernah bercerita dalam sebuah diskusi, bukan hanya naskah pembuatan, melainkan seluruh notulen pembahasan di parlemen biasanya tersusun rapi untuk tujuan pembahasan kasus di pengadilan ini. Dengan pengelolaan dokumen pembahasan RUU dan Raperda yang belum lagi baik di Indonesia, adanya Naskah Akademik akan menyumbang bagi upaya ini.

Proposal: Naskah Akademik Sebagai Dokumen Kebijakan

Namun yang sering terlupakan adalah keberadaan Naskah Akademik sebagai dokumen kebijakan (policy paper). Yang dimaksud dengan policy paper di sini adalah sebuah dokumen yang menjembatani komunikasi mengenai kebijakan yang akan dibuat di antara pihak-pihak yang terkait, yaitu pembuat kebijakan, perancang, dan pemangku kepentingan (stakeholders).

Landasan pikir dalam pemikiran ini adalah posisi peraturan perundang-undangan sebagai suatu kebijakan publik (public policy) yang tertulis dan tertuang dalam bentuk sebuah produk hukum. Kebijakan publik dipahami sebagai suatu keputusan yang diambil oleh pejabat publik dalam struktur penyelenggaraan negara atas nama kepentingan warga negara.

Kerangka pemahaman yang demikian melahirkan dua konsekuensi.

Pertama, pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan perencanaan, monitoring, dan evaluasi yang matang karena kebijakan publik akan selalu mengalami keterbatasan, baik dalam soal sumber daya manusia dan dana, maupun waktu. Keterbatasan-keterbatasan ini membutuhkan adanya pengelolaan isu. Isu-isu harus dipilah dan dipilih dalam suatu urutan prioritas dan rencana implementasinya yang menyeluruh. Perhitungan pembuat kebijakan mengenai keterbatasan akan selalu mempengaruhi perencanaan.

Kedua, ada tiga aktor yang terlibat dan harus ada komunikasi yang baik di antara keduanya, yaitu pembentuk kebijakan, perancang peraturan, dan pemangku kepentingan.

Pembentukan kebijakan di sini diartikan sebagai politisi yang mempunyai peran mengambil keputusan. Perancang peraturan dipahami sebagai pelaksana teknis yang melakukan tugas perancangan berikut analisis kebijakan. Dan pemangku kepentingan adalah kelompok-kelompok tertentu di masyarakat yang akan terkena dampak langsung dari suatu kebijakan. Sehingga pemangku kepentingan bisa berbeda-beda, tergantung pada kebijakan yang diambil.

Naskah akademik sebagai dokumen kebijakan bergerak dalam dua wilayah di atas. Ia hadir sebagai dokumen yang mampu menjembatani komunikasi mengenai perencanaan, dampak, dan evaluasi suatu kebijakan di antara tiga pihak yang terlibat tadi. Pembentuk kebijakan dapat mempunyai pemikiran mengenai suatu kebijakan, perancang akan membuatkan rancangan peraturannya, namun kebijakan itu haruslah dikonsultasikan dengan pemangku kepentingan.

Pemangku Kepentingan yang Terlupakan

Yang sering terlupakan dalam praktek di Indonesia adalah pemangku kepentingan. Naskah akademik seringkali hanya dibuat untuk menjelaskan ‘apa yang ada di benak perancang atau pemrakarasa kepada anggota DPR’. Kalaupun Naskah Akademik tersebar luas di kalangan pemangku kepentingan, ia menjadi seperti background paper untuk menjelaskan adanya rancangan peraturan yang dibahas. Yang ingin saya persoalkan di sini bukan dapat atau tidaknya Naskah Akademik diakses dan dimiliki oleh pemangku kepentingan, melainkan: bagaimana Naskah Akademik dapat benar-benar menjembatani pemangku kepentingan dengan perancang dan pembentuk kebijakan.

Masuknya pemangku kepentingan sebagai “pihak” dalam pembentukan kebijakan sangat penting karena sesungguhnya pemangku kepentinganlah yang bisa membantu pembentuk kebijakan dan perancang untuk memutuskan apakah memang suatu peraturan itu dapat dilaksanakan (applicable) dan memang menyelesaikan masalah sosial yang ingin diselesaikan atau tepat sasaran.

Ilustrasinya, dalam pembentukan kebijakan mengenai pemberantasan demam berdarah di Jakarta misalnya. Untuk mengatasi masalah ini, pembentuk kebijakan membuat Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2007 yang salah satu isinya adalah pemberian sanksi bagi warga apabila di rumahnya ditemukan jentik nyamuk. Dapat dipastikan, Perda ini tidak dibuat dengan melibatkan pemangku kepentingan karena solusi ini sesungguhnya tidak masuk akal dari segi hukum. Banyak pertanyaan yang dapat diajukan. Mulai dari paradigma pengaturan yang memberikan sanksi bagi korban. Sampai dengan pertanyaan mengenai bagaimana nanti pembuktian soal jentik nyamuk itu? Apakah bisa dengan mudah menentukan siapa sesungguhnya pemilik jentik nyamuk itu dan apakah bisa dengan mudah menentukan apakah itu jentik nyamuk dan jentik nyamuk jenis apa yang ditemukan dan apakah ada SDM yang bisa melakukan hal itu dengan cepat di lapangan. Dapat diprediksi (berdasarkan pengetahuan) bahwa peraturan itu tidak akan efektif di lapangan karena tidak memperhitungkan dampak. Dan dampak, salah satunya bisa diukur dengan adanya keterlibatan pemangku kepentingan.

Alasan lainnya mengenai pentingnya pemangku kepentingan adalah alasan ideologis. Dalam suatu cara pandang, hukum dipandang sebagai sesuatu yang tidak mungkin netral. Pasti akan ada bias dalam pembentukannya. Yang bisa terjadi karena kepentingan langsung berupa perhitungan kerugian dan keuntungan pribadi atau kelompok. Ataupun karena adanya asumsi kuat mengenai kesamaan semua orang tanpa memperhatikan adanya kekhususan kondisi kelompok tertentu yang disebabkan oleh kondisi struktural. Misalnya dalam hal kelompok difabel, perempuan, serta kelompok miskin yang sesungguhnya lahir dari pengkondisian struktural dengan tertutupnya akses ekonomi dan pemajuan ekonomi. Cara pandang yang melihat hukum sebagai sesuatu yang netral menimbulkan konsekuensi dalam pembentukan hukum.

Hukum harus dibentuk dengan memperhatikan konteks yang melingkupi masyarakat yang hendak diaturnya. Sebab akan selalu ada kelompok yang mendominasi karena kekuatan politik dan ekonomi. Justru hukumlah yang mesti berupaya menyeimbangkan kondisi terdominasi ini, salah satunya dengan cara memperhatikan pemangku kepentingan ini. Ini merupakan salah satu bagian mengenai konsep "socially responsible law-making" yang sedang dikembangkan oleh PSHK.

Pemangku kepentingan di sini bukanlah “pakar” atau “pemuka atau tokoh” agama, adat, atau masyarakat. Pemangku kepentingan adalah kelompok-kelompok tertentu di masyarakat yang akan terkena dampak langsung dari suatu kebijakan. Sehingga pemangku kepentingan bisa berbeda-beda, tergantung pada kebijakan yang diambil. Misalnya, pemangku kepentingan dalam undang-undang tentang kewarganegaraan adalah pelaku kawin campur dan anak-anak hasil perkawinan campur. Contoh lainnya, pemangku kepentingan dalam RUU Pornografi adalah pekerja seni, penjual majalah, penerbit, dan lain sebagainya; bahkan juga asosiasi penggemar pornografi, bila ada.

Apa bedanya dengan akademisi, pakar, ataupun tokoh-tokoh? Akademisi, pakar, dan tokoh-tokoh nantinya dapat pula diundang untuk memberikan masukan berdasarkan keahlian dan pengamatannya serta ketokohannya. Namun yang tak tergantikan adalah ‘pengalaman’, hal-hal yang dialami langsung oleh sekelompok orang-orang yang akan terkena dampak dari peraturan. Pengalaman, sesuatu yang dialami dan dirasakan, tentunya tidak bisa diceritakan oleh seseorang yang tidak mengalaminya dengan baik, meski ia membaca puluhan buku dan mengikuti puluhan diskusi mengenai hal itu. Pengalaman seorang pengemis tidak akan bisa diceritakan dengan baik oleh ‘pakar pengemis’, melainkan oleh pengemis itu sendiri.

Dokumen Kebijakan Yang Efektif

Pertanyaan pentingnya kemudian: bagaimana membuat Naskah Akademik efektif sebagai dokumen kebijakan?

Ada dua hal yang mesti dilihat pada titik ini, yaitu proses dan isi.

Namun yang pertama kali harus diperhatikan, pedoman pembuatan Naskah Akademik perlu memberikan konsepsi yang jelas mengenai Naskah Akademik sebagai dokumen kebijakan (policy paper) yang menjembatani komunikasi antara pembentuk kepentingan, perancang, dan pemangku kepentingan. Bila tidak, Naskah Akademik tetap akan diposisikan sebagai position paper biasa sebagai prasyarat penempatan dalam Prolegnas dan alat membela posisi dalam perdebatan di dewan atau di seminar-seminar.

Dalam hal proses, pedoman pembuatan Naskah Akademik seharusnya juga mengharuskan adanya proses pelibatan tiga pihak yang saya sebutkan di atas. Jadi jangan hanya menyebutkan instansi mana yang dikenakan kewajiban membuat Naskah Akademik, melainkan juga kewajiban untuk melibatkan pemangku kepentingan.

Pelibatan pemangku kepentingan ini sesungguhnya tidak terlalu sulit dan mahal. Mereka bisa dilibatkan seminimal mungkin melalui dengar pendapat (hearing). Definisi pemangku kepentingan sudah diuraikan di atas, namun untuk memperjelas lagi, sudah menjadi praktek yang jamak dilakukan di banyak negara untuk mengidentifikasi kelompok kepentingan yang sudah berorganisasi (organised groups).

Misalnya, tentu sulit untuk memanggil semua pelaku perkawinan campur untuk perumusan RUU Kewarganegaraan. Bisa dibayangkan, akan ada kebingungan kepada siapa undangan akan diberikan. Bila diumumkan di koran, belum tentu pemangku kepentingan akan ikut, atau justru bisa berduyun-duyun peserta hadir sehingga diskusi tidak efektif. Yang bisa dilakukan adalah mengirim undangan resmi kepada organisasi yang dikenal. Atau bila demikian sulit, bisa saja daftarnya dicari salah satunya dalam daftar Anggaran Dasar yayasan dan perkumpulan yang ada di Dephukham karena organisasi-organisasi semacam ini (LSM, organisasi non-pemerintah) biasanya berbadan hukum yayasan atau perkumpulan. Demikian pula, sah saja untuk memanggil, salah satunya, Serikat Petani Pasundan dalam suatu dengar pendapat mengenai kebijakan terkait dengan petani di Jawa Barat, ketimbang mengundang seluruh petani yang ada di seluruh Jawa Barat.

Undangan ini sebaiknya dikirim dalam waktu yang cukup dan dengan kerangka acuan yang jelas, sehingga peserta bisa menyiapkan bahan dan masukan sebelumnya. Dengan begitu proses dengar pendapat diharapkan bisa lebih efektif.

Format dengar pendapat juga bisa dilakukan dengan sederhana. Tidak perlu membayangkan seminar di hotel mewah dengan peserta ratusan orang. Diskusi akan efektif justru bila dilakukan dalam forum yang kecil, namun terorganisasi rapi. Jadi, tidak tepat untuk mengatakan bahwa partisipasi selalu mahal. Besarnya biaya bisa relatif, namun yang perlu dijadikan ukuran lainnya adalah efektivitasnya dalam pembentukan kebijakan. Apabila kebijakan yang dihasilkan baik, biaya untuk mengubah peraturan dan kerugian yang mungkin timbul (atau paling tidak biaya yang sia-sia, mubazir) dari peraturan yang buruk akan dapat dihindarkan.

Tentu saja, yang terbaik adalah apabila ada penelitian lapangan yang bisa dilakukan, bila dana tersedia. Namun teknis pelibatan ini tidak akan menjadi materi muatan pedoman yang ingin disusun, sehingga bisa diserahkan kepada masing-masing pelaksana pembuat Naskah Akademik.

Dari segi isi, Naskah Akademik yang efektif juga seharusnya mampu mengelaborasi dampak kebijakan setelah diterapkan. Dampak kebijakan ini mencakup dampak positif dan negatif dari berbagai sudut pandang, yaitu aspek good governance, kesetaraan jender, lingkungan, dan hak asasi manusia (HAM). Aspek-aspek ini harus dituliskan dengan jelas dalam sebuah Naskah Akademik agar semua pihak yang terlibat menyadari dari awal dampak peraturan (positif maupun negatif) dan dapat melakukan hal-hal yang diperlukan bila perlu diantisipasi.

Di beberapa negara dampak pengaturan ini bahkan dibuatkan dalam suatu analisis tersendiri yang diistilahkan dengan Regulatory Impact Assessment (RIA). RIA diperluas kadang hingga dampak pengaturan terhadap persaingan usaha, iklim investasi, dan lain sebagainya. Apabila RIA dalam konteks Indonesia belum dapat dilakukan secara konsisten, maka sebaiknya pedoman pembuatan Naskah Akademik hanya mengatur ketentuan dasar mengenai analisis dampak ini. Terutama dampak peraturan terhadap pemangku kepentingan. Misalnya, kelompok mana yang akan digusur. Atau kelompok mana yang akan diuntungkan misalnya karena suatu peraturan akan mendorong pemberdayaan usaha kecil dan menengah. Contoh lainnya, bagian mengenai dampak ini bisa pula menganalisis apa pengaturan yang dimuat di dalam peraturan itu untuk menutup peluang korupsi yang mungkin terjadi karena peraturan yang dibuat mensyaratkan disewanya jasa tertentu.

Sunday 4 November 2007

Pemikir hukum

Saya sedang menulis sebuah bab soal hukum dalam buku yang sangat menarik mengenai 100 tahun kebangkitan bangsa. Selagi dalam proses berpikir dan mendaftar referensi yang harus saya dapatkan di LevLib, saya semakin merasa bahwa memang sedikit pemikir hukum, yang orang Indonesia, yang berbicara tentang buruknya hukum di masa orde baru pada masa orde baru. Saya tidak bicara orang-orang seperti saya sendiri yang baru mulai bicara setelah orde baru lho. Bukan, melainkan orang yang di tengah represi suharto, mengkritik orde baru.

Sejauh ini saya hanya punya enam nama: adnan buyung nasution, marsillam, benny harman, mahfud m.d., satjipto rahardjo, dan sutandyo. Maksud saya di sini yang akademis. Orang harus membaca pemikiran mereka bila mau riset tentang hukum di masa orde baru. Di sisi lainnya, bila riset membutuhkan fakta yang baik tentang hukum di masa orde baru, orang harus membaca laporan-laporan penegakan hukum yang ditulis oleh LBH, yang ditulis oleh orang-orang semacam bambang widjojanto, munir, dadang trisasongko, mas otta, dan lain sebagainya. Jadi ada dua bagian: pada akademisi dan para aktivis (walau mereka sebenarnya in a way merangkap, hanya aktivis seringkali tidak dikategorikan sebagai akademisi karena mereka menuliskan laporan kondisi dan mungkin menganalisis namun tidak mengekstraksinya menjadi suatu teori akademik dalam konteks pemikiran hukum atau tesis atau antitesis. Namun keduanya sama-sama penting!)

Di sisi lainnya, ada juga pemikir-pemikir yang mendukung orde baru. Misalnya sunaryati hartono, mochtar kusumaatmadja, hamid attamimi, dan lain-lain. Bagaimana dengan yusril, jimly asshiddiqie, dan lain sebagainya? Mereka baru “muncul” belakangan. Mereka baru mulai bicara agak keras 1990-an. Sebelumnya, mereka memang tidak mendukung dalam arti mengembangkan pendekatan hukum orde baru seperti konsep “law as a tool of social enginering” a la Mochtar Kusumaatmadja dan pendekatan konsep negara integralistik dalam pembuatan peraturan hasil teorisasi hamid attamimi, tetapi mereka tidak mengkritik pendekatan hukum orde baru.

Tentu saja, konteks berpikir saya ada pada “gagasan besar” hukum, bukan teknis hukum seperti hukum pasar modal, cara berinvestasi di Indonesia. Kita katakan saja: soal gagasan rule of law.


Bagaimana dengan pemikir “non-Indonesia”? Saya hanya terpikir Dan Lev. Itupun dia sebenarnya political scientist yang melihat politik hukum di Indonesia. Lawyer? Mmhh… coba deh bantu pikirkan. Pasti ada juga satu atau dua, juga yang bicara soal hukum investasi dan lain sebagainya. Tapi sekali lagi, saya bicara soal gagasan besar tentang hukum dan juga dilakukan ketika orde baru masih tegak. Satu lagi tentu saja Sebastiaan Pompe. Tapi kategori waktu untuk dia agak tipis. Dan saya kira Dan Lev begitu besar karena dia tidak seperti beberapa penulis luar negeri tentang hukum di Indonesia yang hanya aktif di luar Indonesia dan di belakang meja. Dan Lev adalah juga “aktivis” dan orang yang terjun ke lapangan. Sekali lagi, Sebastiaan Pompe juga begitu dalam derajat yang berbeda.


Nah, saya sendiri belum “lahir” ketika itu (“you were a tiny dot” kata a). Kata frank, helmut kohl pernah bilang “the grace of the late born”. Tapi yang jadinya harus dipikirkan adalah: bagaimana melahirkan generasi pemikir hukum berikutnya. Dan sekali lagi, “pemikir hukum” di sini dalam arti “pemikir gagasan besar” soal hukum. Pertanyaannya kemudian: gagasan besar untuk “siapa”? Di sinilah saya kira, PSHK harus mulai berkontribusi dengan mengembangkan suatu school of thought. Socially responsible law bisa menjadi kata kuncinya. Apa itu “socially responsible law? Kali berikutnya akan kita bicarakan (mudah-mudahan nggak males nulis :-)).

Thursday 4 October 2007

Ular Tangga Legislasi

Suka main Ular Tangga? PSHK punya “ular tangga legislasi”

Legenda:
Tangga:
4-21 naskah akademik lengkap, 19-44 anggota dpr menguasai materi, 29-53 melibatkan kelompok rentan, 51-61 rapat panja terbuka. Ular: 23-6 anggota sering mangkir, 32-3 RDPU tidak partisipatif, 55-24 panja tertutup, 60-35 studi banding tidak relevan, 63-14 ada tekanan politik


Permainan Ular Tangga yang dimodifikasi ini adalah kreativitas ery, erni dkk awal tahun lalu. Kami sendiri agak jarang memainkannya. Paling-paling waktu pameran atau selagi iseng menunggu diskusi legislasi dimulai. Tapi itupun dilakukan hanya oleh Anna dan Lia. Tapi minggu lalu di pesawat Hanoi-Jakarta tiba-tiba saya terpikir untuk membawa segepok mainan ular tangga berikut setoples dadu dan "prajurit-prajurit"nya ke Banda Aceh esok pagi. Saya, Reny, dan Sugi (yappika) diminta oleh ACSTF untuk memberi pelatihan untuk jaringan pemantau parlemen yang sedang mereka bangun. Ini memang bagian dari dorongan kami, apalagi setelah kawan-kawan di Aceh melihat sendiri kerja tim parlemen.net di DPR sewaktu advokasi RUU PA. Ini kali kedua saya membantu mereka. Kali pertama saya memfasilitasi pembuatan modul pemantauan ACSTF. Salah satu hasil konkritnya adalah berita DPR Aceh di dinding warung kopi solong di ulee kareng :-), hasil lainnya adalah website. Kawan-kawan itu memang luar biasa seumangat dan kreativitasnya.

Ular tangga itu ternyata sangat menarik sebagai alat belajar. Refleksi yang didapat peserta sungguh melampaui dugaan saya (itulah, dilarang "naker" peserta!). Tidak hanya proses legislasi yang ideal (rapat terbuka, data, dan lain sebagainya), tetapi juga refleksi soal dinamika politik legislasi.

Referensi soal pemantauan parlemen tentu tidak hanya parlemen.net. Saya secara khusus juga berbagi soal apa yang dilakukan kawan-kawan KOPEL Makassar dengan "parlemen grup"nya. Parlemen grup itu komunitas pemantau parlemen di kecamatan-kecamatan. Saya sering bilang pada Syam bahwa saya cemburu pada mereka. Kami belum bisa melakukan itu untuk 550 orang anggota DPR. Situasinya sungguh berbeda dengan 20-an anggota DPRD. Saya kira kalau kawan-kawan di Aceh melakukannya akan bagus sekali. Mudah-mudahan jaringan pemantau parlemen dan pengadvokasi kebijakan bisa mantap ;-).

Hasilnya kreatif betul. Foto bisa bicara lebih banyak. Berikut ini cuplikan kreativitas kawan-kawan peserta yang kami minta membuat "iklan" untuk RTL yang mereka buat untuk kabupaten masing-masing (ada perwakilan dari 11 kabupaten/kota yang ikut).



ps. Kalau mau "ular tangga"-nya, bisa minta gratis ke anak2 pshk ;-)

Thursday 20 September 2007

Perubahan Hukum di Jakarta

Oleh: Dhania Yasmin (kelas 3 SMP)

Hukum mempunyai kekuatan untuk mengatur. Dengan adanya hukum orang-orang menjadi takut untuk melakukan hal-hal diluar hukum entah itu karena takut hukuman penjara/denda. Di Jakarta banyak perubahan peraturan dan hukum seiiring dengan perubahan zaman. Hukum dapat menjadi alat untuk perubahan sosial. Jika berhasil maka hukum dapat mendorong masyarakat kearah dan kebiasaan yang lebih baik.

Dulu, tidak ada peraturan tentang kewajiban penggunaan sabuk pengaman(dikenal juga dengan sebutan seatbelt). Masyarakat pengendara mobilpun tidak memiliki kesadaaran untuk menggunakan sabuk pengaman. Sejak diberlakukannya peraturan tentang kewajiban menggunakan sabuk pengaman, kesadaran pengendara mobil meningkat. Peraturan itupun berjalan lancar. Jika awalnya para pengendara takut akan denda berjumlah besar, sekarang pengendara mobil menyadari sabuk pengaman penting untuk keselamatan mereka.

Hukum dapat mengarahkan perilaku manusia ke arah perilaku tertentu. Hukum dapat digunakan sebagai pendorong untuk melakukan perubahan sosial. Baik dalam hal perilaku seperti membuang sampah pada tempatnya. Peraturan itu sudah ada sejak dulu, namun mengapa masih banyak orang yang buang sampah sembarangan hingga sekarang? Itu karena pemerintah yang kurang menegakkan hukum yang dibuat. Tidak ada gunanya membuat peraturan yang tidak dipatuhi. Pemerintah pusat khususnya yang mengurus kota Jakarta untuk kedepannya harus dapat tegas dan menegakkan peraturan.

Di jaman sekarang ada peraturan baru yang bisa membuat sebagian orang tersiksa dan sebagian orang bahagia. Peraturan itu adalah penggunaan rokok di tempat umum yang dikeluarkan sekitar tahun 2006 kemarin. Sebagai pengguna rokok peraturan ini sangatlah tidak mengenakkan. Namun, peraturan ini dibuat untuk menekan pengguna rokok di Indonesia. Pemerintah daerah Jakarta berharap dengan semakin sedikitnya pengguna rokok dapat membuat penerus-penerus kita dapat lebih maju dengan bebas dari ancaman racun rokok. Memang sekarang mungkin peraturan itu masih sering di langgar. Tapi, saya yakin bila pemerintah lebih memperketat peraturan pasti para pengguna rokok akan semakin berkurang.

Dulu kendaraan bermotor tidak begitu banyak. Banyak becak yang berkeliaran. Namun sekarang melihat banyaknya kendaraan bermotor dikeluarkan Perda Jakarta yang melarang becak untuk berkeliaran di sekitar Jakarta. Dan sekarang sangking banyaknya kendaraan bermotor pemerintah mengeluarkan aturan 3in1 di daerah pusat Jakarta. Banyak perubahan yang muncul.

Perubahan itu juga muncul dalam hal pemilihan gubernur. DKI baru saja memilih gubernur secara langsung. Padahal dulunya gubernur dipilih oleh anggota DPR dan para pimpinan Indonesia. Tapi sekarang Indonesia mulai maju satu langkah untuk menjadi Negara yang lebih terbuka antara para pemimpin dengan rakyat. Walaupun masih ada kekurangan tapi ini adalah awal yang baik. Untuk kedepannya sepertinya MK akan memperbolehkan calon independent untuk mengajukan diri sebagai calon gubernur (pemilihan tahun ini calon harus diajukan melalui parpol) namun mekanismenya masih belum jelas dan sedang dirumuskan.

Untuk di masa depan sepertinya akan banyaknya peraturan baru yang dibuat sesuai dengan perkembangan zaman seperti peraturan emisi zat buang kendaraan untuk mengurangi polusi yang kabarnya sedang dibuat dan peraturan lainnya. Saya harap pemerintah khususnya pemda Jakarta untuk menyusun peraturan yang menyelesaikan masalah di daerah Jakarta yang harus dibuat dengan melibatkan banyak pihak, terbuka terhadap masyarakat dan harus konsekuen dalam menegakkan peraturan yang dibuat.

Dalam proses penegakan hukum pemerintah harus bekerja ekstra untuk menegakkan hukum lama yang diabaikan seperti peraturan buang sampah, anak jalanan, dll. Mempertahankan dan meningkatkan hukum-hukum yang sudah berjalan lancar seperti masalah sabuk pengaman, helm, dll. Dan menegakkan dan mensosialisasikan peraturan yang baru dibuat seperti masalah rokok, 3in1 dan masalah lain.

Jakarta sedang dalam masa pembenahan. Karena itu sebagai rakyat Jakarta juga hurus sadar dan menjalani peraturan yang sudah dibuat sedemikian rupa oleh pemerintah. Peraturan itu sengaja dibuat untuk perubahan sosial Jakarta agar menjadi lebih baik.

Saturday 15 September 2007

Bahasa Hukum?

Memang paling repot menjelaskan soal “bahasa hukum” dalam pelatihan-pelatihan kami. Apalagi kalau pesertanya politisi. Mereka ((politisi di DPR RI) akan bersikeras: “kita selalu menyewa ahli bahasa kok dalam membuat peraturan! Nggak mungkin salah”. Tantangannya besar. Bisa jadi karena, seperti biasanya, yang dipraktekkan selama ini cenderung dianggap yang terbaik.

Adakah sebenarnya “bahasa hukum”? Kami selalu bilang: tidak. Betul bahwa penggunaan bahasa di dalam peraturan perundang-undangan harus jelas karena akan banyak “celah” untuk mengintepretasikan peraturan secara berbeda-beda kalau ada aturan yang tak jelas. Nah, justru karena jelas itulah, sebenarnya sederhana saja: gunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar! Bukankah yang akan membaca peraturan adalah semua masyarakat. Sebab logika dasarnya, hukum mengatur perilaku masyarakat. Dengan penggunaan bahasa yang baik, logikanya, peraturan akan jelas. Sebenarnya sesederhana itu. Yang tidak sederhana adalah keinginan untuk membuatnya “sophisticated” (maaf, bicara soal Bahasa Indonesia yang baik, saya malah menggunakan Bahasa Inggris :-), sebab saya tidak bisa menemukan padanan kata yang tepat, ada yang bisa membantu?).

Seperti tertulis di modul kami, yang jamak terjadi adalah penggunaan kalimat pasif. Apa salahnya dengan kalimat pasif? Kalimat pasif cenderung menyembunyikan obyek. Sebaiknya perancang taat pada hukum “subyek-predikat-obyek”, sehingga jelas “siapa melakukan apa”. Coba saja, bandingkan dua contoh kalimat di bawah ini.
Kalimat 1:
Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Sidang Anak, sedangkan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer. (Pasal 7 ayat (2) UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).

Kalimat 2:
Jaksa Penuntut Umum mengajukan Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ke Sidang Anak, sedangkan Oditur Militer mengajukan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ke Mahkamah Militer.
Apabila dibaca sekilas, kalimat pertama bisa menimbulkan kebingungan tentang siapa yang sebenarnya memiliki kewenangan untuk mengajukan ke anak tersebut ke Mahkamah Militer? Tentu saja pertanyaan ini bisa dijawab dengan membaca pasal-pasal di atasnya. Namun yang terbaik adalah untuk membuat jelas setiap pasal dalam peraturan. Gunakan saja kalimat sederhana, dengan subyek, predikat, dan obyek yang jelas.

Kesalahan lainnya yang sering terjadi adalah penggunaan benda mati sebagai subyek. Perhatikan contoh berikut: “Pakaian seragam ojek tidak boleh sama antara satu kelompok dengan kelompok lain.” (Keputusan Walikota Kendari No. 289 Tahun 2003). Pertanyaannya: bagaimana mungkin pakaian membaca peraturan ini dan membuat diri mereka tidak sama satu sana lain??

Nah, gambar yang saya ambil di Jerman di bawah ini juga salah :-). Mana bisa anjing membaca tanda itu?? :-)

Pastinya tanda itu untuk pemilik anjing. Tanda adalah hukum dalam bentuk lain. Seperti halnya tanda strip merah untuk larangan masuk, rokok dicoret untuk larangan merokok. Namun tanda memang harus berupa gambar yang sederhana, seperti halnya strip merah tadi, yang sebenarnya tidak jelas, tapi sudah bisa dipahami secara universal. Berbeda dengan kalimat pasal yang harus jelas. Bila tidak jelas, bisa menjadi makanan empuk untuk advokat lihai atau politisi culas untuk mengartikan peraturan semaunya sendiri.

Masih banyak catatan untuk “bahasa hukum” ini. Misalnya soal penggunaan “dan/atau” serta pemberian norma “harus” dan “dilarang”. Mudah-mudahan nanti kawan-kawan lain bisa ikut menulis soal ini karena begitu banyak kesalahan yang kami temukan, terutama di dalam Perda-Perda. Bahkan kadang masih banyak salah ejaan, mulai dari penggunaan “azas” untuk “asas”, sampai dengan pengutipan Bahasa Inggris yang salah. Mungkin karena mereka tidak bisa “menyewa ahli bahasa” seperti halnya DPR RI.

Bagaimanapun, kunci dalam membuat kalimat dalam peraturan sebenarnya hanya satu: gunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Gitu aja kok repot?

Thursday 3 May 2007

Tari, Lagu, Mantera dan Pantun

Ini tentang "bahasa" dalam proses penelitian. Minggu lalu saya ke Palu, membantu kawan yang sedang meneliti sistem tenurial "asli" suku To/Orang Sinduru di Kabupaten Donggala, Sulteng. Ada kesulitan yang dialaminya, yakni mendapatkan informasi yang dalam dan memuaskan tentang hukum adat To Sinduru, dalam waktu yang relatif singkat. Walaupun ia adalah pendamping masyarakat Sinduru sejak lama, ia tetap kesulitan menggambarkan jalinan hukum adat yang dipegang teguh oleh masyarakat tersebut. Akhirnya saya bisa juga menangkap persoalan yang dihadapinya, setelah dua hari diskusi dan bereksperimen dengan berbagai kerangka tulisan.

Problem utamanya adalah sang peneliti mencoba menggambar hukum adat to sinduru dengan bahasanya sendiri. Dengan seluruh daya upayanya ia menggali informasi dengan teknik wawancara mendalam. Karena dia adalah sarjana hukum, maka bahasa yang juga mengkerangkengnya adalah bahasa fakultas hukum yang cenderung positivistik dan urban. Sang peneliti mencoba menggali berbagai kisah dan berbagai perisitiwa yang diduga dapat membantunya memahami To Sinduru. Namun, hingga pengumpulan data usai, masih juga banyak pertanyaan yang belum terjawab.

Saya kemudian mencoba membantu kawan tersebut melihat dengan cara yang lain, yang sering dilupakan oleh sarjana hukum yang paling sosio-legal sekalipun. Bahasa hukum itu tidak tunggal. Bahasa hukum sangat terkait dengan konteks kemasyarakatan di mana hukum tersebut lahir dan berkembang. Dan yang juga sangat penting, pengetahuan bukan hanya apa yang terucapkan (kelemahan fatal dari metodologi kuantitatif). Maka, untuk memahaminya, pelajari dan ikuti bagaimana masyarakat tersebut berkomunikasi dan berinteraksi. Di situlah mendekam pengetahuan yang tersembunyi (tacit knowledge).

Masyarakat komunal, cenderung menggunakan bahasa-bahasa simbolik yang dekat dengan kesehariannya. Utamanya untuk suatu seni atau nilai yang luhur, bahasanya akan semakin simbolik dan sakral. Biasaya diungkapkan dalam media seni dan upacara-upacara ritual, dalam bentuk pantun-pantun dan mantera. Hukum, masuk dalam kategori yang luhur ini. Maka maknanya dapat digali dan dinterpretasi dari tarian, syair lagu-lagu, mantera dalam upacara adat dan lain sebagainya.

Sebagai perancang, kita juga tampaknya kadang lalai dalam soal ini. Metode dan teknik pengumpulan data yang paling banyak digunakan adalah diskusi publik/umum, FGD, dan wawancara. Yang sebagian besar cara komunikasinya didominasi oleh bahasa-bahasa "akademik", yang berbeda frekuensi dan tingkat kedalamannya dengan bahasa simbolik dan metode komunikasi vibrant yang digunakan oleh masyarakat-hukum adat. Alhasil, hanya ide dan pengalaman tertentu saja yang bisa terakomodir, lainnya, sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, tersuruk lagi di gorong-gorong. Di sini, metode dan media komunikasi menjelma jadi instrumen seleksi.

Dalam proses konsultasi publik RUU PSDA, sekitar 2002-03 lalu, ada ide untuk menggunakan media komunikasi rakyat yang beragam itu; tari-tarian, ludruk/ketoprak, wayang dan lain-lain. Namun, ada berbagai kendalam sehingga media itu terpinggirkan lagi. Makanya kemudian ada kesan, RUU ini 'dibajak' oleh akademisi/teknokrat dan LSM.

Mendiskusikan ini, saya jadi teringat dengan "hukum yang vibrant". Di masyarakat-hukum adat, formasi dan sistem hukum ternyata sangat dekat dengan proses vibrant. Dimensi spiritual jadi inti dari produksi hukum, yang tereksternalisasi melalui gerak tubuh berirama, syair-syair bernada, dan metafor-metafor (pantun) yang bertenaga. Otak kiri dan kanan digunakan secara optimal.

So, hukum yang vibrant sebetulnya historis, tidak anakronis seperti kecaman kaum positivis.

Wednesday 2 May 2007

Pelatihan di Sanggau

Saya ke Sanggau. Senang sekali. “Eh, Sanggau di mana sih?” agak banyak kawan yang bertanya. Sanggau itu kira-kira enam jam ke arah timur dari pontianak. Entikong, salah satu kecamatan di dalam Kabupaten Sanggau, berbatasan dengan Sarawak. Ada website resmi kabupatennya: www.sanggau.go.id.

Waktu terbatas, sayang sekali. Padahal saya ingin sekali naik boat menyusuri sungai kapuas ke pelosok-pelosok. Sayangnya saya mesti mondar mandir, wara wiri, bolak balik, beberapa bulan terakhir ini (kalau bukan sepanjang tahun :-)), tour of duty, padahal kerja sudah menumpuk juga di kantor. Mesti mencari kesempatan ke sini lagi. Saat ini saya hanya punya waktu dua hari. Lumayanlah, untuk “kabur” sedikit, berhubung saya lagi kesal luar biasa dengan negara ini. Tapi saya tidak mau bercerita soal itu sekarang. Saya hanya merasa momentum ini pas sekali. Saya perlu di-charged seperti Nokia saya itu.

Naik "batavia air" ke pontianak, singgah di kantor kawan, lantas naik mobil enam jam ke Sanggau.

Acara pelatihan ini diselenggarakan oleh Perkumpulan HuMA dan LBBT, saya hanya diundang sebagai salah satu pemberi materi. Ini bukan “pelatihan perancangan biasa.” Ini sebenarnya “pelatihan hukum kritis”, pemberi materi utamanya Pak Sutandyo dan Pak Nyoman Nurjaya . Saya hanya berperan memberikan aspek praktis dalam perancangan karena pesertanya adalah staf Pemerintah Kabupaten Sanggau, Sintang, Melawi, Sekadau, dan Landak. Kebanyakan tentunya dari Bagian Hukum. Saya seperti biasanya senang kalau diundang acara seperti ini karena artinya saya bisa “nebeng” dapat ilmu.

Saya terus terang merasa pelatihannya kurang maksimal. Bukan karena materinya, tapi karena pelatihan ini tidak didisain dengan lebih baik dengan metode pelatihan yang mencerahkan. Pelatihan biasanya akan lebih maksimal bila didisain sejak awal, mulai dari proses perkenalan, permainan, simulasi, evaluasi, dan lain-lain. Bukan hanya pemberian materi secara bergantian seperti seminar biasa. Sayang sekali. Saya yang hanya kebagian satu sesi, terakhir pulak, sudah “tidak bisa berbuat apa-apa”. Apalagi ini bukan diselenggarakan oleh PSHK. Kan nggak mungkin saya mengkudeta acara orang :-)

Tapi bagaimanapun saya belajar banyak. Mudah-mudahan peserta juga begitu. Ada cerita misalnya Pemda Kabupaten Landak pernah menerima review perda-nya dari Depadagri setelah tujuh tahun menunggu! Ke mana tuh hantu blau pengaturan di UU 32? Di praktek semua tergantung koneksi dan uang. Apalagi soal pemerintahan daerah.

Banyak persoalan di “lapangan” yang mereka hadapi. Persoalan di daerah, yang banyak tak tersentuh oleh para “pakar hukum” di Jakarta. Jauh dari segala rupa ideal soal pemikiran hukum kritis. Karena saya memberi materi teknis perancangan, banyak kebingungan muncul di sini. Semua keluhan, buruknya kontrol Depdagri, ketiadaan sumber daya, dan lain-lain tumpah ruah di sini. Setelah sesi Pak Tandyo dan Pak Nyoman yang memang selalu luar biasa itu terdengar indah dan ideal sehari sebelumnya, semua hambatan dan kebingungan di tingkat praktek harus saya hadapi pada sesi saya. Itulah mungkin sialnya ada di tengah antara “akademisi” dan “praktisi” ;-)

Tapi pergi dan bersentuhan lagi dengan “dunia nyata” selalu sangat menarik dan menyehatkan jiwa dan pikiran. Saya harus semakin sering melakukannya.

Thursday 22 March 2007

Eeten zonder betaalen

“Jij….erasmus….rotterdam…kjgjhhgchtgchtgchtghghgh?”. Tersentak saya dari kantuk wawancara penelitian yang agak membosankan itu. Di hadapan saya ada responden penelitian kami, seorang hakim senior, nampak menunggu jawaban. Mulutnya masih agak terbuka mencong sisa mengucapkan pertanyaan dalam bahasa belanda itu.

Merasa harus menjawab dalam bahasa belanda juga, saya akhirnya memaksakan untuk menjawab. Menurut saya, jawaban hasil kursus 2 bulan di masjid Indonesia Rotterdam itu cukup memuaskan. Tapi tidak untuk pak hakim. Walau sejenak, raut wajahnya terlihat agak kecewa, seakan saya telah memupuskan suatu harapan yang dinantinya bertahun-tahun.

Situasi untungnya segera terselamatkan. Rekan peneliti yang menjadi tandem wawancara saya, segera menjawab dalam bahasa belanda yang fasih dengan derajat kemencongan bibir yang nyaris sama. “Iya pak dia ambil master di Rotterdam, kalau saya ambil di Utrecht begitu kira-kira terjemahannya dalam bahasa orang bumi. Pak hakim terlihat puas. Matanya berbinar. Jaman masih normal, begitu mungkin pikirnya.

Saya tentunya bukan ingin curhat soal kemampuan bahasa belanda saya yang payah. Saya ingin mengungkapkan betapa kesenjangan hukum dari masyarakat merupakan suatu konsekwensi logis dari usaha keras para ahli hukum untuk menjauh dari kenyataan hidup.

Ironisnya memang, banyak ahli hukum berusaha keras untuk mencapai pencitraan yang menyesatkan itu. Saya tahu ada seorang ahli hukum senior yang berjuang untuk mengambil kursus bahasa belanda agar bisa hang out dan disejajarkan dengan ahli hukum senior lain. Atau misalnya kisah tentang seorang profesor hukum di DPR yang dalam setiap fit and proper test pajabat bidang hukum selalu mencibir dan melecehkan para pelamar yang tidak mahir bahasa meneer dan mevrouw itu.

Dalam tulisan-tulisan ilmiah hukum ataupun praktek, menuliskan “badan hukum” tanpa ada kata “rechtpersoon” di dalam kurung seakan kurang canggih. “Perbuatan melawan hukum” tanpa padanan “onrechtmatigedaad” seakan kurang garang.

Tidak hanya soal bahasa, kesenjangan itu juga tercermin dari usaha pembedaan dalam hal gaya hidup yang lain. Ibu hakim senior dengan rambut sasak tinggi, advokat dengan pakaian warna nggak matching, rancangan kontrak atau pasal yang panjang dan ruwet dll.

Selama perilaku pembedaan (othering) dari para ahli hukum ini terhadap masyarakat terus berlangsung, jangan mimpi ada hukum ataupun penegakan hukum yang masuk akal bagi masyarakat. Ahli hukum hidup dan bekerja di dunianya sendiri yang beda nila-nilai ataupun etika-nya.

Generasi “Londo oriented” memang satu persatu mulai pergi. Tentunya kita sebagai generasi muda perubahan hukum harus mengambil hal-hal baik yang mereka tinggalkan. Pastikan saja yang kita ambil bukan pencitraan eksklusifnya yang senjang dari masyarakat. Bayangkan saja 30 tahun dari sekarang, pada saat bahasa Cina sudah jadi bahasa Internasional, kita yang lebih “Amrik oriented” berusaha berkomunikasi dengan ahli hukum muda dalam bahasa inggris. Wo pu ce tao! Begitu mungkin jawab mereka.

-ery-

Bukan Anak Partai (Mungkin Anak Pantai)

PSHK underbouw partai politik?? Ah gila lo! Kata siapa tuh?

Bukan. Tidak. No lah. PSHK tidak berafiliasi dengan partai politik manapun. Kalau ada pilihan-pilihan peneliti, karyawan, atau pendiri PSHK, ya wajar saja, kan kebebasan berpolitik dijamin dalam konstitusi ;-). Tapi PSHK secara institusional tidak membantu partai politik tertentu. Ditawari ya tentu pernah karena kami bekerja di wilayah yang sangat berdekatan dengan politik. Tapi kami percaya bahwa untuk bisa memberikan masukan secara efektif, kami harus tetap netral. Kalaupun kadang-kadang saya misalnya, atau peneliti lainnya, diundang beberapa fraksi atau partai dalam rapat kerjanya, itu adalah bagian dari tugas saya. Dan kami pun diundang bersama dengan narasumber dari institusi lainnya.

Maka, dalam memberikan pelatihan pun, kami menawarkannya pada semua fraksi. Sayangnya, waktu itu (awal 2005) hanya empat fraksi yang mau. Walau kemudian ada juga fraksi yang minta ke PSHK untuk melatih para staf ahlinya (lagi-lagi dalam Program Layanan Legislasi yang pernah saya ceritakan itu). Kenapa ada yang tidak mau? Tanyalah pada mereka :-), sebab tentu saja ini gratis alias tidak dipungut biaya. Tujuan kita kan bukan "cari duit" :-), tapi untuk perbaikan di senayan sana. Kita juga memberi pelatihan untuk perancang (drafters) di DPR dan juga di departemen-departemen. Juga untuk anggota DPD.




Pelatihan DPRD Perempuan di Aceh

Pada November 2006 dan kemudian Februari 2007, PSHK membantu MISPI, sebuah NGO perempuan di Aceh, untuk memfasilitasi pelatihan peningkatan kapasitas anggota legislatif perempuan se-Aceh. Ini karena PSHK punya "Program Layanan Legislasi" yang memang ditujukan untuk membantu kawan-kawan yang butuh difasilitasi dalam pelatihan ataupun perancangan peraturan, meskipun tidak masuk dalam program kerja PSHK. Supaya responsif, begitulah singkatnya.

Seru. Akhirnya, pada pelatihan terakhir (itu adalah seri pelatihan) disepakati pembentukan Kaukus Perempuan Parlemen Aceh. Saya dan Herni akan membantu lagi kawan-kawan MISPI sewaktu mendampingi mereka nanti ke Jakarta untuk ketemu Kaukus Perempuan Parlemen dan Kaukus Perempuan Politik.



Cerita panjang, nanti deh sepotong-sepotong ceritanya :-), tapi sementara foto-fotonya saja dulu.

Wednesday 21 March 2007

Schoolhouse Rock- How a Bill Becomes a Law

Video menarik tentang bagaimana "si Bill" menjadi "Law" :-) di Congress Amerika Serikat. Nanti PSHK bakal bikin "beginian" juga ah :)

Choice Creating dalam Menyusun Solusi Legislasi

Tadi pagi, sambil sarapan, saya dan Erni membincangkan soal metodologi perancangan. Dalam banyak training yang PSHK selenggarakan, ada satu dari tiga langkah dasar dalam Metode Pemecahan Masalah (problem solving method) yang sangat sulit ditularkan dan disimulasikan. Langkah itu adalah yang terakhir: Menyusun Solusi. Berkali-kali kami coba untuk mengubah cara kami menyampaikan langkah ini, berkali-kali pula kami harus kembali ke metode klasik, yakni ceramah. Biasanya yang kami lakukan adalah kami presentasikan butir-butir teori dan tahapan menyusun solusi, terutama penggunaan skema Sampath untuk menggali dan mengaitkan rincian solusi dengan akar masalah yang sudah dianalisis, kemudian memberi tugas simulasi kepada peserta. Namun, seperti yang kami sangka, metode ini kurang berhasil membuat terang pemahaman peserta. Kadang malah membuat frustasi. Pada akhirnya, solusi yang dibuat peserta tak mengundang inspirasi, tak lengkap dan malah kadang tak lagi peduli pada langkah-langkah yang sudah dijalani denga susah payah sebelumnya yakni: menemukan masalah sosial dan menjelaskan akar masalah sosial. Alhasil proses jadi anti-klimaks.

Saya kebetulan sedang membaca blog Inspirit. Ada satu cerita Mas Dani di situ yang berkaitan dengan choice creating. Yakni suatu perspektif yang dikembangkan untuk melampaui model penyusunan solusi dalam problem solving dengan cara membangun sikap dan proses yang lebih dekat pada membangun imajinasi dan menciptakan pilihan-pilihan cerdas. Saya setuju dengan cara pandang ini. Pertama, tugas perancang yang utama adalah menyodorkan berbagai pilihan kepada para pemimpin politik untuk dipertemukan dengan visi politik besar mereka. Kedua, menyusun solusi sangat berbeda sikap dasarnya dengan mengidentifikasi masalah dan menganalisis akar masalah. Dua langkah pertama tersebut memposisikan perancang sebagai penelusur jejak sejarah, dengan posisi psikologis "memandang ke belakang". Sedangkan menyusun solusi justru sebaliknya, perancang diwajibkan membayangkan situasi yang diidealkan, sehingga secara psikologis "memandang ke depan", sambil membenturkannya dengan kenyataan yang sudah berhasil dikumpul dan diolah. Jadi, menyusun solusi mensyaratkan sikap dasar dan metode yang memang harus berbeda. Perspektif choice creating sepertinya memberi landasan itu.

Saya kira metode ini menarik untuk dipinjam-pakai dalam langkah penyusunan solusi dalam legislative drafting. Sebab, perasaan saya, yang lumayan gagal dalam penyusunan solusi perundang-undangan selama ini adalah ketidakberhasilan perancang membangun cita-cita dan visi dalam rancangan undang-undang. Sehingga, solusi yang tersusun lagi-lagi akan terperangkap ke dalam sistem lama yang bermasalah atau yang lagi trend: penjiplakan. Bisa jadi kelihatan seperti solusi baru, tapi terasa kering dan melulu tambal sulam. Bahkan kadang luar biasa "bodong", seperti gambar di bawah ini...


Lantas bagaimana teknik menerapkan perspektif creating choice. Mari kita coba turunkan ke level praktis.

Kata Einstein, "Imagination is more important than science". Imajinasi butuh proses yang sabar dan tidak biasa. Imajinasi bukan sekadar menghayal. Bukan pula sebuah proses menggugah hasrat untuk menggapai sesuatu atas dasar ideologi atau teori-teori umum. (Yang terakhir ini yang biasanya tergelncir pada metode ends-means dalam legislative drafting). Imajinasi meskipun berorientasi ke masa depan, biasanya tetap terkoneksi dengan konteks dan terhubung dengan masa lalu. Imajinasi berupaya menggali "pengetahuan tersembunyi" (tacit knowledge) yang ada di dalam benak dan memvisualisasikannya menjadi visi yang menggairahkan yang membangkitkan antusiasme. Memang tidak mudah. Bahkan John Lennon sendiri mungkin tak menyadari betul hal itu ketika menggubah "Imagine". Apalagi untuk bangsa ini, yang menurut Mas Dani tak terbiasa berimajinasi secara mendalam. Seringkali yang ditelurkan hanya khayalan yang dangkal dan tak mampu menggerakkan orang. Meskipun diteriakkan dan dipaksakan dengan keras ya tak akan merasuk ke dalam jiwa banyak orang.

Proses pengubahan tacit knowledge menjadi pilihan-pilihan solusi (external knowledge), menurut buku "knowledge management" memang butuh metode dan teknik khusus. Tacit knowledge ada di dalam otak kita tidak dalam bentuk digital atau susunan kata-kata. Tapi berbentuk analog atau susunan gambar-gambar. Bayangkan saja begini: coba anda ceritakan dengan lisan secara lengkap raut wajah salah satu teman sekantor anda, sulit bukan. Kalaupun bisa, pasti kurang lengkap. Lebih mudah sebenarnya bila anda disuruh bercerita sambil dipandu dengan gambar-gambar tertentu, seperti dalam proses identifikasi buronan. Atau dengan cara menganalogikannya dengan sesuatu, seperti: bibirnya bak delima merekah, atau alisnya bak semut beriring (peribahasa yang cukup aneh tapi memudahkan).

Knowledge management menganjurkan sebuah jalinan proses: metafor-analog-model. Metafor, secara halus-mulus menkontradiksi dan pada akhirnya mensintesakan dua atau lebih hal-hal yang wajar (dalam arti biasa-biasa saja, atau pada umumnya) menjadi hal yang baru. Metafor membangun imajinasi yang inovatif. Langkah kedua membuat kita menyelam lebih dalam: membangun analogi. Analogi berguna untuk mengkongkretkan metafor ke dalam pilihan-pilihan cerdas. Di langkah terakhir, pembangunan model, berbagai pilihan tersebut dikembangkan dan diturunkan ke dalam bentuk-bentuk yang kongkret, hingga kasat indrawi dan terukur (measureable). Langkah metafor dan analogi biasanya perlu berbagai macam teknik dan media, khususnya yang bernafaskan seni, seperti menggubah lagu, bernyanyi, menggambar, dan lain sebagainya. Gunanya membangunkan otak kiri, otak yang mendorong imajinasi. Bisa jadi langkah ini dilakukan berkali-kali dan bulak-balik. Jangan terburu-buru, karena kegagalan membangun metafor dan analogi hanya akan mempersulit proses pembangunan model. Pada tahap modelling, penjejakan pada bumi realitas perlu dilakukan secara serius. Pada saat inilah proses koneksi, koreksi, kompromi dengan hasil dari analisis akar masalah mesti dilakukan dengan hati-hati dan jeli, tanpa mengorbankan visi dan menelantarkan imajinasi.

Itu dulu sementara ini. Semoga cara ini lebih merangsang kita menyusun solusi perundang-undangan yang luar biasa dan inspiratif.

Waspada: metode dan teknik ini sampai sekarang belum pernah saya coba sendiri, baru sebatas gagasan saja. Nanti kalau sudah diterapkan akan saya ceritakan kisah kasihnya ... :-)

Tuesday 13 March 2007

Percobaan Mengelompokkan Undang-Undang

Beberapa waktu lalu, seorang teman bertanya soal kemungkinan legislative review untuk UU Pemekaran Wilayah yang menyebabkan konflik di Kabupaten Banggai. Itu kampungnya. Dia bilang ini undang-undang yang poorly drafted sehingga interpretasinya bisa macam-macam. Bahasa “legislative review” pernah muncul di salah satu putusan MK. Saya bilang, secara prosedural khusus LR ya tidak ada, tapi pada dasarnya itu adalah pemeriksaan (review) yang dilakukan oleh lembaga legislatif, as opposed to judicial review. Lantas saya kasih dia dua usul konkrit.

Pertama, minta hearing kepada Komisi II dengan menggunakan bahasa “legislative review”, politisi yang haus popularitas pasti akan senang dengan kata kunci ini. Apalagi, bila kita posisikan mereka sebagai “penengah situasi konflik” – pahlawan. Dan tentunya, jangan lupa bahwa merekalah yang membuat kekacauan karena produksi UU Pemekaran Wilayah yang tak kunjung dihentikan. Tentu permintaan via surat ini harus didukung dengan lobby agar segera diagendakan. Segera setelah hearing terjadi, buat konferensi pers di media centre DPR untuk mengangkat isu ini sekaligus memberikan tekanan agar aksi LR segera mereka lakukan.

Kedua, minta fatwa ke MK untuk menginterpretasikan UU ini. Ini tidak lazim, tapi segala celah harus dicoba. Karena konflik begitu buruk di sana. Bukan hanya tidak lazim, upaya kedua ini juga sebenarnya kurang tepat, karena urusannya memang bukan konstitusionalitas. Melainkan soal undang-undang yang dirancang dengan buruk sehingga bisa diinterpretasikan berbeda.

Cerita kedua. Kemarin seorang kawan dari Tual datang. Dia dulu peserta pelatihan perancangan di Ngur Bloat, Kepulauan Kei. Lalu kita ketemu lagi waktu saya diminta memberikan sesi untuk pelatihan lobby untuk penyelesaian konflik oleh ITP. In between, saya berkomunikasi terus dan membantu mereka dari jauh, seperti pada kawan-kawan di Kupang. Akhirnya dia berhasil datang. Apa soal? Rupanya elite politik di sana juga mau pemekaran. Halah. Dan dia mau mencegah itu terjadi. “Nggak ada untungnya buat rakyat,” dia bilang, “itu maunya kandidat Bupati yang kemarin kalah pemilihan.” Tentu saja, klise.

Saya agak letih mendengar kata-kata: undang-undang adalah keputusan politik. Ya tentu saja saya setuju. Sudah banyak diakui, dan dikutip dalam berbagai studi PSHK sendiri, bahwa undang-undang memang keputusan politik. Tapi yang membuat kuping letih dan hati kesal adalah bahwa asumsi itu sering dijadikan justifikasi untuk pembentukkan undang-undang yang penuh kepentingan politik tanpa ada pagar, tanpa keterbukaan, dan tidak didasarkan pada kepentingan politik dari konstituennya. Kepentingan politik disempitkan menjadi kepentingan elite politik. Ini salah.

Lalu saya mencoba mensistematiskan pemikiran mengenai undang-undang. Di mana sebenarnya letak UU pemekaran wilayah? Sudah lama dipikirkan, karena menulis catatan awal tahun. Sama pertanyaannya dengan: di mana letaknya UU Ratifikasi dan Penetapan PERPU? Sebab mereka punya kriteria tersendiri. Di bawah ini saya tuliskan sebagian pemikiran itu. Masih setengah matang. Tapi ditulis dululah, sembari mengunyah gagasan. Buat bahan diskusi juga.

Undang-Undang Organik

Saya jadi mikir begini: legislasi pada dasarnya adalah dokumen keputusan politik yang dijadikan hukum dalam suatu wilayah negara. Berkaca dari cerita-cerita soal pemekaran wilayah dan pertanyaan yang banyak dihadapi dalam pelatihan, saya kira kita bisa memilah undang-undang menjadi dua “jenis” (atau bentuk atau entah apa terminologi yang tepat). Pertama, undang-undang yang mengatur relasi-relasi antarmanusia atau antarkelompok dalam wilayah negara dan antara manusia atau kelompok dan negara. Ini yang kita kenal selama ini, yang seringkali dijadikan obyek studi dan pelatihan. Maka di dalamnya ada pengaturan mengenai perilaku dan institusi (perilaku berulang). Kedua, undang-undang yang mengatur badan, organisasi, negara: Undang-Undang Organik. Betul atau tidak secara metodologis untuk memilah undang-undang seperti ini, masih harus didiskusikan lagi. Tapi saya kita ini akan memudahkan untuk melihat undang-undang macam UU Mahkamah Agung, UU Komisi Yusidial, atau UU Susduk. Definisi yang jamak digunakan di Indoneisa, undang-undang organik adalah undang-undang yang mengatur lebih lanjut materi muatan konstitusi.

Saya google kata kunci “organic legislation”, yang muncul legislasi tentang tanaman organik :-), saya coba lagi dengan kata kunci “organic law”, nah ketemu :-).

“An organic law or fundamental law is a law or system of laws which forms the foundation of a government, corporation or other organization's body of rules. A constitution is a particular form of organic law for a sovereign state (sumber: wikipedia).

Definisi lainnya tentang organic law: “law determining the fundamental political principles of a government” (sumber: thefreedictionary.com).

Apa ini berarti undang-undang organik tidak membutuhkan penelitian dengan metode pemecahan masalah? Tidak. Pembedaan ini hanya membantu untuk melihat bagaimana awalnya kebijakan legislasi muncul. Tadi saya bongkar lagi bukunya Bob dan Ann karena penasaran. Tidak ada catatan yang spesifik di situ mengenai soal ini. Akhirnya saya kunyah-kunyah sendiri dan berkesimpulan bahwa penelitian dengan MPM bagaimanapun diperlukan. Bob dan Ann mengingatkan kita pada sesuatu yang penting: perancang adalah perumus konkrit suatu kebijakan yang ditentukan oleh politisi. Perancang menerjemahkan kebijakan besar itu dengan didasarkan pada penelitian (MPM) sebagai pagarnya.

Nah, kebijakan itu ada yang sifatnya murni kebijakan berdasarkan situasi (dalam siklus perencanaan-monitoring-evaluasi kebijakan publik), dan ada juga yang diberikan disainnya oleh konstitusi. Inilah yang bisa dikategorikan sebagai undang-undang organik. Namun bagaimana relasi di dalam institusi itu: pengambilan keputusan, pengisian jabatan, dan sebagainya, bisa dan akan baik sekali bila diisi dengan MPM.

Kebijakan Ketat Kriteria (K3)

Untuk yang ini saya belum menemukan label yang tepat (ada yang bisa bantu?). Intinya, ada undang-undang yang pembuatannya memang dengan kriteria tertentu yang sudah pasti (fixed). Undang-undang pengesahan perjanjian internasional, pemekaran wilayah, dan pengesahan PERPU adalah bagian dari kelompok ini. Masing-masing sudah ada kriterianya. Untuk perjanjian internasional, sudah ada UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Pemekaran wilayah diatur dalam UU 32/2004 dan juga PP 129/2000 (harusnya sudah diganti dan ini yang jadi soal). Begitu juga, PERPU sudah diatur dalam konstitusi (tapi sama sekali belum jelas). Cara penentuan kebijakannya sudah dibuat jelas kriteria dan prosedurnya.

Masalahnya itu tadi: kriterianya sudah harus ditinjau ulang, dievaluasi, dan disempurnakan.

[stop dulu, herni udah nagih kata pengantar :-)]

Thursday 1 March 2007

Tentang Role Occupant atawa Pengemban Peran

Pada beberapa pelatihan dan penyusunan manual perancangan peraturan PSHK ada proses pencarian terhadap istilah yang paling pas digunakan untuk menyebut ‘pihak-yang-dikenai-aturan’. Pencarian ini bukan sekadar untuk kepentingan praktis, tapi yang lebih utama adalah kesesuaian dengan konteks, konsep dan perspektif yang ingin ditawarkan oleh PSHK dalam metode perancangan peraturan (legislative drafting). Pencarian tersebut yang melatari tulisan seputar role occupant ini, khususnya rasa penasaran terhadap asal muasal dan konsekuensi analitik yang timbul dari istilah tersebut. Uraian di bawah dalam banyak hal merupakan tafsiran saya sendiri, dan memang sengaja dibuat menyederhanakan beberapa pemikiran yang sebetulnya sangat kompleks.

Dalam buku “Legislative Drafting for Social Democratic Change: A Manual,” (Kluwer Internasional, 2000) Bob, Anne Seidman dan Abeysekere menggunakan terma Role Occupant (RO) sebagai istilah yang menunjukan kategori subyek yang menjadi target atau sasaran pengkajian dan implementasi aturan-aturan perundang-undangan. Dalam buku terjemahan Indonesia yang diterbitkan ELIPS Project II, RO diterjemahkan menjadi ‘Pelaku Peran’ (cat. menurut saya lebih tepat: ‘pengemban peran’).

Istilah ini dalam kajian sosiologis biasa digunakan oleh para pengikut Emile Durkheim (Durkheimian). Salah satu suhu besar dalam Ilmu Sosial, selain Max Weber dan Karl Marx. Sosiolog Perancis ini adalah seorang peletak landasan kajian hukum dan masyarakat. Sebagai sosiolog beliau sangat menaruh perhatian pada fungsi hukum dalam masyarakat. Bahkan evolusi masyarakat menurut Durkheim dapat dilihat dari tahap-tahap perkembangan hukumnya. Masyarakat yang masih bersifat mekanis, yang dicirikan dengan pembagian kerja yang belum kompleks, masih didominasi oleh hukum-hukum pidana. Sedangkan masyarakat yang sudah organis, yang dicirikan oleh pembagian kerja yang semakin spesifik, lebih didominasi oleh hukum kontrak.

Durkheim percaya bahwa individu hanyalah bagian dari masyarakat. Yang membedakan satu individu dengan individu lainnya adalah perannya (role) dalam masyarakat. Peran-peran tersebut diemban oleh individu semenjak lahir dan disosialisasikan oleh komunitas sepanjang hidupnya. Peran-peran tersebut yang kemudian menjadi ‘perekat’ harmonisasi interaksi antar individu dan kelompok dalam suatu masyarakat. Perekat yang utama dalam kesinambungan hidup masyarakat menurut Durkheim adalah HUKUM.

Individu yang menyimpangi perannya dianggap mengganggu keserasian hidup bersama di dalam komunitasnya. Sehingga Ia patut dikenai sanksi yang tujuannya adalah untuk mengembalikan keseimbangan (equilibrium) kosmos yang terganggu oleh ulah individu tersebut. Sanksi, fungsi utamanya adalah menjadi sarana penyembuh masyarakat, bukan pengobat tabiat individu. Individu yang ‘sakit’ kalau bisa dikembalikan ke jalan yang benar, ya syukur. Tapi kalau tak bisa, ya tidak apa-apa, yang penting masyarakat ‘normal’ kembali. Makanya, kalau dalam pandangan ini, hukuman mati atau pengusiran jadi salah satu pilihan lumrah dalam penjatuhan sanksi .

Dengan begitu, Individu tak lain dan tak bukan hanyalah pengemban peran. Bila perannya dihilangkan, maka ia tak lagi eksis sebagai anggota masyarakat. Bila sebagian saja perannya ditiadakan, maka sebagian “hak”nya dalam ruang dan waktu tertentu juga diabolisi. Sehingga tak heran bila di dalam suatu masyarakat kaum perempuan tak punya hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, sebab perannya dalam ruang publik ditiadakan oleh masyarakat (yang didominasi laki-laki) tersebut. Atau, mereka hanya boleh bekerja kalau mendapatkan ijin dari suaminya atau bapaknya, sebab ruang publik bukanlah tempat utamanya berperan.

Individu sebagai subyek seolah-olah hilang dalam pandangan Durkheimian. Sebab, tanpa peran Ia bukan lagi subyek. Masyarakatlah yang menentukan jati diri subyek. Masyarakat selalu superior terhadap indvidu. Hukum, oleh karenanya mesti luhur dan diluhurkan. Dalam negara-bangsa modern, hukum yang luhur idealnya murni dari campur tangan anggota masyarakat yang berkepentingan dan yang berkuasa. Kalaupun ia dihasilkan dari kegiatan politik dan ekonomi, ia bisa dicabar dalam ruang steril kuasa, yakni pengadilan. Pengadilan menjadi penjaga sesuatu ‘yang luhur’ itu. Dengan demikian, si pengemban peran punya kepastian terhadap perannya (termasuk hak-haknya) dalam masyarakat.

Terhadap cara pandang Durkheimian tersebut, Soetandyo Wignjosoebroto menggugatnya (lihat dalam berbagai tulisan dalam bukunya Hukum: Paradigma, Teori dan Metode, terbitan Huma, Walhi dan Elsam, 2002). Menurutnya, Individu tak mungkin direduksi jadi sebatas pengemban peran dalam masyarakat. Sebab, individu diciptakan sebagai mahluk berbudi, kreatif dan rasional. Ia tak melulu (harus) tunduk terhadap masyarakat di mana dia hidup dan bertumbuh-kembang. Ia dianugerahi kemampuan untuk ‘memilih’ (choose) dan ‘bertindak’ (action) mandiri. Kala Ia siap mengarungi kehidupan sebagai Individu dewasa, Ia adalah subyek yang menggendong penuh hak-haknya sebagai manusia yang utuh. Sehingga perlakuan yang patut terhadapnya adalah: perlakuan yang mengajaknya berpikir, perlakuan yang beradab dan perlakuan yang menantangnya untuk berkreasi/berkarya.

Pandangan Pak Tandyo ini tentu saja dipengaruhi oleh garis pikir dasar Weberian dan pendekatan Konstruksionis, yang memuliakan individu sebagai mahluk rasional yang berkesadaran dan mampu mengubah. Hukum dalam pandangan ini (yakni hukum modern), fungsi utamanya adalah perangkat lunak untuk membatasi tindak-tanduk negara, baru kemudian perilaku individu. Negara, dalam sebuah masyarakat adalah keniscayaan. Mahluk ini memang superior terhadap individu dan diijinkan bertindak represif terhadap siapa saja yang mengganggu ketentraman hidup individu lainnya. Oleh karena itu mesti dibatasi wewenang dan mekanisme bertindaknya. Dan, agar Individu juga tetap bisa menjaga dirinya sendiri dari ‘kesewenang-wenangan’ negara maka Ia dibekali hak-hak khusus (afirmasi) yang bisa digunakan dalam forum netral yakni pengadilan, seperti hak untuk mendapatkan pembelaan di dalam proses peradilan, hak untuk diperlakukan secara pantas dan bermartabat dalam proses peradilan dan lain sebagainya.

Terbalik dengan apa yang dipikirkan Durkheim, Individu dalam pandangan Weberian dan Konstruksionis adalah pembentuk masyarakat. Tak ada masyarakat tanpa Individu, atau dengan bahasa lain; masyarakat tak ubahnya penjumlahan individu-individu yang berkemampuan mengubah sejarah. Dengan begitu, masyarakat yang sehat adalah yang memberikan kesempatan dan ruang kepada individu untuk bertindak bebas merdeka. Sebab kebebasan adalah pangkal dari tanggung jawab. Dan, tanggung jawab ialah modal dasar keserasian hidup bersama. Begitu kata seorang filsuf dari Amerika sana.

Alhasil, konsep Role Occupant jadi tidak cocok dengan pandangan yang belakangan ini. Dalam beberapa literatur, kaum weberian dan konstruksionis mengistilahkan pihak yang menjadi sasaran pengaturan dengan ‘Aktor Sosial’. Kesan yang timbul dari konsep itu adalah individu yang aktif (berpikir dan bertindak) dalam sebuah arena sosial.

Konsekuensi dari pilihan dua cara pandang tersebut bagi Perancang Progresif adalah pilihan perspektif dan metode yang digunakan dalam mengidentifikasi masalah sosial, mencari penyebab dan yang terpenting dalam menyusun solusi.

Jadi apakah konsep Role Occupant atau Pengemban Peran masih memadai untuk Perancang Progresif?

Ps. Sesungguhnya masih ada satu pandangan lagi yang perlu diajak diskusi, untuk memperkaya dan mempertajam cara pandang kita. Mungkin dalam kesempatan yang lain...

Friday 23 February 2007

Jangan-jangan Hukum Itu Puisi?

Saya baru saja membaca gumaman Hikmat Budiman di blog-nya tentang nasib buruk buruh iPod di Cina, yang memicu lagi pertanyaan: Apakah hukum bisa memuliakan martabat kemanusiaan? Apakah hukum bisa mengeluarkan manusia dari gelimang kemiskinan dan kebobrokan nasib? Apakah hukum bisa berkontribusi membangkitkan bangsa ini agar tidak hanya berjuang untuk mengorek remah-remah kekayaan negara kaya, tapi melompat lebih jauh berikhtiar untuk memajukan nasib bangsa lain di belahan dunia lain?

Menurut Dan Lev tugas utama anak negeri yang pro-pembaruan adalah “mencari sistem hukum-yang-lain”. Sejak berkawan dengan gank inspirit, saya mulai digugah untuk merenungkan suatu watak hukum yang berbeda dari yang sudah ada dan sudah pernah saya pikirkan. Yakni hukum: yang bukan memagari, tapi justru melapangkan. Yang bukan menghantui dengan cemeti, tapi malah menerangi dengan inspirasi. Yang tidak selalu cemas melihat manusia, tapi merayakan keunikan dan keliarannya. Yang tidak memerangkap ide dan kreasi yang bergulir, tapi justru menceburkannya ke semesta imajinasi.


Tapi, hukum bukanlah puisi, kata Gunawan Mohamad di sebuah catatan pinggirnya tentang konstitusi. Sebab guna hukum untuk mengikat penafsiran. Sedangkan fungsi puisi sebaliknya: untuk memencarkan imajinasi. Meski begitu, kata sang begawan di esainya yang lain, memenjara proses menafsir sebetulnya adalah suatu tindakan yang mustahil. Karena manusia, obyek dan konteks terus menerus mengubah dan berubah. Tak henti dan tak mungkin dihentikan. Berarti hukum yang rigid boleh jadi cuma ilusi.

Kalau begitu, jangan-jangan hukum bisa sama perangainya dengan puisi. Lebih mendorong imajinasi dan inovasi daripada mengekangnya. Hanya proses penciptaannya saja yang relatif berbeda: bukan dengan isolasi dan kontemplasi individual, tapi melalui serangkaian sharing dan meditasi segenap warga bangsa. Hukum yang berjati-diri puisi adalah kemungkinan.

Untuk imajinasi berjamaah, tampaknya ruang parlemen dan pengadilan sudah semakin sempit dan sepi dari khalayak ramai (public). Tak jarang juga gedung itu malah menghambat lompatan pikiran dan menghalangi rasa kebersamaan. Akan lebih bermanfaat bila praktik politik dan hukum dalam pengertian yang usang diperluas maknanya jadi ikhtiar bersama di segala ruang pertemuan. Politisi, hakim, akademisi, advokat, drafter, birokrat dan lain sebagainya juga tak mesti terbebani lagi tugas eksklusif sebagai pembentuk hukum. Karena semua warga yang berjiwa bebas dan berpikiran merdeka adalah peserta dan pelaku utamanya. Sehingga hukum tak ubahnya puisi kolaborasi.

Friday 26 January 2007

Legislasi Sebagai Kerja Kebudayaan

Betapa mengerikan, hukum di negeri ini layaknya sampar. Semua menghindar. Lihat saja berita kemarin, di halaman pertama koran hari ini. Terbitnya peraturan baru pasti bukan kabar gembira yang diterima sukacita. Pembentuknya saja tidak antusias. Dan kalau digugat malah berkilah: ketentuan semacam itu terpaksa dibuat. Padahal tidak pernah ada inspirasi dalam aksi terpaksa. Jadi, salah besar kalau pemimpin negara berharap rakyat akan lekas bergerak asal peraturan dibuat. Sebab, tindakan sadar butuh alasan, bukan sekadar rangkaian perintah dan pembatasan. Perbuatan yang bersungguh-sungguh perlu dimuati makna, untuk diri sendiri atau untuk sesama, atau untuk apa saja. Sedangkan hukum yang asal keras bisa saja cuma jadi batu. Hukum yang asal rumit bisa saja cuma jadi kartu. Batu untuk merepresi. Kartu memperlicin transaksi.

Betapa menyedihkan, bangsa ini memperlakukan hukum laksana benda asing. Datang tak diundang, kepergiannya didamba-dambakan. Tak merasa jalinan ayat itu bagian dari diri dan kebudayaan. Mestinya, kata Edmund Burke: “di segala formasi perintah-kuasa, rakyatlah pembuat hukumnya yang sejati”. Pada ideal itu, hukum dan rakyat bukan saja karib, malah, hanya terpilah garis-miring. Sehingga menyusun aturan tak ubahnya menenun-ikat. Ia mewajibkan keterampilan dan ketekunan. Juga menuntut habis olah pikiran, hati dan semangat juang. Kain yang dihasilkan, karenanya, melampaui fungsi minimumnya sebagai pelapis ketelanjangan. Ia mengutarakan martabat pemakainya, di atas suguhan keanggunan dan kenyamanan. Kerja menata adalah kerja budaya, menginspirasi adalah tugas kebudayaan. Bangsa ini menyedihkan, hukum yang melekatinya selalu bikin gatal.

Tuesday 2 January 2007

Satu Ide Dalam Satu Tarikan Nafas

Coba anda baca kutipan berikut ini dalam satu kali tarikan nafas:
“Jika anak-anak belum dewasa itu tidak nyata-nyata telah berada dalam kekuasaan orang atau kekuasaan pengurus himpunan, yayasan atau lembaga amal, yang menurut sesuatu putusan Hakim termaksud dalam bagian ini diwajibkan melakukan perwalian, atau pun tidak telah berada dalam kekuasaan orang atau kekuasaan Dewan Perwalian, kepada siapa kiranya anak-anak itu menurut penetapan termaksud dalam Pasal 382 ayat ke tiga dipercayakannya, maka dalam penetapan yang sama diperintahkan juga, penyerahan anak-anak itu kepada pihak yang menurut penetapan mendapat kekuasaan atas anak-anak itu. Ketentuan-ketentuan dalam ayat ke dua, ke tiga, ke empat dan ke lima pasal 319h berlaku dalam hal ini.”


Kalau anda bisa baca tanpa ngos-ngosan berarti anda jago! Minimal anda pasti pernah juara MTQ tingkat kelurahan.

Kutipan tersebut saya ambil secara acak dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata terjemahan Prof. R Subekti dan R. Tjitro Sudibio. Tepatnya Pasal 382e. Pasal sebelumnnya, Pasal 382d, dua kali lebih panjang. Yang sebelumnya lagi, Pasal 382c, jauh lebih panjang lagi. Kalau tidak salah menghitung, yang terakhir ini ditulis dalam 6 Paragraf sepanjang 2 halaman, tidak kurang dari 70 baris! Luar biasa. Kalau yang tidak pernah lihat KUHPer, atau nama panggilan sayangnya BW, silahkan segera cari pakai google. Semoga ada.

Kalau anda pikir bahwa di jaman yang beradab dan bebas merdeka ini sudah jarang, bahkan sepertinya tidak ada lagi pasal dalam sebuah undang-undang yang sebanyak itu jumlah kata-nya, anda salah! Memang tidak sepanjang yang ada di BW, tapi banyak sekali yang mirip. Selain panjang, struktur kalimatnya juga rumit. Ini salah satunya:

“Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan Calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).” (Pasal 90 ayat 2 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden)

Kata sejumlah lawyer, itulah bahasa hukum. Khas dan hanya bisa dimengerti para yuris. Sebab butuh keahlian khusus untuk membaca dan mengerti makna yang tersirat dibaliknya. Kami lebih percaya bahwa itu mitos dan lebih sering digunakan untuk memperlancar aliran uang ke pundi-pundi para advokat. Bahasa hukum adalah bahasa Indonesia. Tidak lebih, tidak kurang. Bahwa banyak istilah teknis, ya tidak ada bedanya dengan bidang yang lain. Kalau masih belum percaya silahkan baca Jentera edisi perdana.

Meski demikian kami tetap menganggap isu “bahasa hukum” ini penting. (Sampai-sampai jadi tema utama di edisi perdana Jentera, Jurnal Hukum yang diterbitkan berkala oleh PSHK.) Bukan karena dia berbeda, tapi justru karena sering diperlakukan berbeda oleh para pembentuk undang-undang dan penegaknya. Mirip dengan apa yang penganut posmo bilang sebagai proses “othering”, diperlainkan/diperbedakan.


Dalam perancangan peraturan, kami percaya bahwa bahasa, khususnya kalimat adalah kunci efektivitas dari sebuah peraturan. Alasannya sederhana: kalau tak paham, maka tak sayang.Yang paling untung dari sebuah peraturan yang kacau balau kalimatnya adalah yang punya posisi paling kuat di arena hukum. Siapakah mereka? Biasanya para penegak hukum dan para pengacara brengsyek.

Sebetulnya ada cerita menarik tentang asal muasal bahasa hukum yang maha panjang ini. Cerita ini saya dengar ketika Legislative Drafting Training yang diselenggarakan Dephukham, penuturnya sang trainer, Bob Seidman. Memang belum tentu benar, tapi saya cukup percaya sebab yang berkisah cukup kredibel (lebih dari 50 tahun mendalami legislative drafting!) dan penjelasannya masuk akal, lagipula, menarik. Begini kira-kira:

“Dahulu, di Inggris sebelum abad 20, ketika masih jaman feodal, sejenis profesi hukum swasta yang ada hanyalah pembuat akta tanah. Perancang hukum resmi pada masa itu cuma pendeta dan hakim yang diangkat raja. Karena di masa feodal tanah sungguh-sungguh penting, apalagi persengketaan penguasaan tanah semakin menjadi-jadi, maka status profesi ini juga terus meningkat derajatnya. Para pembuat akta tanah ini dibayar per kata yang tertuang dalam akta tanah yang dituliskannya. Tidak heran berbagai trik olah kata dan kalimat kemudian menjadi keahlian para ‘PPAT’ ini.

Ketika jaman industri terus menguat, dan tatanan feodal semakin luntur, pembuatan akta tanah tak lagi sepanen dahulu. Kebutuhan yang lebih marak adalah kontrak dan pengaturan berbagai kegiatan perdagangan dan politik yang semakin kompleks. Yang juga utama adalah pembentukan peraturan. Nah, keahlian mereka sebagai penyusun naskah hukum dimanfaatkan oleh negara modern. Tapi, karena tabiat lama sudah mendarah daging, akibatnya kalimat peraturan juga jadi ikut-ikutan berpanjang-panjang seperti akta tanah di masa lalu.”

Lalu bagaimana membuat kalimat yang efektif. Kiatnya sederhana saja: usahakan setiap kalimat memuat “satu ide dan terbaca dalam satu tarikan nafas”.
Kalau ada dua ide, misalnya: Bapak harus pergi ke pasar sedangkan ibu boleh membaca koran; maka pisahkan saja jadi dua ayat. Kalau masih sulit memisahkannya karena tidak tega, minta tolong pada perancang yang lain. Sesama perancang kan harus saling membantu. (Mempersilahkan perancang lain untuk membaca dan mengomentari adalah tradisi yang baik untuk dikembangkan para perancang progresif.)

Kalau kalimatnya belum juga terbaca dalam satu tarikan nafas, boleh jadi karena dua hal; kata yang anda pilih mengandung banyak anak kalimat, sehingga mesti terus menerus dijabarkan ulang. Atau, karena konsepnya belum matang, sehingga masih perlu digoreng lagi. Greg Churcil, periset dan pemerhati dokumentasi hukum, pernah memperingatkan isu yang kedua ini dalam sebuah pelatihan perancangan. “Sering kali, peraturan di Indonesia mengadopsi konsep asing tanpa menyadari bahwa yang diboyong juga sistemnya. Makanya, banyak peraturan yang kalimatnya jadi panjang-panjang tak tentu arah karena terpaksa tambal sulam dan pinjam pakai sana sini.”

Jadi, kalimat yang belum sempurna bisa juga juga jadi penanda masih ada hal yang belum tuntas digodok dalam sebuah rancangan!