Friday 23 February 2007

Jangan-jangan Hukum Itu Puisi?

Saya baru saja membaca gumaman Hikmat Budiman di blog-nya tentang nasib buruk buruh iPod di Cina, yang memicu lagi pertanyaan: Apakah hukum bisa memuliakan martabat kemanusiaan? Apakah hukum bisa mengeluarkan manusia dari gelimang kemiskinan dan kebobrokan nasib? Apakah hukum bisa berkontribusi membangkitkan bangsa ini agar tidak hanya berjuang untuk mengorek remah-remah kekayaan negara kaya, tapi melompat lebih jauh berikhtiar untuk memajukan nasib bangsa lain di belahan dunia lain?

Menurut Dan Lev tugas utama anak negeri yang pro-pembaruan adalah “mencari sistem hukum-yang-lain”. Sejak berkawan dengan gank inspirit, saya mulai digugah untuk merenungkan suatu watak hukum yang berbeda dari yang sudah ada dan sudah pernah saya pikirkan. Yakni hukum: yang bukan memagari, tapi justru melapangkan. Yang bukan menghantui dengan cemeti, tapi malah menerangi dengan inspirasi. Yang tidak selalu cemas melihat manusia, tapi merayakan keunikan dan keliarannya. Yang tidak memerangkap ide dan kreasi yang bergulir, tapi justru menceburkannya ke semesta imajinasi.


Tapi, hukum bukanlah puisi, kata Gunawan Mohamad di sebuah catatan pinggirnya tentang konstitusi. Sebab guna hukum untuk mengikat penafsiran. Sedangkan fungsi puisi sebaliknya: untuk memencarkan imajinasi. Meski begitu, kata sang begawan di esainya yang lain, memenjara proses menafsir sebetulnya adalah suatu tindakan yang mustahil. Karena manusia, obyek dan konteks terus menerus mengubah dan berubah. Tak henti dan tak mungkin dihentikan. Berarti hukum yang rigid boleh jadi cuma ilusi.

Kalau begitu, jangan-jangan hukum bisa sama perangainya dengan puisi. Lebih mendorong imajinasi dan inovasi daripada mengekangnya. Hanya proses penciptaannya saja yang relatif berbeda: bukan dengan isolasi dan kontemplasi individual, tapi melalui serangkaian sharing dan meditasi segenap warga bangsa. Hukum yang berjati-diri puisi adalah kemungkinan.

Untuk imajinasi berjamaah, tampaknya ruang parlemen dan pengadilan sudah semakin sempit dan sepi dari khalayak ramai (public). Tak jarang juga gedung itu malah menghambat lompatan pikiran dan menghalangi rasa kebersamaan. Akan lebih bermanfaat bila praktik politik dan hukum dalam pengertian yang usang diperluas maknanya jadi ikhtiar bersama di segala ruang pertemuan. Politisi, hakim, akademisi, advokat, drafter, birokrat dan lain sebagainya juga tak mesti terbebani lagi tugas eksklusif sebagai pembentuk hukum. Karena semua warga yang berjiwa bebas dan berpikiran merdeka adalah peserta dan pelaku utamanya. Sehingga hukum tak ubahnya puisi kolaborasi.