Thursday 22 March 2007

Eeten zonder betaalen

“Jij….erasmus….rotterdam…kjgjhhgchtgchtgchtghghgh?”. Tersentak saya dari kantuk wawancara penelitian yang agak membosankan itu. Di hadapan saya ada responden penelitian kami, seorang hakim senior, nampak menunggu jawaban. Mulutnya masih agak terbuka mencong sisa mengucapkan pertanyaan dalam bahasa belanda itu.

Merasa harus menjawab dalam bahasa belanda juga, saya akhirnya memaksakan untuk menjawab. Menurut saya, jawaban hasil kursus 2 bulan di masjid Indonesia Rotterdam itu cukup memuaskan. Tapi tidak untuk pak hakim. Walau sejenak, raut wajahnya terlihat agak kecewa, seakan saya telah memupuskan suatu harapan yang dinantinya bertahun-tahun.

Situasi untungnya segera terselamatkan. Rekan peneliti yang menjadi tandem wawancara saya, segera menjawab dalam bahasa belanda yang fasih dengan derajat kemencongan bibir yang nyaris sama. “Iya pak dia ambil master di Rotterdam, kalau saya ambil di Utrecht begitu kira-kira terjemahannya dalam bahasa orang bumi. Pak hakim terlihat puas. Matanya berbinar. Jaman masih normal, begitu mungkin pikirnya.

Saya tentunya bukan ingin curhat soal kemampuan bahasa belanda saya yang payah. Saya ingin mengungkapkan betapa kesenjangan hukum dari masyarakat merupakan suatu konsekwensi logis dari usaha keras para ahli hukum untuk menjauh dari kenyataan hidup.

Ironisnya memang, banyak ahli hukum berusaha keras untuk mencapai pencitraan yang menyesatkan itu. Saya tahu ada seorang ahli hukum senior yang berjuang untuk mengambil kursus bahasa belanda agar bisa hang out dan disejajarkan dengan ahli hukum senior lain. Atau misalnya kisah tentang seorang profesor hukum di DPR yang dalam setiap fit and proper test pajabat bidang hukum selalu mencibir dan melecehkan para pelamar yang tidak mahir bahasa meneer dan mevrouw itu.

Dalam tulisan-tulisan ilmiah hukum ataupun praktek, menuliskan “badan hukum” tanpa ada kata “rechtpersoon” di dalam kurung seakan kurang canggih. “Perbuatan melawan hukum” tanpa padanan “onrechtmatigedaad” seakan kurang garang.

Tidak hanya soal bahasa, kesenjangan itu juga tercermin dari usaha pembedaan dalam hal gaya hidup yang lain. Ibu hakim senior dengan rambut sasak tinggi, advokat dengan pakaian warna nggak matching, rancangan kontrak atau pasal yang panjang dan ruwet dll.

Selama perilaku pembedaan (othering) dari para ahli hukum ini terhadap masyarakat terus berlangsung, jangan mimpi ada hukum ataupun penegakan hukum yang masuk akal bagi masyarakat. Ahli hukum hidup dan bekerja di dunianya sendiri yang beda nila-nilai ataupun etika-nya.

Generasi “Londo oriented” memang satu persatu mulai pergi. Tentunya kita sebagai generasi muda perubahan hukum harus mengambil hal-hal baik yang mereka tinggalkan. Pastikan saja yang kita ambil bukan pencitraan eksklusifnya yang senjang dari masyarakat. Bayangkan saja 30 tahun dari sekarang, pada saat bahasa Cina sudah jadi bahasa Internasional, kita yang lebih “Amrik oriented” berusaha berkomunikasi dengan ahli hukum muda dalam bahasa inggris. Wo pu ce tao! Begitu mungkin jawab mereka.

-ery-

Bukan Anak Partai (Mungkin Anak Pantai)

PSHK underbouw partai politik?? Ah gila lo! Kata siapa tuh?

Bukan. Tidak. No lah. PSHK tidak berafiliasi dengan partai politik manapun. Kalau ada pilihan-pilihan peneliti, karyawan, atau pendiri PSHK, ya wajar saja, kan kebebasan berpolitik dijamin dalam konstitusi ;-). Tapi PSHK secara institusional tidak membantu partai politik tertentu. Ditawari ya tentu pernah karena kami bekerja di wilayah yang sangat berdekatan dengan politik. Tapi kami percaya bahwa untuk bisa memberikan masukan secara efektif, kami harus tetap netral. Kalaupun kadang-kadang saya misalnya, atau peneliti lainnya, diundang beberapa fraksi atau partai dalam rapat kerjanya, itu adalah bagian dari tugas saya. Dan kami pun diundang bersama dengan narasumber dari institusi lainnya.

Maka, dalam memberikan pelatihan pun, kami menawarkannya pada semua fraksi. Sayangnya, waktu itu (awal 2005) hanya empat fraksi yang mau. Walau kemudian ada juga fraksi yang minta ke PSHK untuk melatih para staf ahlinya (lagi-lagi dalam Program Layanan Legislasi yang pernah saya ceritakan itu). Kenapa ada yang tidak mau? Tanyalah pada mereka :-), sebab tentu saja ini gratis alias tidak dipungut biaya. Tujuan kita kan bukan "cari duit" :-), tapi untuk perbaikan di senayan sana. Kita juga memberi pelatihan untuk perancang (drafters) di DPR dan juga di departemen-departemen. Juga untuk anggota DPD.




Pelatihan DPRD Perempuan di Aceh

Pada November 2006 dan kemudian Februari 2007, PSHK membantu MISPI, sebuah NGO perempuan di Aceh, untuk memfasilitasi pelatihan peningkatan kapasitas anggota legislatif perempuan se-Aceh. Ini karena PSHK punya "Program Layanan Legislasi" yang memang ditujukan untuk membantu kawan-kawan yang butuh difasilitasi dalam pelatihan ataupun perancangan peraturan, meskipun tidak masuk dalam program kerja PSHK. Supaya responsif, begitulah singkatnya.

Seru. Akhirnya, pada pelatihan terakhir (itu adalah seri pelatihan) disepakati pembentukan Kaukus Perempuan Parlemen Aceh. Saya dan Herni akan membantu lagi kawan-kawan MISPI sewaktu mendampingi mereka nanti ke Jakarta untuk ketemu Kaukus Perempuan Parlemen dan Kaukus Perempuan Politik.



Cerita panjang, nanti deh sepotong-sepotong ceritanya :-), tapi sementara foto-fotonya saja dulu.

Wednesday 21 March 2007

Schoolhouse Rock- How a Bill Becomes a Law

Video menarik tentang bagaimana "si Bill" menjadi "Law" :-) di Congress Amerika Serikat. Nanti PSHK bakal bikin "beginian" juga ah :)

Choice Creating dalam Menyusun Solusi Legislasi

Tadi pagi, sambil sarapan, saya dan Erni membincangkan soal metodologi perancangan. Dalam banyak training yang PSHK selenggarakan, ada satu dari tiga langkah dasar dalam Metode Pemecahan Masalah (problem solving method) yang sangat sulit ditularkan dan disimulasikan. Langkah itu adalah yang terakhir: Menyusun Solusi. Berkali-kali kami coba untuk mengubah cara kami menyampaikan langkah ini, berkali-kali pula kami harus kembali ke metode klasik, yakni ceramah. Biasanya yang kami lakukan adalah kami presentasikan butir-butir teori dan tahapan menyusun solusi, terutama penggunaan skema Sampath untuk menggali dan mengaitkan rincian solusi dengan akar masalah yang sudah dianalisis, kemudian memberi tugas simulasi kepada peserta. Namun, seperti yang kami sangka, metode ini kurang berhasil membuat terang pemahaman peserta. Kadang malah membuat frustasi. Pada akhirnya, solusi yang dibuat peserta tak mengundang inspirasi, tak lengkap dan malah kadang tak lagi peduli pada langkah-langkah yang sudah dijalani denga susah payah sebelumnya yakni: menemukan masalah sosial dan menjelaskan akar masalah sosial. Alhasil proses jadi anti-klimaks.

Saya kebetulan sedang membaca blog Inspirit. Ada satu cerita Mas Dani di situ yang berkaitan dengan choice creating. Yakni suatu perspektif yang dikembangkan untuk melampaui model penyusunan solusi dalam problem solving dengan cara membangun sikap dan proses yang lebih dekat pada membangun imajinasi dan menciptakan pilihan-pilihan cerdas. Saya setuju dengan cara pandang ini. Pertama, tugas perancang yang utama adalah menyodorkan berbagai pilihan kepada para pemimpin politik untuk dipertemukan dengan visi politik besar mereka. Kedua, menyusun solusi sangat berbeda sikap dasarnya dengan mengidentifikasi masalah dan menganalisis akar masalah. Dua langkah pertama tersebut memposisikan perancang sebagai penelusur jejak sejarah, dengan posisi psikologis "memandang ke belakang". Sedangkan menyusun solusi justru sebaliknya, perancang diwajibkan membayangkan situasi yang diidealkan, sehingga secara psikologis "memandang ke depan", sambil membenturkannya dengan kenyataan yang sudah berhasil dikumpul dan diolah. Jadi, menyusun solusi mensyaratkan sikap dasar dan metode yang memang harus berbeda. Perspektif choice creating sepertinya memberi landasan itu.

Saya kira metode ini menarik untuk dipinjam-pakai dalam langkah penyusunan solusi dalam legislative drafting. Sebab, perasaan saya, yang lumayan gagal dalam penyusunan solusi perundang-undangan selama ini adalah ketidakberhasilan perancang membangun cita-cita dan visi dalam rancangan undang-undang. Sehingga, solusi yang tersusun lagi-lagi akan terperangkap ke dalam sistem lama yang bermasalah atau yang lagi trend: penjiplakan. Bisa jadi kelihatan seperti solusi baru, tapi terasa kering dan melulu tambal sulam. Bahkan kadang luar biasa "bodong", seperti gambar di bawah ini...


Lantas bagaimana teknik menerapkan perspektif creating choice. Mari kita coba turunkan ke level praktis.

Kata Einstein, "Imagination is more important than science". Imajinasi butuh proses yang sabar dan tidak biasa. Imajinasi bukan sekadar menghayal. Bukan pula sebuah proses menggugah hasrat untuk menggapai sesuatu atas dasar ideologi atau teori-teori umum. (Yang terakhir ini yang biasanya tergelncir pada metode ends-means dalam legislative drafting). Imajinasi meskipun berorientasi ke masa depan, biasanya tetap terkoneksi dengan konteks dan terhubung dengan masa lalu. Imajinasi berupaya menggali "pengetahuan tersembunyi" (tacit knowledge) yang ada di dalam benak dan memvisualisasikannya menjadi visi yang menggairahkan yang membangkitkan antusiasme. Memang tidak mudah. Bahkan John Lennon sendiri mungkin tak menyadari betul hal itu ketika menggubah "Imagine". Apalagi untuk bangsa ini, yang menurut Mas Dani tak terbiasa berimajinasi secara mendalam. Seringkali yang ditelurkan hanya khayalan yang dangkal dan tak mampu menggerakkan orang. Meskipun diteriakkan dan dipaksakan dengan keras ya tak akan merasuk ke dalam jiwa banyak orang.

Proses pengubahan tacit knowledge menjadi pilihan-pilihan solusi (external knowledge), menurut buku "knowledge management" memang butuh metode dan teknik khusus. Tacit knowledge ada di dalam otak kita tidak dalam bentuk digital atau susunan kata-kata. Tapi berbentuk analog atau susunan gambar-gambar. Bayangkan saja begini: coba anda ceritakan dengan lisan secara lengkap raut wajah salah satu teman sekantor anda, sulit bukan. Kalaupun bisa, pasti kurang lengkap. Lebih mudah sebenarnya bila anda disuruh bercerita sambil dipandu dengan gambar-gambar tertentu, seperti dalam proses identifikasi buronan. Atau dengan cara menganalogikannya dengan sesuatu, seperti: bibirnya bak delima merekah, atau alisnya bak semut beriring (peribahasa yang cukup aneh tapi memudahkan).

Knowledge management menganjurkan sebuah jalinan proses: metafor-analog-model. Metafor, secara halus-mulus menkontradiksi dan pada akhirnya mensintesakan dua atau lebih hal-hal yang wajar (dalam arti biasa-biasa saja, atau pada umumnya) menjadi hal yang baru. Metafor membangun imajinasi yang inovatif. Langkah kedua membuat kita menyelam lebih dalam: membangun analogi. Analogi berguna untuk mengkongkretkan metafor ke dalam pilihan-pilihan cerdas. Di langkah terakhir, pembangunan model, berbagai pilihan tersebut dikembangkan dan diturunkan ke dalam bentuk-bentuk yang kongkret, hingga kasat indrawi dan terukur (measureable). Langkah metafor dan analogi biasanya perlu berbagai macam teknik dan media, khususnya yang bernafaskan seni, seperti menggubah lagu, bernyanyi, menggambar, dan lain sebagainya. Gunanya membangunkan otak kiri, otak yang mendorong imajinasi. Bisa jadi langkah ini dilakukan berkali-kali dan bulak-balik. Jangan terburu-buru, karena kegagalan membangun metafor dan analogi hanya akan mempersulit proses pembangunan model. Pada tahap modelling, penjejakan pada bumi realitas perlu dilakukan secara serius. Pada saat inilah proses koneksi, koreksi, kompromi dengan hasil dari analisis akar masalah mesti dilakukan dengan hati-hati dan jeli, tanpa mengorbankan visi dan menelantarkan imajinasi.

Itu dulu sementara ini. Semoga cara ini lebih merangsang kita menyusun solusi perundang-undangan yang luar biasa dan inspiratif.

Waspada: metode dan teknik ini sampai sekarang belum pernah saya coba sendiri, baru sebatas gagasan saja. Nanti kalau sudah diterapkan akan saya ceritakan kisah kasihnya ... :-)

Tuesday 13 March 2007

Percobaan Mengelompokkan Undang-Undang

Beberapa waktu lalu, seorang teman bertanya soal kemungkinan legislative review untuk UU Pemekaran Wilayah yang menyebabkan konflik di Kabupaten Banggai. Itu kampungnya. Dia bilang ini undang-undang yang poorly drafted sehingga interpretasinya bisa macam-macam. Bahasa “legislative review” pernah muncul di salah satu putusan MK. Saya bilang, secara prosedural khusus LR ya tidak ada, tapi pada dasarnya itu adalah pemeriksaan (review) yang dilakukan oleh lembaga legislatif, as opposed to judicial review. Lantas saya kasih dia dua usul konkrit.

Pertama, minta hearing kepada Komisi II dengan menggunakan bahasa “legislative review”, politisi yang haus popularitas pasti akan senang dengan kata kunci ini. Apalagi, bila kita posisikan mereka sebagai “penengah situasi konflik” – pahlawan. Dan tentunya, jangan lupa bahwa merekalah yang membuat kekacauan karena produksi UU Pemekaran Wilayah yang tak kunjung dihentikan. Tentu permintaan via surat ini harus didukung dengan lobby agar segera diagendakan. Segera setelah hearing terjadi, buat konferensi pers di media centre DPR untuk mengangkat isu ini sekaligus memberikan tekanan agar aksi LR segera mereka lakukan.

Kedua, minta fatwa ke MK untuk menginterpretasikan UU ini. Ini tidak lazim, tapi segala celah harus dicoba. Karena konflik begitu buruk di sana. Bukan hanya tidak lazim, upaya kedua ini juga sebenarnya kurang tepat, karena urusannya memang bukan konstitusionalitas. Melainkan soal undang-undang yang dirancang dengan buruk sehingga bisa diinterpretasikan berbeda.

Cerita kedua. Kemarin seorang kawan dari Tual datang. Dia dulu peserta pelatihan perancangan di Ngur Bloat, Kepulauan Kei. Lalu kita ketemu lagi waktu saya diminta memberikan sesi untuk pelatihan lobby untuk penyelesaian konflik oleh ITP. In between, saya berkomunikasi terus dan membantu mereka dari jauh, seperti pada kawan-kawan di Kupang. Akhirnya dia berhasil datang. Apa soal? Rupanya elite politik di sana juga mau pemekaran. Halah. Dan dia mau mencegah itu terjadi. “Nggak ada untungnya buat rakyat,” dia bilang, “itu maunya kandidat Bupati yang kemarin kalah pemilihan.” Tentu saja, klise.

Saya agak letih mendengar kata-kata: undang-undang adalah keputusan politik. Ya tentu saja saya setuju. Sudah banyak diakui, dan dikutip dalam berbagai studi PSHK sendiri, bahwa undang-undang memang keputusan politik. Tapi yang membuat kuping letih dan hati kesal adalah bahwa asumsi itu sering dijadikan justifikasi untuk pembentukkan undang-undang yang penuh kepentingan politik tanpa ada pagar, tanpa keterbukaan, dan tidak didasarkan pada kepentingan politik dari konstituennya. Kepentingan politik disempitkan menjadi kepentingan elite politik. Ini salah.

Lalu saya mencoba mensistematiskan pemikiran mengenai undang-undang. Di mana sebenarnya letak UU pemekaran wilayah? Sudah lama dipikirkan, karena menulis catatan awal tahun. Sama pertanyaannya dengan: di mana letaknya UU Ratifikasi dan Penetapan PERPU? Sebab mereka punya kriteria tersendiri. Di bawah ini saya tuliskan sebagian pemikiran itu. Masih setengah matang. Tapi ditulis dululah, sembari mengunyah gagasan. Buat bahan diskusi juga.

Undang-Undang Organik

Saya jadi mikir begini: legislasi pada dasarnya adalah dokumen keputusan politik yang dijadikan hukum dalam suatu wilayah negara. Berkaca dari cerita-cerita soal pemekaran wilayah dan pertanyaan yang banyak dihadapi dalam pelatihan, saya kira kita bisa memilah undang-undang menjadi dua “jenis” (atau bentuk atau entah apa terminologi yang tepat). Pertama, undang-undang yang mengatur relasi-relasi antarmanusia atau antarkelompok dalam wilayah negara dan antara manusia atau kelompok dan negara. Ini yang kita kenal selama ini, yang seringkali dijadikan obyek studi dan pelatihan. Maka di dalamnya ada pengaturan mengenai perilaku dan institusi (perilaku berulang). Kedua, undang-undang yang mengatur badan, organisasi, negara: Undang-Undang Organik. Betul atau tidak secara metodologis untuk memilah undang-undang seperti ini, masih harus didiskusikan lagi. Tapi saya kita ini akan memudahkan untuk melihat undang-undang macam UU Mahkamah Agung, UU Komisi Yusidial, atau UU Susduk. Definisi yang jamak digunakan di Indoneisa, undang-undang organik adalah undang-undang yang mengatur lebih lanjut materi muatan konstitusi.

Saya google kata kunci “organic legislation”, yang muncul legislasi tentang tanaman organik :-), saya coba lagi dengan kata kunci “organic law”, nah ketemu :-).

“An organic law or fundamental law is a law or system of laws which forms the foundation of a government, corporation or other organization's body of rules. A constitution is a particular form of organic law for a sovereign state (sumber: wikipedia).

Definisi lainnya tentang organic law: “law determining the fundamental political principles of a government” (sumber: thefreedictionary.com).

Apa ini berarti undang-undang organik tidak membutuhkan penelitian dengan metode pemecahan masalah? Tidak. Pembedaan ini hanya membantu untuk melihat bagaimana awalnya kebijakan legislasi muncul. Tadi saya bongkar lagi bukunya Bob dan Ann karena penasaran. Tidak ada catatan yang spesifik di situ mengenai soal ini. Akhirnya saya kunyah-kunyah sendiri dan berkesimpulan bahwa penelitian dengan MPM bagaimanapun diperlukan. Bob dan Ann mengingatkan kita pada sesuatu yang penting: perancang adalah perumus konkrit suatu kebijakan yang ditentukan oleh politisi. Perancang menerjemahkan kebijakan besar itu dengan didasarkan pada penelitian (MPM) sebagai pagarnya.

Nah, kebijakan itu ada yang sifatnya murni kebijakan berdasarkan situasi (dalam siklus perencanaan-monitoring-evaluasi kebijakan publik), dan ada juga yang diberikan disainnya oleh konstitusi. Inilah yang bisa dikategorikan sebagai undang-undang organik. Namun bagaimana relasi di dalam institusi itu: pengambilan keputusan, pengisian jabatan, dan sebagainya, bisa dan akan baik sekali bila diisi dengan MPM.

Kebijakan Ketat Kriteria (K3)

Untuk yang ini saya belum menemukan label yang tepat (ada yang bisa bantu?). Intinya, ada undang-undang yang pembuatannya memang dengan kriteria tertentu yang sudah pasti (fixed). Undang-undang pengesahan perjanjian internasional, pemekaran wilayah, dan pengesahan PERPU adalah bagian dari kelompok ini. Masing-masing sudah ada kriterianya. Untuk perjanjian internasional, sudah ada UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Pemekaran wilayah diatur dalam UU 32/2004 dan juga PP 129/2000 (harusnya sudah diganti dan ini yang jadi soal). Begitu juga, PERPU sudah diatur dalam konstitusi (tapi sama sekali belum jelas). Cara penentuan kebijakannya sudah dibuat jelas kriteria dan prosedurnya.

Masalahnya itu tadi: kriterianya sudah harus ditinjau ulang, dievaluasi, dan disempurnakan.

[stop dulu, herni udah nagih kata pengantar :-)]

Thursday 1 March 2007

Tentang Role Occupant atawa Pengemban Peran

Pada beberapa pelatihan dan penyusunan manual perancangan peraturan PSHK ada proses pencarian terhadap istilah yang paling pas digunakan untuk menyebut ‘pihak-yang-dikenai-aturan’. Pencarian ini bukan sekadar untuk kepentingan praktis, tapi yang lebih utama adalah kesesuaian dengan konteks, konsep dan perspektif yang ingin ditawarkan oleh PSHK dalam metode perancangan peraturan (legislative drafting). Pencarian tersebut yang melatari tulisan seputar role occupant ini, khususnya rasa penasaran terhadap asal muasal dan konsekuensi analitik yang timbul dari istilah tersebut. Uraian di bawah dalam banyak hal merupakan tafsiran saya sendiri, dan memang sengaja dibuat menyederhanakan beberapa pemikiran yang sebetulnya sangat kompleks.

Dalam buku “Legislative Drafting for Social Democratic Change: A Manual,” (Kluwer Internasional, 2000) Bob, Anne Seidman dan Abeysekere menggunakan terma Role Occupant (RO) sebagai istilah yang menunjukan kategori subyek yang menjadi target atau sasaran pengkajian dan implementasi aturan-aturan perundang-undangan. Dalam buku terjemahan Indonesia yang diterbitkan ELIPS Project II, RO diterjemahkan menjadi ‘Pelaku Peran’ (cat. menurut saya lebih tepat: ‘pengemban peran’).

Istilah ini dalam kajian sosiologis biasa digunakan oleh para pengikut Emile Durkheim (Durkheimian). Salah satu suhu besar dalam Ilmu Sosial, selain Max Weber dan Karl Marx. Sosiolog Perancis ini adalah seorang peletak landasan kajian hukum dan masyarakat. Sebagai sosiolog beliau sangat menaruh perhatian pada fungsi hukum dalam masyarakat. Bahkan evolusi masyarakat menurut Durkheim dapat dilihat dari tahap-tahap perkembangan hukumnya. Masyarakat yang masih bersifat mekanis, yang dicirikan dengan pembagian kerja yang belum kompleks, masih didominasi oleh hukum-hukum pidana. Sedangkan masyarakat yang sudah organis, yang dicirikan oleh pembagian kerja yang semakin spesifik, lebih didominasi oleh hukum kontrak.

Durkheim percaya bahwa individu hanyalah bagian dari masyarakat. Yang membedakan satu individu dengan individu lainnya adalah perannya (role) dalam masyarakat. Peran-peran tersebut diemban oleh individu semenjak lahir dan disosialisasikan oleh komunitas sepanjang hidupnya. Peran-peran tersebut yang kemudian menjadi ‘perekat’ harmonisasi interaksi antar individu dan kelompok dalam suatu masyarakat. Perekat yang utama dalam kesinambungan hidup masyarakat menurut Durkheim adalah HUKUM.

Individu yang menyimpangi perannya dianggap mengganggu keserasian hidup bersama di dalam komunitasnya. Sehingga Ia patut dikenai sanksi yang tujuannya adalah untuk mengembalikan keseimbangan (equilibrium) kosmos yang terganggu oleh ulah individu tersebut. Sanksi, fungsi utamanya adalah menjadi sarana penyembuh masyarakat, bukan pengobat tabiat individu. Individu yang ‘sakit’ kalau bisa dikembalikan ke jalan yang benar, ya syukur. Tapi kalau tak bisa, ya tidak apa-apa, yang penting masyarakat ‘normal’ kembali. Makanya, kalau dalam pandangan ini, hukuman mati atau pengusiran jadi salah satu pilihan lumrah dalam penjatuhan sanksi .

Dengan begitu, Individu tak lain dan tak bukan hanyalah pengemban peran. Bila perannya dihilangkan, maka ia tak lagi eksis sebagai anggota masyarakat. Bila sebagian saja perannya ditiadakan, maka sebagian “hak”nya dalam ruang dan waktu tertentu juga diabolisi. Sehingga tak heran bila di dalam suatu masyarakat kaum perempuan tak punya hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, sebab perannya dalam ruang publik ditiadakan oleh masyarakat (yang didominasi laki-laki) tersebut. Atau, mereka hanya boleh bekerja kalau mendapatkan ijin dari suaminya atau bapaknya, sebab ruang publik bukanlah tempat utamanya berperan.

Individu sebagai subyek seolah-olah hilang dalam pandangan Durkheimian. Sebab, tanpa peran Ia bukan lagi subyek. Masyarakatlah yang menentukan jati diri subyek. Masyarakat selalu superior terhadap indvidu. Hukum, oleh karenanya mesti luhur dan diluhurkan. Dalam negara-bangsa modern, hukum yang luhur idealnya murni dari campur tangan anggota masyarakat yang berkepentingan dan yang berkuasa. Kalaupun ia dihasilkan dari kegiatan politik dan ekonomi, ia bisa dicabar dalam ruang steril kuasa, yakni pengadilan. Pengadilan menjadi penjaga sesuatu ‘yang luhur’ itu. Dengan demikian, si pengemban peran punya kepastian terhadap perannya (termasuk hak-haknya) dalam masyarakat.

Terhadap cara pandang Durkheimian tersebut, Soetandyo Wignjosoebroto menggugatnya (lihat dalam berbagai tulisan dalam bukunya Hukum: Paradigma, Teori dan Metode, terbitan Huma, Walhi dan Elsam, 2002). Menurutnya, Individu tak mungkin direduksi jadi sebatas pengemban peran dalam masyarakat. Sebab, individu diciptakan sebagai mahluk berbudi, kreatif dan rasional. Ia tak melulu (harus) tunduk terhadap masyarakat di mana dia hidup dan bertumbuh-kembang. Ia dianugerahi kemampuan untuk ‘memilih’ (choose) dan ‘bertindak’ (action) mandiri. Kala Ia siap mengarungi kehidupan sebagai Individu dewasa, Ia adalah subyek yang menggendong penuh hak-haknya sebagai manusia yang utuh. Sehingga perlakuan yang patut terhadapnya adalah: perlakuan yang mengajaknya berpikir, perlakuan yang beradab dan perlakuan yang menantangnya untuk berkreasi/berkarya.

Pandangan Pak Tandyo ini tentu saja dipengaruhi oleh garis pikir dasar Weberian dan pendekatan Konstruksionis, yang memuliakan individu sebagai mahluk rasional yang berkesadaran dan mampu mengubah. Hukum dalam pandangan ini (yakni hukum modern), fungsi utamanya adalah perangkat lunak untuk membatasi tindak-tanduk negara, baru kemudian perilaku individu. Negara, dalam sebuah masyarakat adalah keniscayaan. Mahluk ini memang superior terhadap individu dan diijinkan bertindak represif terhadap siapa saja yang mengganggu ketentraman hidup individu lainnya. Oleh karena itu mesti dibatasi wewenang dan mekanisme bertindaknya. Dan, agar Individu juga tetap bisa menjaga dirinya sendiri dari ‘kesewenang-wenangan’ negara maka Ia dibekali hak-hak khusus (afirmasi) yang bisa digunakan dalam forum netral yakni pengadilan, seperti hak untuk mendapatkan pembelaan di dalam proses peradilan, hak untuk diperlakukan secara pantas dan bermartabat dalam proses peradilan dan lain sebagainya.

Terbalik dengan apa yang dipikirkan Durkheim, Individu dalam pandangan Weberian dan Konstruksionis adalah pembentuk masyarakat. Tak ada masyarakat tanpa Individu, atau dengan bahasa lain; masyarakat tak ubahnya penjumlahan individu-individu yang berkemampuan mengubah sejarah. Dengan begitu, masyarakat yang sehat adalah yang memberikan kesempatan dan ruang kepada individu untuk bertindak bebas merdeka. Sebab kebebasan adalah pangkal dari tanggung jawab. Dan, tanggung jawab ialah modal dasar keserasian hidup bersama. Begitu kata seorang filsuf dari Amerika sana.

Alhasil, konsep Role Occupant jadi tidak cocok dengan pandangan yang belakangan ini. Dalam beberapa literatur, kaum weberian dan konstruksionis mengistilahkan pihak yang menjadi sasaran pengaturan dengan ‘Aktor Sosial’. Kesan yang timbul dari konsep itu adalah individu yang aktif (berpikir dan bertindak) dalam sebuah arena sosial.

Konsekuensi dari pilihan dua cara pandang tersebut bagi Perancang Progresif adalah pilihan perspektif dan metode yang digunakan dalam mengidentifikasi masalah sosial, mencari penyebab dan yang terpenting dalam menyusun solusi.

Jadi apakah konsep Role Occupant atau Pengemban Peran masih memadai untuk Perancang Progresif?

Ps. Sesungguhnya masih ada satu pandangan lagi yang perlu diajak diskusi, untuk memperkaya dan mempertajam cara pandang kita. Mungkin dalam kesempatan yang lain...