Sunday 4 November 2007

Pemikir hukum

Saya sedang menulis sebuah bab soal hukum dalam buku yang sangat menarik mengenai 100 tahun kebangkitan bangsa. Selagi dalam proses berpikir dan mendaftar referensi yang harus saya dapatkan di LevLib, saya semakin merasa bahwa memang sedikit pemikir hukum, yang orang Indonesia, yang berbicara tentang buruknya hukum di masa orde baru pada masa orde baru. Saya tidak bicara orang-orang seperti saya sendiri yang baru mulai bicara setelah orde baru lho. Bukan, melainkan orang yang di tengah represi suharto, mengkritik orde baru.

Sejauh ini saya hanya punya enam nama: adnan buyung nasution, marsillam, benny harman, mahfud m.d., satjipto rahardjo, dan sutandyo. Maksud saya di sini yang akademis. Orang harus membaca pemikiran mereka bila mau riset tentang hukum di masa orde baru. Di sisi lainnya, bila riset membutuhkan fakta yang baik tentang hukum di masa orde baru, orang harus membaca laporan-laporan penegakan hukum yang ditulis oleh LBH, yang ditulis oleh orang-orang semacam bambang widjojanto, munir, dadang trisasongko, mas otta, dan lain sebagainya. Jadi ada dua bagian: pada akademisi dan para aktivis (walau mereka sebenarnya in a way merangkap, hanya aktivis seringkali tidak dikategorikan sebagai akademisi karena mereka menuliskan laporan kondisi dan mungkin menganalisis namun tidak mengekstraksinya menjadi suatu teori akademik dalam konteks pemikiran hukum atau tesis atau antitesis. Namun keduanya sama-sama penting!)

Di sisi lainnya, ada juga pemikir-pemikir yang mendukung orde baru. Misalnya sunaryati hartono, mochtar kusumaatmadja, hamid attamimi, dan lain-lain. Bagaimana dengan yusril, jimly asshiddiqie, dan lain sebagainya? Mereka baru “muncul” belakangan. Mereka baru mulai bicara agak keras 1990-an. Sebelumnya, mereka memang tidak mendukung dalam arti mengembangkan pendekatan hukum orde baru seperti konsep “law as a tool of social enginering” a la Mochtar Kusumaatmadja dan pendekatan konsep negara integralistik dalam pembuatan peraturan hasil teorisasi hamid attamimi, tetapi mereka tidak mengkritik pendekatan hukum orde baru.

Tentu saja, konteks berpikir saya ada pada “gagasan besar” hukum, bukan teknis hukum seperti hukum pasar modal, cara berinvestasi di Indonesia. Kita katakan saja: soal gagasan rule of law.


Bagaimana dengan pemikir “non-Indonesia”? Saya hanya terpikir Dan Lev. Itupun dia sebenarnya political scientist yang melihat politik hukum di Indonesia. Lawyer? Mmhh… coba deh bantu pikirkan. Pasti ada juga satu atau dua, juga yang bicara soal hukum investasi dan lain sebagainya. Tapi sekali lagi, saya bicara soal gagasan besar tentang hukum dan juga dilakukan ketika orde baru masih tegak. Satu lagi tentu saja Sebastiaan Pompe. Tapi kategori waktu untuk dia agak tipis. Dan saya kira Dan Lev begitu besar karena dia tidak seperti beberapa penulis luar negeri tentang hukum di Indonesia yang hanya aktif di luar Indonesia dan di belakang meja. Dan Lev adalah juga “aktivis” dan orang yang terjun ke lapangan. Sekali lagi, Sebastiaan Pompe juga begitu dalam derajat yang berbeda.


Nah, saya sendiri belum “lahir” ketika itu (“you were a tiny dot” kata a). Kata frank, helmut kohl pernah bilang “the grace of the late born”. Tapi yang jadinya harus dipikirkan adalah: bagaimana melahirkan generasi pemikir hukum berikutnya. Dan sekali lagi, “pemikir hukum” di sini dalam arti “pemikir gagasan besar” soal hukum. Pertanyaannya kemudian: gagasan besar untuk “siapa”? Di sinilah saya kira, PSHK harus mulai berkontribusi dengan mengembangkan suatu school of thought. Socially responsible law bisa menjadi kata kuncinya. Apa itu “socially responsible law? Kali berikutnya akan kita bicarakan (mudah-mudahan nggak males nulis :-)).