Wednesday 19 December 2007

Naskah Akademik, Dokumen Kebijakan, dan Pemangku Kepentingan

[Catatan Pengantar Diskusi (dimodifikasi) dalam Lokakarya Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat Penyusunan RUU dan Raperda, diselenggarakan oleh Bappenas, Jakarta, 19 Desember 2007]

Naskah akademik seperti ada dan tiada dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Keberadaannya sering diinginkan, namun belum adanya dasar hukum yang kuat membuat Naskah Akademik seringkali tidak ada. Dalam praktek keberadaan Naskah Akademik muncul dari penelitian-penelitian yang dibuat oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional sejak 1970-an. Namun istilah ini baru mulai muncul dalam ‘teks’ hukum pada 2000-an.

Definisi Naskah Akademik bisa dilihat pada Perpres 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rancangan Perpu, Rancangan PP, dan Rancangan Perpres.
“Naskah Akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan Rancangan Undang-Undang.” (Pasal 1 Angka 7 Perpres 68/2005)
Yang menyusunnya adalah instansi pemrakarsa. Namun menurut Perpres 68/2005 Naskah Akademik bukanlah suatu kewajiban, normanya adalah “dapat”. Dinyatakan bahwa pemrakarsa dapat menyampaikan Naskah Akademik. Artinya, instansi pemrakarsa boleh saja tidak membuat Naskah Akademik, sepanjang ada konsepsi yang jelas. Begitu pula, istilah Naskah Akademik hanya muncul dalam pasal-pasal yang mengatur pengajuan RUU di luar Prolegnas (Pasal 5 Perpres 68/2005).

Didambakan dalam Praktek

Namun di dalam praktek, kehadiran Naskah Akademik memang seringkali diminta dalam pembahasan undang-undang. Pada saat ini dalam pembahasan di DPR RI hampir bisa dipastikan ada Naskah Akademik yang melengkapi sebuah naskah RUU. Karena itu (atau barangkali justru faktor ini yang mendorong adanya Naskah Akademik), dalam perencanaannya pun Naskah Akademik justru dijadikan syarat oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dalam pengajuan RUU prioritas dari departemen teknis. Adanya Naskah Akademik disepakati untuk dijadikan salah satu kriteria teknis dalam membatasi besarnya jumlah usulan RUU dari pemerintah (Lihat Pedoman Rapat Pembahasan Tahunan Prolegnas 2007 yang disusun oleh BPHN. Kriteria lainnya adalah (i) harus telah selesainya proses harmonisasi RUU di Departemen Hukum dan HAM; dan (ii) sudah ada naskah/draft RUU-nya. Hal ini juga tercermin dalam Tabel Rekapitulasi Hasil Monitoring Rancangan Undang-Undang Prolegnas Usulan Pemerintah (Departemen/LPND) Tahun 2007).

Mengenai apa dan bagaimana penyusunan Naskah Akademik, belum ada pengaturan lebih jauh. Pasal 5 Perpres 68/2005 menyatakan dua kriteria. Pertama, pembuatnya adalah oleh pemrakarsa dan Dephukham dan pelaksanaannya dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk itu. Kedua, muatannya sekurang-kurangnya adalah dasar filosofis, sosiologis, yuridis, pokok dan lingkup materi yang akan diatur. Selanjutnya, akan diatur di dalam sebuah peraturan menteri.

Menariknya, di daerah keinginan akan adanya Naskah Akademik juga mengemuka dengan kuat. Hal ini muncul dalam berbagai aktivitas yang saya lakukan dalam pelatihan maupun pendampingan DPRD. Namun masalahnya adalah ketiadaan sumber daya (manusia dan dana) yang memadai untuk membuatnya. Sehingga kalaupun ada Naskah Akademik, kualitasnya juga kurang memadai. Dalam hal istilah pun Naskah Akademik seringkali memunculkan salah kaprah di lapangan. Seringkali ada asumsi bahwa pembuat Naskah Akademik adalah akademisi dari universitas karena penggunaan istilah “akademik”.

Satu contoh kasus yang menarik adalah di Aceh. Keinginan untuk memiliki Naskah Akademik itu pun cukup kuat di sana. Dalam pengamatan saya, hal ini terjadi karena interaksi pembuat peraturan di Aceh yang cukup kuat dengan pembuat undang-undang di Jakarta dalam proses pembentukan UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Banyak hal di tingkat pusat yang ingin diadopsi ke konteks Aceh. Karena itu pula, wacana mengenai Naskah Akademik muncul dengan kuat dalam pembahasan Qanun Aceh No. 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun. Bahkan ketika pembahasan masih dalam tahap sangat awal, ada sebuah masukan mengenai suatu Rancangan Qanun Aceh yang diberikan kepada DPR Aceh yang ditolak karena ketiadaan Naskah Akademik yang mampu menjelaskan kepentingan Rancangan Qanun tersebut. Dalam berbagai diskusi, praktek dan dasar hukum di pemerintah pusat seringkali diacu. Maka pola pengaturan Qanun 3/2007 pun mengacu pada Perpres 68/2005, dengan memasukkan peran pemrakarsa dalam pembuatan Naskah Akademik.

Dokumentasi Pembahasan

Keberadaan Naskah Akademik diperlukan untuk mampu menjelaskan kepada pembentuk undang-undang/ perda mengenai materi muatan rancangan peraturan, termasuk kerangka pikir serta tujuan adanya peraturan tersebut. Tidak akan ada yang menyangkal hal ini. Naskah Akademik membantu orang banyak untuk dapat memahami pasal-pasal yang pada awalnya bisa terlihat membingungkan.

Sama pentingnya, Naskah Akademik juga akan berguna dalam pembahasan kasus oleh para hakim di Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung. Indonesia yang menganut model civil law Napoleon (meski di manapun penerapan sistem hukum ini sudah tidak ketat) masih memelihara tradisi civil law dalam interpretasi hukum di pengadilan. Model-model penafsiran yang diterapkan, mulai dari penafsiran kalimat sampai dengan teleologis membutuhkan dokumentasi yang lengkap mengenai pembahasan hukum. Seorang akademisi hukum Belanda pernah bercerita dalam sebuah diskusi, bukan hanya naskah pembuatan, melainkan seluruh notulen pembahasan di parlemen biasanya tersusun rapi untuk tujuan pembahasan kasus di pengadilan ini. Dengan pengelolaan dokumen pembahasan RUU dan Raperda yang belum lagi baik di Indonesia, adanya Naskah Akademik akan menyumbang bagi upaya ini.

Proposal: Naskah Akademik Sebagai Dokumen Kebijakan

Namun yang sering terlupakan adalah keberadaan Naskah Akademik sebagai dokumen kebijakan (policy paper). Yang dimaksud dengan policy paper di sini adalah sebuah dokumen yang menjembatani komunikasi mengenai kebijakan yang akan dibuat di antara pihak-pihak yang terkait, yaitu pembuat kebijakan, perancang, dan pemangku kepentingan (stakeholders).

Landasan pikir dalam pemikiran ini adalah posisi peraturan perundang-undangan sebagai suatu kebijakan publik (public policy) yang tertulis dan tertuang dalam bentuk sebuah produk hukum. Kebijakan publik dipahami sebagai suatu keputusan yang diambil oleh pejabat publik dalam struktur penyelenggaraan negara atas nama kepentingan warga negara.

Kerangka pemahaman yang demikian melahirkan dua konsekuensi.

Pertama, pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan perencanaan, monitoring, dan evaluasi yang matang karena kebijakan publik akan selalu mengalami keterbatasan, baik dalam soal sumber daya manusia dan dana, maupun waktu. Keterbatasan-keterbatasan ini membutuhkan adanya pengelolaan isu. Isu-isu harus dipilah dan dipilih dalam suatu urutan prioritas dan rencana implementasinya yang menyeluruh. Perhitungan pembuat kebijakan mengenai keterbatasan akan selalu mempengaruhi perencanaan.

Kedua, ada tiga aktor yang terlibat dan harus ada komunikasi yang baik di antara keduanya, yaitu pembentuk kebijakan, perancang peraturan, dan pemangku kepentingan.

Pembentukan kebijakan di sini diartikan sebagai politisi yang mempunyai peran mengambil keputusan. Perancang peraturan dipahami sebagai pelaksana teknis yang melakukan tugas perancangan berikut analisis kebijakan. Dan pemangku kepentingan adalah kelompok-kelompok tertentu di masyarakat yang akan terkena dampak langsung dari suatu kebijakan. Sehingga pemangku kepentingan bisa berbeda-beda, tergantung pada kebijakan yang diambil.

Naskah akademik sebagai dokumen kebijakan bergerak dalam dua wilayah di atas. Ia hadir sebagai dokumen yang mampu menjembatani komunikasi mengenai perencanaan, dampak, dan evaluasi suatu kebijakan di antara tiga pihak yang terlibat tadi. Pembentuk kebijakan dapat mempunyai pemikiran mengenai suatu kebijakan, perancang akan membuatkan rancangan peraturannya, namun kebijakan itu haruslah dikonsultasikan dengan pemangku kepentingan.

Pemangku Kepentingan yang Terlupakan

Yang sering terlupakan dalam praktek di Indonesia adalah pemangku kepentingan. Naskah akademik seringkali hanya dibuat untuk menjelaskan ‘apa yang ada di benak perancang atau pemrakarasa kepada anggota DPR’. Kalaupun Naskah Akademik tersebar luas di kalangan pemangku kepentingan, ia menjadi seperti background paper untuk menjelaskan adanya rancangan peraturan yang dibahas. Yang ingin saya persoalkan di sini bukan dapat atau tidaknya Naskah Akademik diakses dan dimiliki oleh pemangku kepentingan, melainkan: bagaimana Naskah Akademik dapat benar-benar menjembatani pemangku kepentingan dengan perancang dan pembentuk kebijakan.

Masuknya pemangku kepentingan sebagai “pihak” dalam pembentukan kebijakan sangat penting karena sesungguhnya pemangku kepentinganlah yang bisa membantu pembentuk kebijakan dan perancang untuk memutuskan apakah memang suatu peraturan itu dapat dilaksanakan (applicable) dan memang menyelesaikan masalah sosial yang ingin diselesaikan atau tepat sasaran.

Ilustrasinya, dalam pembentukan kebijakan mengenai pemberantasan demam berdarah di Jakarta misalnya. Untuk mengatasi masalah ini, pembentuk kebijakan membuat Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2007 yang salah satu isinya adalah pemberian sanksi bagi warga apabila di rumahnya ditemukan jentik nyamuk. Dapat dipastikan, Perda ini tidak dibuat dengan melibatkan pemangku kepentingan karena solusi ini sesungguhnya tidak masuk akal dari segi hukum. Banyak pertanyaan yang dapat diajukan. Mulai dari paradigma pengaturan yang memberikan sanksi bagi korban. Sampai dengan pertanyaan mengenai bagaimana nanti pembuktian soal jentik nyamuk itu? Apakah bisa dengan mudah menentukan siapa sesungguhnya pemilik jentik nyamuk itu dan apakah bisa dengan mudah menentukan apakah itu jentik nyamuk dan jentik nyamuk jenis apa yang ditemukan dan apakah ada SDM yang bisa melakukan hal itu dengan cepat di lapangan. Dapat diprediksi (berdasarkan pengetahuan) bahwa peraturan itu tidak akan efektif di lapangan karena tidak memperhitungkan dampak. Dan dampak, salah satunya bisa diukur dengan adanya keterlibatan pemangku kepentingan.

Alasan lainnya mengenai pentingnya pemangku kepentingan adalah alasan ideologis. Dalam suatu cara pandang, hukum dipandang sebagai sesuatu yang tidak mungkin netral. Pasti akan ada bias dalam pembentukannya. Yang bisa terjadi karena kepentingan langsung berupa perhitungan kerugian dan keuntungan pribadi atau kelompok. Ataupun karena adanya asumsi kuat mengenai kesamaan semua orang tanpa memperhatikan adanya kekhususan kondisi kelompok tertentu yang disebabkan oleh kondisi struktural. Misalnya dalam hal kelompok difabel, perempuan, serta kelompok miskin yang sesungguhnya lahir dari pengkondisian struktural dengan tertutupnya akses ekonomi dan pemajuan ekonomi. Cara pandang yang melihat hukum sebagai sesuatu yang netral menimbulkan konsekuensi dalam pembentukan hukum.

Hukum harus dibentuk dengan memperhatikan konteks yang melingkupi masyarakat yang hendak diaturnya. Sebab akan selalu ada kelompok yang mendominasi karena kekuatan politik dan ekonomi. Justru hukumlah yang mesti berupaya menyeimbangkan kondisi terdominasi ini, salah satunya dengan cara memperhatikan pemangku kepentingan ini. Ini merupakan salah satu bagian mengenai konsep "socially responsible law-making" yang sedang dikembangkan oleh PSHK.

Pemangku kepentingan di sini bukanlah “pakar” atau “pemuka atau tokoh” agama, adat, atau masyarakat. Pemangku kepentingan adalah kelompok-kelompok tertentu di masyarakat yang akan terkena dampak langsung dari suatu kebijakan. Sehingga pemangku kepentingan bisa berbeda-beda, tergantung pada kebijakan yang diambil. Misalnya, pemangku kepentingan dalam undang-undang tentang kewarganegaraan adalah pelaku kawin campur dan anak-anak hasil perkawinan campur. Contoh lainnya, pemangku kepentingan dalam RUU Pornografi adalah pekerja seni, penjual majalah, penerbit, dan lain sebagainya; bahkan juga asosiasi penggemar pornografi, bila ada.

Apa bedanya dengan akademisi, pakar, ataupun tokoh-tokoh? Akademisi, pakar, dan tokoh-tokoh nantinya dapat pula diundang untuk memberikan masukan berdasarkan keahlian dan pengamatannya serta ketokohannya. Namun yang tak tergantikan adalah ‘pengalaman’, hal-hal yang dialami langsung oleh sekelompok orang-orang yang akan terkena dampak dari peraturan. Pengalaman, sesuatu yang dialami dan dirasakan, tentunya tidak bisa diceritakan oleh seseorang yang tidak mengalaminya dengan baik, meski ia membaca puluhan buku dan mengikuti puluhan diskusi mengenai hal itu. Pengalaman seorang pengemis tidak akan bisa diceritakan dengan baik oleh ‘pakar pengemis’, melainkan oleh pengemis itu sendiri.

Dokumen Kebijakan Yang Efektif

Pertanyaan pentingnya kemudian: bagaimana membuat Naskah Akademik efektif sebagai dokumen kebijakan?

Ada dua hal yang mesti dilihat pada titik ini, yaitu proses dan isi.

Namun yang pertama kali harus diperhatikan, pedoman pembuatan Naskah Akademik perlu memberikan konsepsi yang jelas mengenai Naskah Akademik sebagai dokumen kebijakan (policy paper) yang menjembatani komunikasi antara pembentuk kepentingan, perancang, dan pemangku kepentingan. Bila tidak, Naskah Akademik tetap akan diposisikan sebagai position paper biasa sebagai prasyarat penempatan dalam Prolegnas dan alat membela posisi dalam perdebatan di dewan atau di seminar-seminar.

Dalam hal proses, pedoman pembuatan Naskah Akademik seharusnya juga mengharuskan adanya proses pelibatan tiga pihak yang saya sebutkan di atas. Jadi jangan hanya menyebutkan instansi mana yang dikenakan kewajiban membuat Naskah Akademik, melainkan juga kewajiban untuk melibatkan pemangku kepentingan.

Pelibatan pemangku kepentingan ini sesungguhnya tidak terlalu sulit dan mahal. Mereka bisa dilibatkan seminimal mungkin melalui dengar pendapat (hearing). Definisi pemangku kepentingan sudah diuraikan di atas, namun untuk memperjelas lagi, sudah menjadi praktek yang jamak dilakukan di banyak negara untuk mengidentifikasi kelompok kepentingan yang sudah berorganisasi (organised groups).

Misalnya, tentu sulit untuk memanggil semua pelaku perkawinan campur untuk perumusan RUU Kewarganegaraan. Bisa dibayangkan, akan ada kebingungan kepada siapa undangan akan diberikan. Bila diumumkan di koran, belum tentu pemangku kepentingan akan ikut, atau justru bisa berduyun-duyun peserta hadir sehingga diskusi tidak efektif. Yang bisa dilakukan adalah mengirim undangan resmi kepada organisasi yang dikenal. Atau bila demikian sulit, bisa saja daftarnya dicari salah satunya dalam daftar Anggaran Dasar yayasan dan perkumpulan yang ada di Dephukham karena organisasi-organisasi semacam ini (LSM, organisasi non-pemerintah) biasanya berbadan hukum yayasan atau perkumpulan. Demikian pula, sah saja untuk memanggil, salah satunya, Serikat Petani Pasundan dalam suatu dengar pendapat mengenai kebijakan terkait dengan petani di Jawa Barat, ketimbang mengundang seluruh petani yang ada di seluruh Jawa Barat.

Undangan ini sebaiknya dikirim dalam waktu yang cukup dan dengan kerangka acuan yang jelas, sehingga peserta bisa menyiapkan bahan dan masukan sebelumnya. Dengan begitu proses dengar pendapat diharapkan bisa lebih efektif.

Format dengar pendapat juga bisa dilakukan dengan sederhana. Tidak perlu membayangkan seminar di hotel mewah dengan peserta ratusan orang. Diskusi akan efektif justru bila dilakukan dalam forum yang kecil, namun terorganisasi rapi. Jadi, tidak tepat untuk mengatakan bahwa partisipasi selalu mahal. Besarnya biaya bisa relatif, namun yang perlu dijadikan ukuran lainnya adalah efektivitasnya dalam pembentukan kebijakan. Apabila kebijakan yang dihasilkan baik, biaya untuk mengubah peraturan dan kerugian yang mungkin timbul (atau paling tidak biaya yang sia-sia, mubazir) dari peraturan yang buruk akan dapat dihindarkan.

Tentu saja, yang terbaik adalah apabila ada penelitian lapangan yang bisa dilakukan, bila dana tersedia. Namun teknis pelibatan ini tidak akan menjadi materi muatan pedoman yang ingin disusun, sehingga bisa diserahkan kepada masing-masing pelaksana pembuat Naskah Akademik.

Dari segi isi, Naskah Akademik yang efektif juga seharusnya mampu mengelaborasi dampak kebijakan setelah diterapkan. Dampak kebijakan ini mencakup dampak positif dan negatif dari berbagai sudut pandang, yaitu aspek good governance, kesetaraan jender, lingkungan, dan hak asasi manusia (HAM). Aspek-aspek ini harus dituliskan dengan jelas dalam sebuah Naskah Akademik agar semua pihak yang terlibat menyadari dari awal dampak peraturan (positif maupun negatif) dan dapat melakukan hal-hal yang diperlukan bila perlu diantisipasi.

Di beberapa negara dampak pengaturan ini bahkan dibuatkan dalam suatu analisis tersendiri yang diistilahkan dengan Regulatory Impact Assessment (RIA). RIA diperluas kadang hingga dampak pengaturan terhadap persaingan usaha, iklim investasi, dan lain sebagainya. Apabila RIA dalam konteks Indonesia belum dapat dilakukan secara konsisten, maka sebaiknya pedoman pembuatan Naskah Akademik hanya mengatur ketentuan dasar mengenai analisis dampak ini. Terutama dampak peraturan terhadap pemangku kepentingan. Misalnya, kelompok mana yang akan digusur. Atau kelompok mana yang akan diuntungkan misalnya karena suatu peraturan akan mendorong pemberdayaan usaha kecil dan menengah. Contoh lainnya, bagian mengenai dampak ini bisa pula menganalisis apa pengaturan yang dimuat di dalam peraturan itu untuk menutup peluang korupsi yang mungkin terjadi karena peraturan yang dibuat mensyaratkan disewanya jasa tertentu.