Friday 26 January 2007

Legislasi Sebagai Kerja Kebudayaan

Betapa mengerikan, hukum di negeri ini layaknya sampar. Semua menghindar. Lihat saja berita kemarin, di halaman pertama koran hari ini. Terbitnya peraturan baru pasti bukan kabar gembira yang diterima sukacita. Pembentuknya saja tidak antusias. Dan kalau digugat malah berkilah: ketentuan semacam itu terpaksa dibuat. Padahal tidak pernah ada inspirasi dalam aksi terpaksa. Jadi, salah besar kalau pemimpin negara berharap rakyat akan lekas bergerak asal peraturan dibuat. Sebab, tindakan sadar butuh alasan, bukan sekadar rangkaian perintah dan pembatasan. Perbuatan yang bersungguh-sungguh perlu dimuati makna, untuk diri sendiri atau untuk sesama, atau untuk apa saja. Sedangkan hukum yang asal keras bisa saja cuma jadi batu. Hukum yang asal rumit bisa saja cuma jadi kartu. Batu untuk merepresi. Kartu memperlicin transaksi.

Betapa menyedihkan, bangsa ini memperlakukan hukum laksana benda asing. Datang tak diundang, kepergiannya didamba-dambakan. Tak merasa jalinan ayat itu bagian dari diri dan kebudayaan. Mestinya, kata Edmund Burke: “di segala formasi perintah-kuasa, rakyatlah pembuat hukumnya yang sejati”. Pada ideal itu, hukum dan rakyat bukan saja karib, malah, hanya terpilah garis-miring. Sehingga menyusun aturan tak ubahnya menenun-ikat. Ia mewajibkan keterampilan dan ketekunan. Juga menuntut habis olah pikiran, hati dan semangat juang. Kain yang dihasilkan, karenanya, melampaui fungsi minimumnya sebagai pelapis ketelanjangan. Ia mengutarakan martabat pemakainya, di atas suguhan keanggunan dan kenyamanan. Kerja menata adalah kerja budaya, menginspirasi adalah tugas kebudayaan. Bangsa ini menyedihkan, hukum yang melekatinya selalu bikin gatal.

Tuesday 2 January 2007

Satu Ide Dalam Satu Tarikan Nafas

Coba anda baca kutipan berikut ini dalam satu kali tarikan nafas:
“Jika anak-anak belum dewasa itu tidak nyata-nyata telah berada dalam kekuasaan orang atau kekuasaan pengurus himpunan, yayasan atau lembaga amal, yang menurut sesuatu putusan Hakim termaksud dalam bagian ini diwajibkan melakukan perwalian, atau pun tidak telah berada dalam kekuasaan orang atau kekuasaan Dewan Perwalian, kepada siapa kiranya anak-anak itu menurut penetapan termaksud dalam Pasal 382 ayat ke tiga dipercayakannya, maka dalam penetapan yang sama diperintahkan juga, penyerahan anak-anak itu kepada pihak yang menurut penetapan mendapat kekuasaan atas anak-anak itu. Ketentuan-ketentuan dalam ayat ke dua, ke tiga, ke empat dan ke lima pasal 319h berlaku dalam hal ini.”


Kalau anda bisa baca tanpa ngos-ngosan berarti anda jago! Minimal anda pasti pernah juara MTQ tingkat kelurahan.

Kutipan tersebut saya ambil secara acak dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata terjemahan Prof. R Subekti dan R. Tjitro Sudibio. Tepatnya Pasal 382e. Pasal sebelumnnya, Pasal 382d, dua kali lebih panjang. Yang sebelumnya lagi, Pasal 382c, jauh lebih panjang lagi. Kalau tidak salah menghitung, yang terakhir ini ditulis dalam 6 Paragraf sepanjang 2 halaman, tidak kurang dari 70 baris! Luar biasa. Kalau yang tidak pernah lihat KUHPer, atau nama panggilan sayangnya BW, silahkan segera cari pakai google. Semoga ada.

Kalau anda pikir bahwa di jaman yang beradab dan bebas merdeka ini sudah jarang, bahkan sepertinya tidak ada lagi pasal dalam sebuah undang-undang yang sebanyak itu jumlah kata-nya, anda salah! Memang tidak sepanjang yang ada di BW, tapi banyak sekali yang mirip. Selain panjang, struktur kalimatnya juga rumit. Ini salah satunya:

“Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan Calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).” (Pasal 90 ayat 2 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden)

Kata sejumlah lawyer, itulah bahasa hukum. Khas dan hanya bisa dimengerti para yuris. Sebab butuh keahlian khusus untuk membaca dan mengerti makna yang tersirat dibaliknya. Kami lebih percaya bahwa itu mitos dan lebih sering digunakan untuk memperlancar aliran uang ke pundi-pundi para advokat. Bahasa hukum adalah bahasa Indonesia. Tidak lebih, tidak kurang. Bahwa banyak istilah teknis, ya tidak ada bedanya dengan bidang yang lain. Kalau masih belum percaya silahkan baca Jentera edisi perdana.

Meski demikian kami tetap menganggap isu “bahasa hukum” ini penting. (Sampai-sampai jadi tema utama di edisi perdana Jentera, Jurnal Hukum yang diterbitkan berkala oleh PSHK.) Bukan karena dia berbeda, tapi justru karena sering diperlakukan berbeda oleh para pembentuk undang-undang dan penegaknya. Mirip dengan apa yang penganut posmo bilang sebagai proses “othering”, diperlainkan/diperbedakan.


Dalam perancangan peraturan, kami percaya bahwa bahasa, khususnya kalimat adalah kunci efektivitas dari sebuah peraturan. Alasannya sederhana: kalau tak paham, maka tak sayang.Yang paling untung dari sebuah peraturan yang kacau balau kalimatnya adalah yang punya posisi paling kuat di arena hukum. Siapakah mereka? Biasanya para penegak hukum dan para pengacara brengsyek.

Sebetulnya ada cerita menarik tentang asal muasal bahasa hukum yang maha panjang ini. Cerita ini saya dengar ketika Legislative Drafting Training yang diselenggarakan Dephukham, penuturnya sang trainer, Bob Seidman. Memang belum tentu benar, tapi saya cukup percaya sebab yang berkisah cukup kredibel (lebih dari 50 tahun mendalami legislative drafting!) dan penjelasannya masuk akal, lagipula, menarik. Begini kira-kira:

“Dahulu, di Inggris sebelum abad 20, ketika masih jaman feodal, sejenis profesi hukum swasta yang ada hanyalah pembuat akta tanah. Perancang hukum resmi pada masa itu cuma pendeta dan hakim yang diangkat raja. Karena di masa feodal tanah sungguh-sungguh penting, apalagi persengketaan penguasaan tanah semakin menjadi-jadi, maka status profesi ini juga terus meningkat derajatnya. Para pembuat akta tanah ini dibayar per kata yang tertuang dalam akta tanah yang dituliskannya. Tidak heran berbagai trik olah kata dan kalimat kemudian menjadi keahlian para ‘PPAT’ ini.

Ketika jaman industri terus menguat, dan tatanan feodal semakin luntur, pembuatan akta tanah tak lagi sepanen dahulu. Kebutuhan yang lebih marak adalah kontrak dan pengaturan berbagai kegiatan perdagangan dan politik yang semakin kompleks. Yang juga utama adalah pembentukan peraturan. Nah, keahlian mereka sebagai penyusun naskah hukum dimanfaatkan oleh negara modern. Tapi, karena tabiat lama sudah mendarah daging, akibatnya kalimat peraturan juga jadi ikut-ikutan berpanjang-panjang seperti akta tanah di masa lalu.”

Lalu bagaimana membuat kalimat yang efektif. Kiatnya sederhana saja: usahakan setiap kalimat memuat “satu ide dan terbaca dalam satu tarikan nafas”.
Kalau ada dua ide, misalnya: Bapak harus pergi ke pasar sedangkan ibu boleh membaca koran; maka pisahkan saja jadi dua ayat. Kalau masih sulit memisahkannya karena tidak tega, minta tolong pada perancang yang lain. Sesama perancang kan harus saling membantu. (Mempersilahkan perancang lain untuk membaca dan mengomentari adalah tradisi yang baik untuk dikembangkan para perancang progresif.)

Kalau kalimatnya belum juga terbaca dalam satu tarikan nafas, boleh jadi karena dua hal; kata yang anda pilih mengandung banyak anak kalimat, sehingga mesti terus menerus dijabarkan ulang. Atau, karena konsepnya belum matang, sehingga masih perlu digoreng lagi. Greg Churcil, periset dan pemerhati dokumentasi hukum, pernah memperingatkan isu yang kedua ini dalam sebuah pelatihan perancangan. “Sering kali, peraturan di Indonesia mengadopsi konsep asing tanpa menyadari bahwa yang diboyong juga sistemnya. Makanya, banyak peraturan yang kalimatnya jadi panjang-panjang tak tentu arah karena terpaksa tambal sulam dan pinjam pakai sana sini.”

Jadi, kalimat yang belum sempurna bisa juga juga jadi penanda masih ada hal yang belum tuntas digodok dalam sebuah rancangan!

Peraturan Hompimpah

Di sela-sela kesibukan luar biasa di akhir tahun 2006 ini saya berusaha menyempatkan diri untuk menuangkan ide “kategori asal-asalan” mengenai pengelompokkan peraturan yang saya rumuskan berdasarkan pengalaman mengamati urusan legislasi beberapa tahun belakangan ini.

Penting untuk dicatat bahwa saya tidak membuat tulisan ini untuk dijadikan sebagai referensi ilmiah. Oleh karenanya, saya menyatakan tidak sudi bertanggungjawab kepada orang yang menjadi sesat pikir setelah mencoba menganalisis secara berlebihan tulisan ini.

Saya berharap tulisan ini dapat menjadi masukan yang bermanfaat bagi perancang peraturan (progresif) dalam mengenali berbagai kategori peraturan secara kritis dan imajinatif.

Pembuatan kategori peraturan yang saya buat di sini sebagian besar saya karang dan sebagian kecil berasarkan pengalaman. Saya membuat beberapa kategori yaitu: 1) Peraturan Hompimpah, 2) Peraturan Sambas, 3) Peraturan Herman, dan 4) Peraturan Pollycarpus.

Berikut adalah penjabaran atas kategori yang saya buat itu:

1. Peraturan Hompimpah

Hompimpah Alaiyum Gambreng
Pok Ijah Pakai Baju Rombeng!

Absurd! Tidak jelas bahasa apa yang dipakai, apa maksudnya, dan mengapa masih digunakan oleh anak-anak hingga kini.

Kategori Peraturan Hompimpah saya buat untuk mengelompokkan peraturan yang absurd dari segi bahasa maupun makna, namun masih berlaku hingga saat ini.

Coba lihat pasal ini:

Tidak dibolehkan dan batal adalah tiap janji antara majikan atau seorang pegawainya atau kuasanya dan seorang buruh yang bekerja di bawah salah seorang dari mereka itu, di mana buruh ini mengikatkan diri untuk menggunakan upah atau pendapatan lainnya seluruhnya atau sebagian menurut suatu cara tertentu atau pun untuk membeli barang keperluannya di suatu tempat atau dari seseorang tertentu...
(Pasal 1601s KUH Perdata Buku Ketiga tentang Perjanjian).

Sebagaimana lagu permainan Hompimpah, mungkin hanya Tuhan dan penulisnya yang benar-benar paham apa maksud sebenarnya dari pasal itu. Dalam hal KUHPerdata alias Burgerlijk Wetboek (BW), mungkin hanya Prof. Subekti dan R.Tjitrosudibio (para penerjemah BW) yang paham apa maksud sebenarnya dari kalimat rumit di atas.

Peraturan seperti ini harus mulai diubah. Kita tidak boleh menjadi bangsa yang diatur oleh hukum yang kita sendiri tidak mengerti maknanya. Dalam tingkat keajaiban yang nyaris setara, sebetulnya hal ini juga terjadi pada anak-anak yang masih mengundi giliran dengan lagu hompimpah yang sama absurdnya.

Pasti perlu energi dan waktu untuk membongkar semuanya. Untuk awal, saya ingin mengusulkan revisi lagu Hompimpah dengan metode perancangan kalimat yang baik dan benar. Berikut usulan saya:

Ha Ha Ha Mari Bergembira
Mari Undi Giliran Siapa!

Bahasa yang dipakai jelas (Bahasa Indonesia), maknanya jelas, maksudnya jelas (untuk mengundi giliran dalam permainan), lebih jauh lagi tidak ada diskriminasi perempuan (Pok Ijah) yang entah kenapa mendadak harus pakai “baju rombeng”.

Dunia lebih indah kalau semakin banyak orang yang paham tentang metode perancangan yang baik.

2. Peraturan Sambas

Ricky Jacob, ya, Ricky menggiring Bola
Sendirian dia di depan…
Yaaaaa…Aaaaaaaaaaggghh
Maksudnya BaiiiiiiK

“Maksudnya Baiiiiiik…” adalah kalimat ekspresi yang paling saya ingat dari pembawa acara (Alm.) Sambas dalam acara-acara pertandingan bola di radio ataupun televisi. Sambas tampak selalu mengapresiasi suatu niat baik. Tak peduli tendangan Ricky Jacob terlalu jauh melenceng ke atas ataupun terlalu pelan untuk menjebol gawang lawan. Sambas tak peduli, yang pasti Ricky Jacob telah bermaksud baik.

Kategori Peraturan Sambas saya buat untuk mengelompokkan peraturan yang tidak menjamin pelaksanaan (implementasi) yang baik.

Ada banyak sekali peraturan yang masuk dalam kelompok ini. Utamanya peraturan yang melahirkan unit atau institusi baru seperti Komisi Pemberantasan Korupsi ataupun komisi-komisi lainnya. Seringkali peraturan tersebut tidak cukup menjamin pelaksanaan yang baik seperti darimana dukungan dana untuk komisi itu diperoleh? Berapa gajinya? Apa statusnya? Di mana kantornya? dll.

Perancang peraturan progresif mulai harus secara bersama-sama menentang kredo umum yang sering berbunyi: “Peraturannya sudah baik, implementasinya yang buruk”.

Kredo tersebut tidak hanya menyesatkan, tapi juga menimbulkan rasa frustrasi, bahkan rasa rendah diri kolektif bagi suatu bangsa. Masyarakat jadi mulai mempertanyakan, jangan-jangan bangsanya mempunyai “mentalitas buruk” yang memang berkontribusi besar terhadap gagalnya transformasi sosial melalui peraturan.

Satu pegangan penting yang harus kita ingat: Peraturan yang baik adalah peraturan yang menjamin pelaksanaan yang baik.

Sambas seharusnya memberikan analisis dalam komentarnya kenapa Ricky Jacob gagal menjebol gawang lawan. Misalnya seperti ini:

Maksudnya Baiiiiikkk, tapi terlalu melenceng jauh ke kanan
Ricky Jacob seharusnya diberi latihan intensif untuk menendang bola minimal 8 jam sehari…
Ricky Jacob seharusnya dinaikkan gajinya sebesar sekian juta rupiah…
Ricky Jacob seharusnya… dst

Begitu mungkin seharusnya komentar Sambas. Tapi saya tak mau menyalahkan Sambas. Bagaimanapun, maksudnya baik.

3. Peraturan Herman

Kategori yang satu ini 100% terinspirasi dari tulisan Dewi Lestari berjudul “Mencari Herman” dalam buku “Filosofi kopi”-nya.

Dewi Lestari mengisahkan betapa sulitnya mencari orang yang bernama Herman di era globalisasi ini. Ketika membaca “teori” itu saya langsung berpikir keras berusaha mengingat-ingat. Ternyata sejak kecil hingga kini saya tidak pernah punya teman bernama Herman. Satu-satunya Herman yang saya ingat pada masa lalu ialah aktor Herman Ngantuk yang bermain di serial TV setiap minggu pada masa itu, dan ia bukan teman saya.

Herman sulit dicari, tapi bukan berarti tidak ada.

Kita mungkin pernah berpapasan dengan orang bernama Herman di pasar ataupun di pertokoan. Kita mungkin pernah berada dalam bis kota atau gerbong kereta yang sama dengan Herman. Uang kertas di tangan kita, mungkin pernah dipegang oleh seseorang bernama Herman. Herman ada, namun sulit dicari.

Kategori Peraturan Herman adalah untuk mengelompokkan peraturan yang ada, berlaku, tapi nyaris tidak ada yang tahu karena sulit ditemui.

Peraturan yang banyak masuk dalam kategori Peraturan Herman sebagian besar adalah peraturan lama yang masih berlaku hingga kini. Sebut saja Stb. 1870-64 Tentang Perkumpulan Berbadan Hukum dan banyak lagi peraturan ‘usang’ lainnya.

Coba saja tanya beberapa orang notaris yang anda kenal. Tanyakan kepada mereka apakah Perkumpulan dapat berdiri sebagai badan hukum? Saya sudah coba bertanya kepada beberapa notaris yang lumayan handal dan bernas. Sebagian besar mereka ternyata tidak tahu bahwa ada dan masih berlaku Stb. 1870-64 Tentang Perkumpulan Berbadan Hukum. Itulah salah satu sebab mengapa mayoritas badan hukum yang direkomendasikan oleh para notaris untuk digunakan dalam kegiatan sosial adalah badan hukum Yayasan. Karena mereka tidak mengenal Herman!

Perancang yang baik harus kenal banyak Herman. Untuk mengenal banyak Herman haruslah melalui riset mendalam. Mengidentifikasi berbagai Peraturan Herman sagatlah bermanfaat dalam perancangan, utamanya dalam menyusun konsideran menimbang ataupun mengingat.

Perancang peraturan harus selalu berasumsi bahwa Herman ada dan perlu dicari.

4. Peraturan Pollycarpus

Pollycarpus lebih kejam dari Poligami. Pollycarpus terlibat dalam misteri pembunuhan salah satu manusia terbaik harapan bangsa yang pernah dilahirkan Indonesia, Munir.

Mau disangkal bagaimanapun, kita semua bisa melihat ada sesuatu yang aneh dengan perilaku pilot berwajah licik itu. Ada suatu agenda rahasia di balik kisah si pilot.

Saya membuat kategori Peraturan Pollycarpus untuk mengelompokkan peraturan-peraturan yang mempunyai agenda terselubung di belakangnya.

Dalang dari Peraturan Pollycarpus seringkali sebenarnya tidak sulit untuk dilacak. Sebagaimana catatan hubungan telpon seluler si pilot dengan seorang pejabat BIN yang teramat jelas, Peraturan Pollycarpus juga sering mudah dilihat dari agenda atau kesepakatan-kesepakatan yang dibuat negeri ini dengan penggerak-penggerak Neo-Liberalisme.

Sebut saja UU Yayasan ataupun UU Kepailitan yang jelas-jelas termaktub dalam Letter of Intent dari IMF. Atau kita bisa lihat berbagai kebijakan perekonomian yang mendadak sontak menjadi sangat liberal karena adanya berbagai kesepakatan yang diratifikasi.

Perancang peraturan harus mampu mengenali kategori Peraturan Pollycarpus. Perancang peraturan harus benar-benar menguji apakah peraturan tersebut sesuai dengan kondisi empirik negeri ini dan apakah akan menjadi suatu solusi ataukah justru akan menimbulkan masalah baru.

Demikianlah beberapa kategori peraturan yang saya buat, semoga bermanfaat bagi siapapun yang mau memahaminya.