Memang paling repot menjelaskan soal “bahasa hukum” dalam pelatihan-pelatihan kami. Apalagi kalau pesertanya politisi. Mereka ((politisi di DPR RI) akan bersikeras: “kita selalu menyewa ahli bahasa kok dalam membuat peraturan! Nggak mungkin salah”. Tantangannya besar. Bisa jadi karena, seperti biasanya, yang dipraktekkan selama ini cenderung dianggap yang terbaik.
Adakah sebenarnya “bahasa hukum”? Kami selalu bilang: tidak. Betul bahwa penggunaan bahasa di dalam peraturan perundang-undangan harus jelas karena akan banyak “celah” untuk mengintepretasikan peraturan secara berbeda-beda kalau ada aturan yang tak jelas. Nah, justru karena jelas itulah, sebenarnya sederhana saja: gunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar! Bukankah yang akan membaca peraturan adalah semua masyarakat. Sebab logika dasarnya, hukum mengatur perilaku masyarakat. Dengan penggunaan bahasa yang baik, logikanya, peraturan akan jelas. Sebenarnya sesederhana itu. Yang tidak sederhana adalah keinginan untuk membuatnya “
sophisticated” (maaf, bicara soal Bahasa Indonesia yang baik, saya malah menggunakan Bahasa Inggris :-), sebab saya tidak bisa menemukan padanan kata yang tepat, ada yang bisa membantu?).
Seperti tertulis di modul kami, yang jamak terjadi adalah penggunaan kalimat pasif. Apa salahnya dengan kalimat pasif? Kalimat pasif cenderung menyembunyikan obyek. Sebaiknya perancang taat pada hukum “subyek-predikat-obyek”, sehingga jelas “siapa melakukan apa”. Coba saja, bandingkan dua contoh kalimat di bawah ini.
Kalimat 1:
Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Sidang Anak, sedangkan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer. (Pasal 7 ayat (2) UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).
Kalimat 2:
Jaksa Penuntut Umum mengajukan Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ke Sidang Anak, sedangkan Oditur Militer mengajukan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ke Mahkamah Militer.
Apabila dibaca sekilas, kalimat pertama bisa menimbulkan kebingungan tentang siapa yang sebenarnya memiliki kewenangan untuk mengajukan ke anak tersebut ke Mahkamah Militer? Tentu saja pertanyaan ini bisa dijawab dengan membaca pasal-pasal di atasnya. Namun yang terbaik adalah untuk membuat jelas setiap pasal dalam peraturan. Gunakan saja kalimat sederhana, dengan subyek, predikat, dan obyek yang jelas.
Kesalahan lainnya yang sering terjadi adalah penggunaan benda mati sebagai subyek. Perhatikan contoh berikut: “Pakaian seragam ojek tidak boleh sama antara satu kelompok dengan kelompok lain.” (Keputusan Walikota Kendari No. 289 Tahun 2003). Pertanyaannya: bagaimana mungkin pakaian membaca peraturan ini dan membuat diri mereka tidak sama satu sana lain??
Nah, gambar yang saya ambil di Jerman di bawah ini juga salah :-). Mana bisa anjing membaca tanda itu?? :-)
Pastinya tanda itu untuk pemilik anjing. Tanda adalah hukum dalam bentuk lain. Seperti halnya tanda strip merah untuk larangan masuk, rokok dicoret untuk larangan merokok. Namun tanda memang harus berupa gambar yang sederhana, seperti halnya strip merah tadi, yang sebenarnya tidak jelas, tapi sudah bisa dipahami secara universal. Berbeda dengan kalimat pasal yang harus jelas. Bila tidak jelas, bisa menjadi makanan empuk untuk advokat lihai atau politisi culas untuk mengartikan peraturan semaunya sendiri.
Masih banyak catatan untuk “bahasa hukum” ini. Misalnya soal penggunaan “dan/atau” serta pemberian norma “harus” dan “dilarang”. Mudah-mudahan nanti kawan-kawan lain bisa ikut menulis soal ini karena begitu banyak kesalahan yang kami temukan, terutama di dalam Perda-Perda. Bahkan kadang masih banyak salah ejaan, mulai dari penggunaan “azas” untuk “asas”, sampai dengan pengutipan Bahasa Inggris yang salah. Mungkin karena mereka tidak bisa “menyewa ahli bahasa” seperti halnya DPR RI.
Bagaimanapun, kunci dalam membuat kalimat dalam peraturan sebenarnya hanya satu: gunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Gitu aja kok repot?