Thursday 20 September 2007

Perubahan Hukum di Jakarta

Oleh: Dhania Yasmin (kelas 3 SMP)

Hukum mempunyai kekuatan untuk mengatur. Dengan adanya hukum orang-orang menjadi takut untuk melakukan hal-hal diluar hukum entah itu karena takut hukuman penjara/denda. Di Jakarta banyak perubahan peraturan dan hukum seiiring dengan perubahan zaman. Hukum dapat menjadi alat untuk perubahan sosial. Jika berhasil maka hukum dapat mendorong masyarakat kearah dan kebiasaan yang lebih baik.

Dulu, tidak ada peraturan tentang kewajiban penggunaan sabuk pengaman(dikenal juga dengan sebutan seatbelt). Masyarakat pengendara mobilpun tidak memiliki kesadaaran untuk menggunakan sabuk pengaman. Sejak diberlakukannya peraturan tentang kewajiban menggunakan sabuk pengaman, kesadaran pengendara mobil meningkat. Peraturan itupun berjalan lancar. Jika awalnya para pengendara takut akan denda berjumlah besar, sekarang pengendara mobil menyadari sabuk pengaman penting untuk keselamatan mereka.

Hukum dapat mengarahkan perilaku manusia ke arah perilaku tertentu. Hukum dapat digunakan sebagai pendorong untuk melakukan perubahan sosial. Baik dalam hal perilaku seperti membuang sampah pada tempatnya. Peraturan itu sudah ada sejak dulu, namun mengapa masih banyak orang yang buang sampah sembarangan hingga sekarang? Itu karena pemerintah yang kurang menegakkan hukum yang dibuat. Tidak ada gunanya membuat peraturan yang tidak dipatuhi. Pemerintah pusat khususnya yang mengurus kota Jakarta untuk kedepannya harus dapat tegas dan menegakkan peraturan.

Di jaman sekarang ada peraturan baru yang bisa membuat sebagian orang tersiksa dan sebagian orang bahagia. Peraturan itu adalah penggunaan rokok di tempat umum yang dikeluarkan sekitar tahun 2006 kemarin. Sebagai pengguna rokok peraturan ini sangatlah tidak mengenakkan. Namun, peraturan ini dibuat untuk menekan pengguna rokok di Indonesia. Pemerintah daerah Jakarta berharap dengan semakin sedikitnya pengguna rokok dapat membuat penerus-penerus kita dapat lebih maju dengan bebas dari ancaman racun rokok. Memang sekarang mungkin peraturan itu masih sering di langgar. Tapi, saya yakin bila pemerintah lebih memperketat peraturan pasti para pengguna rokok akan semakin berkurang.

Dulu kendaraan bermotor tidak begitu banyak. Banyak becak yang berkeliaran. Namun sekarang melihat banyaknya kendaraan bermotor dikeluarkan Perda Jakarta yang melarang becak untuk berkeliaran di sekitar Jakarta. Dan sekarang sangking banyaknya kendaraan bermotor pemerintah mengeluarkan aturan 3in1 di daerah pusat Jakarta. Banyak perubahan yang muncul.

Perubahan itu juga muncul dalam hal pemilihan gubernur. DKI baru saja memilih gubernur secara langsung. Padahal dulunya gubernur dipilih oleh anggota DPR dan para pimpinan Indonesia. Tapi sekarang Indonesia mulai maju satu langkah untuk menjadi Negara yang lebih terbuka antara para pemimpin dengan rakyat. Walaupun masih ada kekurangan tapi ini adalah awal yang baik. Untuk kedepannya sepertinya MK akan memperbolehkan calon independent untuk mengajukan diri sebagai calon gubernur (pemilihan tahun ini calon harus diajukan melalui parpol) namun mekanismenya masih belum jelas dan sedang dirumuskan.

Untuk di masa depan sepertinya akan banyaknya peraturan baru yang dibuat sesuai dengan perkembangan zaman seperti peraturan emisi zat buang kendaraan untuk mengurangi polusi yang kabarnya sedang dibuat dan peraturan lainnya. Saya harap pemerintah khususnya pemda Jakarta untuk menyusun peraturan yang menyelesaikan masalah di daerah Jakarta yang harus dibuat dengan melibatkan banyak pihak, terbuka terhadap masyarakat dan harus konsekuen dalam menegakkan peraturan yang dibuat.

Dalam proses penegakan hukum pemerintah harus bekerja ekstra untuk menegakkan hukum lama yang diabaikan seperti peraturan buang sampah, anak jalanan, dll. Mempertahankan dan meningkatkan hukum-hukum yang sudah berjalan lancar seperti masalah sabuk pengaman, helm, dll. Dan menegakkan dan mensosialisasikan peraturan yang baru dibuat seperti masalah rokok, 3in1 dan masalah lain.

Jakarta sedang dalam masa pembenahan. Karena itu sebagai rakyat Jakarta juga hurus sadar dan menjalani peraturan yang sudah dibuat sedemikian rupa oleh pemerintah. Peraturan itu sengaja dibuat untuk perubahan sosial Jakarta agar menjadi lebih baik.

Saturday 15 September 2007

Bahasa Hukum?

Memang paling repot menjelaskan soal “bahasa hukum” dalam pelatihan-pelatihan kami. Apalagi kalau pesertanya politisi. Mereka ((politisi di DPR RI) akan bersikeras: “kita selalu menyewa ahli bahasa kok dalam membuat peraturan! Nggak mungkin salah”. Tantangannya besar. Bisa jadi karena, seperti biasanya, yang dipraktekkan selama ini cenderung dianggap yang terbaik.

Adakah sebenarnya “bahasa hukum”? Kami selalu bilang: tidak. Betul bahwa penggunaan bahasa di dalam peraturan perundang-undangan harus jelas karena akan banyak “celah” untuk mengintepretasikan peraturan secara berbeda-beda kalau ada aturan yang tak jelas. Nah, justru karena jelas itulah, sebenarnya sederhana saja: gunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar! Bukankah yang akan membaca peraturan adalah semua masyarakat. Sebab logika dasarnya, hukum mengatur perilaku masyarakat. Dengan penggunaan bahasa yang baik, logikanya, peraturan akan jelas. Sebenarnya sesederhana itu. Yang tidak sederhana adalah keinginan untuk membuatnya “sophisticated” (maaf, bicara soal Bahasa Indonesia yang baik, saya malah menggunakan Bahasa Inggris :-), sebab saya tidak bisa menemukan padanan kata yang tepat, ada yang bisa membantu?).

Seperti tertulis di modul kami, yang jamak terjadi adalah penggunaan kalimat pasif. Apa salahnya dengan kalimat pasif? Kalimat pasif cenderung menyembunyikan obyek. Sebaiknya perancang taat pada hukum “subyek-predikat-obyek”, sehingga jelas “siapa melakukan apa”. Coba saja, bandingkan dua contoh kalimat di bawah ini.
Kalimat 1:
Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Sidang Anak, sedangkan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer. (Pasal 7 ayat (2) UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).

Kalimat 2:
Jaksa Penuntut Umum mengajukan Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ke Sidang Anak, sedangkan Oditur Militer mengajukan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ke Mahkamah Militer.
Apabila dibaca sekilas, kalimat pertama bisa menimbulkan kebingungan tentang siapa yang sebenarnya memiliki kewenangan untuk mengajukan ke anak tersebut ke Mahkamah Militer? Tentu saja pertanyaan ini bisa dijawab dengan membaca pasal-pasal di atasnya. Namun yang terbaik adalah untuk membuat jelas setiap pasal dalam peraturan. Gunakan saja kalimat sederhana, dengan subyek, predikat, dan obyek yang jelas.

Kesalahan lainnya yang sering terjadi adalah penggunaan benda mati sebagai subyek. Perhatikan contoh berikut: “Pakaian seragam ojek tidak boleh sama antara satu kelompok dengan kelompok lain.” (Keputusan Walikota Kendari No. 289 Tahun 2003). Pertanyaannya: bagaimana mungkin pakaian membaca peraturan ini dan membuat diri mereka tidak sama satu sana lain??

Nah, gambar yang saya ambil di Jerman di bawah ini juga salah :-). Mana bisa anjing membaca tanda itu?? :-)

Pastinya tanda itu untuk pemilik anjing. Tanda adalah hukum dalam bentuk lain. Seperti halnya tanda strip merah untuk larangan masuk, rokok dicoret untuk larangan merokok. Namun tanda memang harus berupa gambar yang sederhana, seperti halnya strip merah tadi, yang sebenarnya tidak jelas, tapi sudah bisa dipahami secara universal. Berbeda dengan kalimat pasal yang harus jelas. Bila tidak jelas, bisa menjadi makanan empuk untuk advokat lihai atau politisi culas untuk mengartikan peraturan semaunya sendiri.

Masih banyak catatan untuk “bahasa hukum” ini. Misalnya soal penggunaan “dan/atau” serta pemberian norma “harus” dan “dilarang”. Mudah-mudahan nanti kawan-kawan lain bisa ikut menulis soal ini karena begitu banyak kesalahan yang kami temukan, terutama di dalam Perda-Perda. Bahkan kadang masih banyak salah ejaan, mulai dari penggunaan “azas” untuk “asas”, sampai dengan pengutipan Bahasa Inggris yang salah. Mungkin karena mereka tidak bisa “menyewa ahli bahasa” seperti halnya DPR RI.

Bagaimanapun, kunci dalam membuat kalimat dalam peraturan sebenarnya hanya satu: gunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Gitu aja kok repot?