Tuesday 23 September 2008

Sorelam, Bukan Soleram!

Penulis: "Mpok Noeri"
(tulisan ini dikopi dari situs PSHK)

Kalau anda pernah jadi anak-anak, tentu tak asing lagi di telinga anda lirik lagu anak-anak nasional berjudul “Soleram” yang terkenal itu
“Soleram anak yang manis. Anak manis janganlah diganggu sayang, kalau diganggu marahlah papanya.”
Tentu, tak mengherankan apabila si papa marah, kalau si anak manis diganggu. Sesuatu yang disayang, tentu akan dijaga dengan sepenuh hati.

Meskipun “Soleram” si anak manis sudah sangat terkenal, belum begitu halnya dengan “Sorelam”. Karena, pada saat ini, “Sorelam” masih merupakan anak yang baru lahir. Sehingga tidaklah aneh, jika orang belum menyayangi “Sorelam” yang masih asing ini. Siapakah yang disebut “Sorelam” itu?

“Sorelam” itu anaknya PSHK. Dari sebuah proses persalinan yang panjang dan melelahkan, melalui pergulatan panjang merumuskan konsep dan gagasan, para peneliti PSHK sampailah pada sebuah gagasan besar menyangkut pembentukan hukum yang ideal.

”Sorelam” yang merupakan kependekan dari ”socially responsible lawmaking” (pembentukan hukum yang bertanggungjawab sosial) dipandang dapat menjadi jawaban akan keresahan yang timbul akibat tumpulnya proses politik dan berliku-likunya proses perubahan hukum di Indonesia. Sebagai sebuah gagasan yang dipikirkan matang-matang, ”Sorelam” menjadi anak manisnya PSHK. Kalau sampai diganggu, marahlah ibunya.

Apa yang dimaksud dengan pembentukan hukum yang bertanggungjawab sosial? Pembentukan hukum dapat dilihat sebagai suatu proses yang berkelanjutan. Produk hukum (perundangan) tidaklah dibentuk sekali jadi dan dapat diaplikasikan dalam segala situasi dan kondisi. Karena itu pulalah pembentukan hukum menjadi menarik. Di balik dapur tempat produk hukum itu digodok, tersimpan sengitnya tarik ulur politik berdasar kepentingan politik para pembuatnya.

Hukum yang bertanggungjawab sosial adalah hukum yang dapat menawarkan pemecahan praktis bagi sebuah masalah sosial, sekaligus mengantisipasi timbulnya masalah sosial baru dengan berangkat dari asumsi/presumsi yang bersifat umum.

Seorang perancang produk perundangan yang menyayangi ”Sorelam”, akan sepenuh hati menjaga prinsip ini. Produk yang dibuat tidak hanya cerminan kepentingan pribadi/partisan saja – kepentingan pribadi/partisan bagaimanapun tak mungkin dihindarkan, namun produk tersebut juga harus dapat memberikan solusi yang nyata bagi masalah sosial. Karenanya, kecakapan untuk mengenal dan merumuskan masalah sosial merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki perancang produk perundangan – selain, tentu saja, pengetahuan dan pemahaman akan kehidupan sosial yang baik.

Dalam hal antisipasi timbulnya masalah sosial, tentu pembuat undang-undang tak lepas dari keterbatasan ruang dan waktu. Produk hukum yang dihasilkan, harus dilihat tak lebih dari asumsi/presumsi dalam konteks tertentu saja. Karenanya, di dalam prakteknya, peran lembaga peradilan sebagai pemegang kekuasaan mengadili menjadi penting.

Hakim sebagai penyelesai perselisihan, mengemban tugas untuk dapat menyelesaikan konflik-konflik yang timbul karena adanya perbedaan interpretasi implementasi, maupun perbedaan antara asumsi yang dipakai pembuat undang-undang dan kenyataan di lapangan. Fungsi seperti ini, membuat hakim juga tak jarang disebut telah ”membentuk hukum” – lepas dari perdebatan demokratis tidaknya kondisi tersebut, sehingga sering dipakai istilah yang lebih halus seperti ”menggali hukum”, ”menemukan hukum”, atau ”menghaluskan hukum, praktek tersebut pada kenyataannya tak dapat lagi dihindari.

Untuk dapat mengeluarkan putusan yang bertanggungjawab sosial, seorang hakim juga harus memahami masalah sosial yang dulunya ingin dipecahkan oleh pembuat undang-undang. Hakim tersebut pada dasarnya harus menjalankan amanat yang tertuang di dalam ketentuan undang-undang.Apabila sebuah putusan bukan hanya bentuk implementasi dari undang-undang atau bahkan berbeda dengan ketentuan perundangan, maka harus ada penjelasan yang cukup dari hakim, setidaknya memuat hal-hal berikut: (1) Asumsi/presumsi apa yang (dulunya) dipakai oleh pembuat undang? (2) Bagaimana implementasi ketentuan tersebut dalam perkara bersangkutan? (3) Mengapa ketentuan tersebut harus disimpangi? (4) Bagaimana seharusnya ketentuan yang dipakai dalam perkara bersangkutan? (5) Mengapa harus begitu?

Pendek kata, ”Sorelam” adalah sebuah prinsip yang dapat dijadikan pegangan seorang perancang dengan visi perubahan dan kemajuan (progresif), sekaligus prinsip yang dapat menjadi pegangan hakim progresif dalam menjaga terciptanya sebuah proses yang jujur dan adil.

Sebuah proses yang jujur dan adil, mau tidak mau, bukan hanya harus dapat memberikan keadilan substansiil, namun juga mensosialisasikan amanat perundangan agar dipahami oleh khalayak pencari keadilan. Sekali lagi, ”Sorelam”, bukan ”Soleram”.
*”Satu dua tiga dan empat, lima enam jalan yang rata. Kalau tuan hendak jadi wakil rakyat, lihat dan dengar masalah mereka.”*