Monday 28 January 2008

Ada Seni Perancangan Di Bau-bau

Saya baru saja memberikan pelatihan perancangan peraturan kepada para fasilitator desa di Bau-bau Sulawesi Tenggara pada 21-24 Januari 2008 lalu. Training ini sungguh luar biasa. Luar biasa, karena pesertanya sebagian besar adalah orang-orang desa, petani, nelayan, ibu rumah tangga. Luar biasa, karena ternyata mereka memiliki kecerdasan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Dan luar biasa, karena selama pelatihan saya tidak merasa lelah sama sekali secara mental, setiap sesi menjadi ajang untuk berkreasi dan belajar bersama.


Pelatihan kali ini, saya total mengawinkan metode MPM dengan vibrant. Sehingga jangan heran, jika presentasi masalah sosialnya dilakukan dengan pementasan drama, proses legislasi dengan ular tangga, menemukan masalah sosial dengan diskusi kelompok dan solusi dengan sebuah poster. Peserta juga membuat jingle tentang ROCCIPI, yang membantu mereka mengingat pisau analisis tersebut dengan cara yang mudah. Mereka juga dapat belajar sistematika perundang-undangan dengan lebih baik dengan permainan kartu. Saya juga sempat belajar sebuah tarian dari Muna dari Lia salah seorang peserta yang sangat cerdas.

Presentasi masalah sosial dengan menggunakan pementasan drama ternyata membuat imaginasi para peserta lebih tergali. Sayapun tidak mengira dengan waktu yang sangat terbatas, mereka dapat menyiapkan drama yang begitu baik. Mereka berhasil memetakan aktor dan perilaku bermasalahnya tanpa harus diterangkan panjang lebar terlebih dahulu. Saat refleksipun peserta dapat menangkap kata kunci dalam sesi ini yaitu “institusi”.

Pelatihan ini membuat saya berpikir dan berefleksi tentang metode konsultasi publik yang sering dilakukan di DPR. Sebagian besar didominasi dengan forum-forum adu ilmu, hingga tidak heran jika kita lebih sering berdebat soal pendapat Kelsen atau Rousseau dibandingkan keinginan Ibu Asmah atau Bapak Jayasin, lebih banyak berdebat teks daripada konteks. Forum-forum seperti ini terlalu “menakutkan” bagi sebagian besar masyarakat. Bagaimanapun berhadapan dengan seorang anggota DPR yang terhormat atau akademisi yang pinter-pinter, membuat apa yang semula sudah ada di kepala dan tenggorokan, kembali tertelan. Saya lalu berkhayal, andakaikan masyarakat boleh menyampaikan pendapat mereka melalui drama, melalui lagu atau melalui gambar sederhana yang mereka coretkan, mungkin akan lebih mudah buat mereka. Sehingga naskah akademis kita tidak hanya dihiasi oleh sederetan nama tokoh hukum, tapi ada juga nama Ibu Asmah, Bapak Jayasin dan Ibu Dahlia.