Wednesday 22 October 2008

Kisah Sang Bangku Rusak

Oleh: Eryanto Nugroho

Konon sejarahnya, istilah bangkrut alias bankrupt berasal dari bahasa Italia “Banco Rupto” (Bangku Rusak). Di tanah kelahiran mafia itu, pada zaman dahulu orang melakukan bisnis keuangan (perbankan) dengan duduk di bangku-bangku pada suatu lapangan terbuka tengah kota yang disebut piazza. Banco Rupto menggambarkan suatu kejadian dirusaknya bangku-bangku para bankir yang mangkir bayar atau merugi berat sehingga tidak bisa berbisnis lagi.

Atraksi rusak-merusak bangku itu kelihatannya begitu mengesankan sehingga menular ke mana-mana, termasuk ke tanah nusantara yang sebenarnya justru lebih didominasi oleh tradisi lesehan, alias duduk tanpa bangku. Ada tiga fase pengaturan soal kebangkrutan di Indonesia, mulai dari fase Faillissement Verordening tahun 1906 yang terpaksa diberlakukan pasca kemerdekaan, fase UU No.4/1998, dan UU No.37/2004 yang merupakan revisi paling mutakhir.

Badai permohonan kepailitan sempat melanda saat krisis ekonomi melanda indonesia. Pada akhir tahun 1999 tercatat sampai 100 permohonan kepailitan didaftarkan di Pengadilan Niaga, pengadilan khusus yang dibentuk untuk menangani soal instrumen hukum untuk urusan rusak-merusak bangku tadi. Jumlah ini kian menurun seiring berjalannya waktu, 84 permohonan pada tahun 2000, 61 permohonan pada tahun 2001, 39 permohonan pada tahun 2002 dan seterusnya hingga kini yang rata-rata berkisar 20-30 permohonan pertahun.

Kalau zaman dahulu kita sering perlu merujuk ke Roma yang mengaku punya banyak jalan untuk mencapainya, di zaman modern ini kita terpaksa perlu melirik sejenak apa yang terjadi di New York sana.

Tiga lembar formulir permohonan kepailitan sukarela yang diajukan oleh Lehman Brothers Holdings Inc menyentak banyak orang di berbagai penjuru dunia. Selama beberapa minggu bebagai pemberitaan dan analisis ditebarkan secara intensif oleh para ahli. Supaya terlihat berwawasan global, beberapa orang (termasuk penulis) yang bahkan tidak punya tabungan yang cukup di bank, merasa perlu untuk urun rembug dalam berbagai obrolan santai, seolah-olah keluarga Lehman itu tetangga kita yang kena musibah.

Entah berapa bangku keluarga Lehman yang harus dirusak dengan hutangnya yang mencapai sekitar USD 600 miliar. Tak ada yang pernah menyangka, perusahaan raksasa yang awalnya berdagang kapas itu bisa bangkrut tak berdaya seperti itu. Pemikir pro-kebebasan pasar merengut, pemikir anti-pasar berkerenyit waspada, orang-orang yang malas berpikir cuma bisa berharap agar periuk nasinya yang sudah lama karatan, tak perlu juga dilego.

Sebetulnya sejak awal sudah jelas-jelas salah untuk percaya pada Lehman Brothers. Segala jenis perusahaan yang menggunakan kata “brothers” sudah dengan sendirinya patut untuk dicurigai akan mementingkan keluarga atau kroninya sendiri. Dikecualikan dari itu tentunya para maestro seni seperti “Everly Brothers”, “Twisted Sisters” ataupun “Koes Bersaudara” karena nilai kerugian finansial yang mungkin bisa mereka timbulkan sangatlah kecil, terlebih bila investasi kita adalah versi bajakannya.

Kita tinggalkan saja kisah bangku rusak Lehman bersaudara itu. Biarkan proses kepailitan di amerika sana berjalan dan kita lihat bagaimana nasib pembayaran kepada para kreditor yang sebagian besar tidak punya jaminan itu.

Lalu bagaimana perjalanan kisah sang bangku rusak di Indonesia?

Sejak krisis tahun 1998 lalu, instrumen kepailitan ala kebangkrutan warung kaki lima yang dipakai oleh Faillissement Verordening sudah dianggap tidak memadai lagi. Aset pailit yang harus dibereskan semakin kompleks dan bernilai raksasa. Belum lagi ada desakan banyak kreditor (asing) yang khawatir uangnya tidak kembali. Alhasil lahirlah rangkaian revisi UU Kepailitan, tahun 1998 dan tahun 2004, yang melahirkan Pengadilan Niaga dengan berbagai penajaman pengaturan kepailitan yang lumayan galak di sana sini.

Belum sampai sepuluh permohonan yang masuk pada awal 1998, dunia bisnis Indonesia sudah geger. PT. Modern Land yang memiliki aset lebih dari Rp.600 miliar, dinyatakan pailit hanya karena utang sebesar Rp.94 juta kepada Pak Sani dan Pak Subekti yang mutung karena apartemennya tidak selesai dibangun. Walaupun kepailitannya kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung, garangnya instrumen hukum kinyis-kinyis ini lumayan membuat banyak orang berhutang bergidik ketakutan.

Sayangnya kehebohan itu tidak berlangsung lama. Setelah satu dasawarsa, kini instrumen kepailitan tak lagi menarik bagi kreditor, debitor, akademisi dll. Instrumen kepailitan tidak terbukti cukup efektif bagi kreditor yang ingin uangnya kembali. Terlalu banyak jurang, lengkap dengan ular berbisa disana-sini, yang sering mengakibatkan aset kepailitan malah terbang kesana kemari. Ada kurator nakal, kreditor fiktif, hakimnya tidak paham, debitor tidak kooperatif, jaksa dan polisi yang tak mendukung dll.

Terlalu sering bahkan tidak tersisa satu bangku pun untuk dirusak kreditor sekedar untuk melampiaskan emosi. Debitor pun tidak takut, dan tidak juga malu lagi untuk pailit. Alih-alih malu bangkunya rusak, seorang debitor pailit di Indonesia malah dipercaya menduduki bangku kedudukan sebagai Gubernur di Gorontalo sana. Seorang debitor pailit sejatinya adalah seorang yang sudah tidak dipercaya lagi oleh hukum untuk mengelola asetnya sendiri, sehingga perlu diambil alih seorang kurator. Ngurus aset sendiri nggak becus, kok bisa dipercaya mengurus aset satu daerah? Apa kata dunia?

Tidak ada data yang jelas tentang jumlah kepailitan di Indonesia yang sukses. Kabarnya ada segelintir permohonan rehabilitasi, tapi perlu ditelusuri lagi lebih lanjut kisah suksesnya itu.

Tahun 2004 lalu sebetulnya ada kisah sukses kepailitan dari sebuah perusahaan yang didirikan oleh orang Jawa Timur asli. Namanya Anthony Fokker yang lahir di Blitar pada tahun 1890. Sayangnya perusahaan Cak Fokker ini dipailitkan di negeri Belanda, sehingga walau peraturan kepailitannya 90% mirip (alias dicontek) dengan peraturan kepailitan Indonesia, tetap saja kisah suksesnya milik si bangsa keju itu. Sayang Rek! Setelah delapan tahun kepailitan berjalan, perusahaan Cak Fokker ini berhasil membayar sebagian besar utang-utangnya, 100% utang untuk kreditor Fokker Aircraft B.V , dan 37.03% untuk kreditor Fokker N.V.

Tapi tentu kita tidak boleh iri apalagi frustrasi. Terlebih lagi tulisan melantur ini juga harus segera berakhir dan segera menyajikan penutup berupa solusi ciamik yang seakan-akan bisa menyelesaikan semua hal. Satu pilihan klise adalah menyajikan solusi yang sering diusulkan banyak penelpon linglung di berbagai diskusi radio malam hari: Kembali ke hati nurani (diucapkan dengan nada bijak).

Untuk tulisan ini penulis memilih untuk mengajak pembaca sekalian untuk berimajinasi saja. Jangan-jangan instrumen rusak-merusak bangku memang tidak cocok untuk Indonesia yang lebih suka duduk-duduk di tikar atau bale-bale. Masih terkenang pesan Alm. Prof. Dan Lev pada suatu pagi yang sepi di PSHK, “Hukum Indonesia perlu imajinasi”, ungkapnya sambil tersenyum wicaksana.

Friday 17 October 2008

Permendagri tentang Penerimaaan dan Pemberian Bantuan Ormas dari dan kepada Pihak Asing

Setelah berulangkali gagal memasukkan revisi UU No.8/1985 Tentang Ormas ke dalam prioritas legislasi nasional tahunan, Departemen Dalam Negeri pada tanggal 15 Agustus 2008 yang lalu mengeluarkan Permendagri No.38/2008 Tentang Penerimaaan dan Pemberian Bantuan Organisasi Kemasyarakatan Dari dan Kepada Pihak Asing (Permendagri).

Sesungguhnya tidak ada yang benar-benar baru dari materi muatan yang diatur dalam Permendagri ini. Pengaturan mengenai keharusan untuk mendapatkan persetujuan pemerintah dalam hal mendapatkan bantuan dari pihak asing sesungguhnya telah diatur dalam PP No.18/1986 Tentang Pelaksanaan UU Ormas.

PSHK telah menyusun analisis singkat mengenai Permendagri tersebut. Untuk mendapatkannya, silakan klik pranala ke situs PSHK di bawah ini:

Monday 13 October 2008

LDT I PSHK di Bali, Juli 2008

Ini video LDT I PSHK di Bali Juli 2008 lalu. Pelatihan yang terbuka untuk umum ini pernah kami umumkan di sini. Dan "opening video"-nya juga sudah kami unggah ke sini. Sekarang, silakan nikmati videonya! :-) Video ini sudah diedit (bukan yang asli dari Rendra) supaya pas di youtube dan juga ada bagian-bagian yang diminta untuk dihilangkan oleh pihak-pihak tertentu yang pingin jaim ;-)

Enjoy!