Thursday 24 September 2009

Jas Merah Perpu dan KPK

Perbincangan mengenai diterbitkannya Perpu terkait dengan kekosongan Pimpinan KPK berlangsung sejak sebelum Idul Fitri.

Yang menolak kehadiran Perpu mendasarkan pandangannya pada ketiadaan “hal ihwal kegentingan memaksa” yang menjadi syarat dikeluarkannya Perpu menurut Penjelasan Pasal 22 UUD 1945. Alasan lainnya terkait dengan skenario besar intervensi presiden terhadap KPK yang memang terlihat dengan mata telanjang sedang betul-betul dilemahkan.

Sedangkan para pejabat terkait dan pakar yang berposisi menyetujui penerbitan Perpu tersebut kebanyakan merujuk pada interpretasi Mahkamah Konstitusi putusan Nomor 003/PUU-III/2005 dalam Pengujian Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutananan menjadi Undang-Undang. Singkatnya kita sebut saja “Putusan UU Kehutanan”. Saat itu, dalam pengujian “formil” (prosedural) yang dilakukannya terhadap prosedur dikeluarkannya Perpu, MK menyatakan parameter ‘hal ihwal kegentingan memaksa’ merupakan penilaian subyektif Presiden, sedangkan obyektivitasnya dinilai DPR. Diberinya pula catatan, bagian penjelasan UUD 1945 sudah tidak lagi menjadi dasar hukum karena sejak amandemen 1999-2002, penjelasan tidak lagi menjadi bagian dari UUD dan hanya diposisikan sebagai dokumen sejarah.

Bagi pendukung kehadiran Perpu KPK terkait pimpinan KPK ini, sesungguhnya ada tiga hal yang luput diamati. Pertama, terkait dengan sejarah Perpu. Kedua, konteks dikeluarkannya putusan MK tersebut. Ketiga, catatan MK dalam putusan yang populer dikutip sebagai justifikasi dikeluarkannya Perpu itu mengenai “kondisi obyektif bangsa”. Ketiganya terkait satu sama lain.

Jas Merah

Jangan sekali-sekali melupakan sejarah, atau Jas Merah, itu salah satu judul pidato Sukarno yang populer. Sukarno memang jagoan membuat jargon-jargon menarik untuk pidato. Karena itu, ijinkan saya menggunakan jargon menarik ini untuk mengingatkan kita agar tak lupa pada sejarah Perpu.

MK memang menyatakan dengan tegas dalam Putusan UU Kehutanan tersebut bahwa argumen mengenai Penjelasan Pasal 22 mesti ditolak karena amandemen memutuskan penjelasan bukan lagi bagian tak terpisahkan dari UUD. Namun MK mengacu menyatakan pula soal “dokumen sejarah.” Bahkan MK tak berhenti di situ, meski bisa saja diskusi dihentikannya di titik itu. MK tak lelah mengetikkan kembali dengan lengkap bunyi Pasal 139 Konstitusi RIS (1949) dan Pasal 96 UUDS 1950 untuk mencatat sejarah konstitusional yang sesungguhnya memang penting.

Tanpa harus mengetikkannya kembali, dapat saya catat, intinya kedua pasal dalam konstitusi yang berbeda, namun serupa, itu mengatur adanya “undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera.” Tujuannya sama dengan apa yang disebut dalam penjelasan Pasal 22 UUD 1945 yang dikatakan tak lagi berlaku itu: untuk mengatur keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera.

Bila risalah pembahasan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ditelisik, memang tak ada yang khusus membahas Perpu. Sebab pembahasan BPUPKI ketika itu hanya berupa prinsip-prinsip, seperti sistem pemerintahan, warga negara, dan wilayah negara. Sedangkan argumen mengenai rancangan pasal-pasal yang lengkap sesungguhnya terletak pada apa yang disebut “Penjelasan UUD 1945” tersebut. Dapat dimaklumi, karena BPUPKI bekerja dalam tekanan waktu (dan politik) yang kuat.

Dengan begitu, sebagai dokumen sejarah, seperti dikatakan MK, Penjelasan Pasal 22 beserta Pasal 139 Konstitusi RIS dan Pasal 96 UUD 1950 dapat disimpulkan mempunyai cara pandang yang hampir serupa mengenai pentingnya kekuasaan presiden dalam suatu negara yang masih balita pada waktu itu. Apalagi, perancang ketiga UUD tersebut sesungguhnya sama atau paling tidak serupa, meski ada pergolakan pemikiran, wacana kenegaraan dunia pascaperang dunia II, dan konteks politik domestik yang membuat ketiganya punya muatan yang berbeda. Cara pandang yang saya maksud adalah pentingnya “gerak cepat” presiden di tengah situasi nasional yang luar biasa dinamis pada waktu itu.

Memang betul, “hal ihwal kegentingan memaksa” berbeda dengan pengaturan mengenai keadaan berbahaya yang diatur dalam undang-undang. Tapi konteks sejarah di atas menggambarkan, Perpu diadakan untuk mengakomodasi jaman yang berbeda. Ketika itu, situasi dunia pascaperang dunia kedua berubah dengan sangat cepat. Termasuk Indonesia. Karena itu pula, sampai keluar UUD RIS dan UUDS 1950. Harus ada terobosan hukum yang dilakukan presiden dengan cepat agar negara tetap berjalan baik. Apalagi, arus informasi dan intelijen tidak secanggih pada saat ini. Namun prinsip keseimbangan kekuasaan tak ingin ditinggalkan. Karena itulah ada pengecekan oleh DPR.

Kondisi ini sangat berbeda dengan masa kini. Akibatnya “hal ihwal kegentingan memaksa” ini seringkali dalam praktek hanya berupa masa reses DPR yang berlangsung, sementara pemerintah tidak keburu mengeluarkan suatu undang-undang. Dengan sebab ini pula, Perpu Kehutanan yang dipersoalkan di MK itu dilahirkan. Apakah dengan kalimat MK bahwa Perpu adalah subyektivitas presiden pertimbangan semacam ini (reses DPR atau lambatnya kerja DPR, seperti dalam polemik Perpu Pengadilan Tipikor) sah dipergunakan? Secara legal formal mungkin ya. Tapi ada rasa keadilan yang terusik kuat di sini. Dan hukum bukan cuma soal kata-kata formal.

Konteks Dikeluarkannya Putusan MK Soal UU Kehutanan

Rasa keadilan yang terusik pula yang mendorong para pemohon Putusan UU Kehutanan. Namun rasa keadilan ini dicoba diseimbangkan dengan kepentingan ekonomi oleh MK. Kita mesti melihat konteks putusan ini, di samping isi putusannya.

Putusan ini merupakan salah satu model putusan yang berbau kepentingan ekonomi. Dalam putusan-putusannya yang terkait dengan kebijakan ekonomi, MK memang cenderung hati-hati. Kalaupun ia setuju dengan dalil pemohon, alasan stabilitas ekonomi dan investasi akan dipertimbangkan pula, meski tidak ditampilkan dalam bahasa yang gamblang dalam putusan. Dalam konteks Putusan UU Kehutanan ini, MK menunjukkan karakter yang sama. Bila bahasa dalam putusan ditelisik dan ditelaah dalam konteks politik dan hukum, MK ingin mengatakan bahwa ia sesungguhnya setuju dengan dalil pemohon, namun karena kebijakan ekonomi sebaiknya memang dijaga sebagai wilayah pemerintah, MK tak ingin mengintervensi. Itu bukan wilayahnya.

Konteks ini tentu sangat berbeda dengan Perpu mengenai pimpinan KPK. Soal pimpinan KPK ini tidak hanya terkait dengan pemberantasan korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa yang menjadi fokus penting dunia peradilan termasuk MK. Namun juga bagaimana MK dapat mengontrol kecenderungan intervensi presiden dalam penegakan hukum. Ingat, KPK adalah bagian dari sistem penegakan hukum.

“Kondisi Obyektif Bangsa"

Bicara soal intervensi presiden, satu bagian yang jarang dikutip dari Putusan UU Kehutanan itu adalah bagian yang menyatakan bahwa: “meskipun “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang menjadi pertimbangan dikeluarkannya sebuah Perpu alasannya bersifat subyektif, di masa datang, alasan-alasan yang menjadi pertimbangan Presiden untuk mengeluarkan sebuah Perpu agar lebih didasarkan pada kondisi obyektif bangsa dan negara…”

Bagian ini saya kutip langsung dari putusan. Ini menunjukkan perhatian MK yang sesungguhnya mendalam mengenai alasan dikeluarkannya Perpu. Secara formal memang Perpu ‘subyektif’ karena berbeda dengan undang-undang yang membutuhkan ‘persetujuan bersama’ DPR dan Presiden, Presiden sendirian saja ketika mengeluarkan Perpu. Namun secara subtantif, MK menuntut agar presiden punya pertimbangan obyektif dalam mengeluarkannya.
***
MK memang mengatakan bahwa “hal ihwal kegentingan memaksa” adalah pertimbangan subyektif presiden yang akan dicek oleh DPR nantinya. Namun sejarah, konteks putusan MK, dan isi putusan MK secara lengkap mengingatkan kita bahwa kegentingan sesungguhnya mempunyai konotasi “darurat” karena kondisi sebuah bangsa yang baru lahir.

DPR memang nanti akan mengecek pertimbangan subyektif presiden soal kondisi darurat ini. Tapi itu dulu. Sekarang ini, di era di mana informasi bergerak dengan cepat, kondisi bangsa zonder perang, dengan penilaian dapat diberikan secara cepat kepada presiden, dan data statistik dan maupun analisis kualitatif yang banyak tersaji, presiden tidak perlu bertindak subyektif secara terburu-buru. Terburu-buru (entah oleh apa karena KPK sendiri mengatakan kondisinya baik) tanpa menghitung akibat yang akan ditimbulkan pada KPK. MK mengingatkan dalam putusan yang sama, bahwa pertimbangan subyektif presiden itu harus didasarkan pada kondisi obyektif bangsa dan negara.

Akibatnya tidak main-main. Kita tidak hanya berbicara soal lembaga KPK, tetapi juga bangunan negara hukum Indonesia. Ini kondisi yang betul-betul obyektif. Sedangkan pejabat juga tak kalah hebat membela Perpu ini. Tentu saja. Yang menjadi pertanyaan, ada apa di balik keinginan untuk melegitimasi Perpu tersebut? Barangkali skenario besar pelemahan KPK memang jawabannya. Saya jadi bertanya-tanya, Perpu apa lagi yang akan dikeluarkan presiden SBY dalam lima tahun ke depan dengan segala legitimasi “akademis”nya?

[sebagian dari tulisan ini dipublikasikan di http://www.detiknews.com/read/2009/09/22/170303/1207849/103/jas-merah-perpu-dan-kpk]

Friday 26 June 2009

Dua RUU "Menarik" di Akhir Masa Jabatan DPR


Oleh: Ronald Rofiandri

Waktu saya iseng membaca beberapa RUU yang masih tersisa menjelang berakhirnya anggota DPR periode 2004-2009, ada dua RUU yang mengundang rasa penasaran.

Pertama, RUU Protokol dan Hak Keuangan Pejabat Negara (sementara kita sebut saja "RUU Protokol"). RUU ini diproyeksikan menggantikan UU No 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara dan UU No 8 Tahun 1987 tentang Protokol. Khusus UU No 12 Tahun 1980, saat ini masih kita gunakan sebagai salah satu referensi penulisan hak keuangan dan administrasi anggota DPR (ada di www.parlemen.net)).

Kedua, RUU Kepemudaan. Oh ya, mayoritas kita masuk sebagai kelompok yang diatur RUU ini karena disebutkan definisi pemuda adalah orang yang berusia 18 s/d 35 tahun hehehe.. (wah, Tukang Pos tahun depan nggak termasuk nih :) - red. a.ka. Tukang Pos). Menarik, RUU Kepemudaan malah dipilih Komisi X untuk mulai dibahas bersama dengan Kemenpora, setelah sebelumnya membahas RUU Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. Padahal sebelumnya sudah ada RUU Perfilman (yang sebenarnya diamanatkan oleh MK buat menggantikan UU Film yang lama).

RUU Protokol

Kita lihat dulu RUU Protokol. Secara umum, perbedaan yang nampak antara RUU Protokol dan UU No 12 Tahun 1980 adalah materi muatan RUU yang lebih banyak karena menggabungkan UU No. 12 Tahun 1980 dengan UU No 8 Tahun 1987. Kemudian UU No 12 Tahun 1980 cukup rinci mengatur formula dan mekanisme pembayaran uang pensiun (malah ditempatkan dalam satu bab tersendiri), sedangkan RUU Protokol justru mengalihkan semua pengaturan ketentuan hak pensiun pejabat negara melalui peraturan pemerintah.

RUU Protokol juga merumuskan tunjangan keluarga dan tunjangan kesejahteraan, dua jenis tunjangan yang tidak ditemui pengaturannya pada UU No 12 Tahun 1980. Lebih lanjut mengenai tunjangan keluarga dan tunjangan kesejahteraan diatur melalui peraturan pemerintah. Tidak detail apa yang dimaksud tunjangan keluarga dan tanda tanya pula apa yang dimaksud tunjangan kesejahteraan, karena kalau peruntukannya bagi anggota DPR misalkan, tunjangan kesejahteraan yang seperti apa lagi? Mereka sudah mendapatkan gaji pokok, tunjangan jabatan, uang paket, dan uang sidang. Ini bisa jadi modus membuat pos anggaran yang tidak jelas dan dikhawatirkan double tunjangan. Fasilitas lainnya seperti tunjangan kesehatan, kematian, biaya perjalanan dinas, uang paket, uang sidang, rumah jabatan + kelengkapan + biaya pemeliharaan, dan kendaraan motor masih (sama) diatur seperti UU No 12 Tahun 1980.

Kehadiran pengaturan hak keuangan pejabat negara semakin relevan kalau kita baca draf terakhir RUU Susduk (yang saat ini masih dibahas di tingkat Timus). Sebagai contoh, Pasal 44 menyebutkan bahwa hak protokoler Pimpinan dan Anggota MPR diatur dalam undang-undang. Kemudian Pasal 45 ayat (1) menjelaskan bahwa hak keuangan dan administratif Pimpinan dan Anggota MPR diatur oleh Pimpinan MPR bersama pemerintah. Menurut penjelasan, yang dimaksud dengan “diatur oleh Pimpinan MPR bersama pemerintah” adalah terlebih dulu Pimpinan MPR menetapkan proses pengajuan dan pengelolaan keuangan, standar biaya khusus, mekanisme pertanggungjawban dalam Keputusan Pimpinan MPR. Selanjutnya Keputusan Pimpinan MPR itu ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Hal yang sama berlaku pula untuk anggota DPR (Pasal 147) dan anggota DPD (Pasal 255). Sedangkan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota diatur dalam peraturan pemerintah (Pasal 300 dan Pasal 337).

Merupakan suatu hal yang wajar apabila keuangan MPR, DPR, DPD, dan DPRD diatur oleh lembaga yang bersangkutan bersama dengan pemerintah atau pemerintah daerah. Sebab memang lembaga-lembaga itulah yang dapat mengetahui anggaran pembelanjaan yang ditentukan, sementara koordinasi dengan pemerintah/pemerintah daerah dibutuhkan agar disesuaikan dengan APBN/APBD. Namun demikian, celah penyalahgunaan kekuasaan akan selalu terbuka dalam prosedur pengambilan keputusan yang tidak transparan dan tanpa adanya peluang untuk melakukan pengawasan dari luar.

Buat studi komparasi, di Inggris misalnya, penentuan keuangan anggota parlemen dilakukan oleh Senior Salaries Review Body (SSRB) bersama dengan penentuan keuangan beberapa pejabat negara lainnya. Dengan demikian, diharapkan ada penilaian dan kriteria-kriteria obyektif dalam menentukan keuangan parlemen, karena nantinya parlemen (dan pemerintah) yang akan menetapkan anggaran (yang merupakan bagian dari keuangan negara yang juga harus disetujui oleh parlemen sendiri). Bahan-bahan yang disiapkan oleh SSRB ini beserta sidang-sidang parlemen dalam menetapkan keuangannya dapat diakses oleh masyarakat, sehingga ada kontrol dari luar parlemen dan penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah.

Di Indonesia, sistem mengenai badan tersendiri yang menentukan soal keuangan lembaga-lembaga negara belum ada. Kalaupun ada, gunanya lebih ditujukan untuk menentukan besarannya di dalam APBN atau internal pemerintah, tanpa ada kriteria dan penilaian obyektif yang transparan. Kritik yang sering terjadi terutama di daerah-daerah, di mana DPRD meminta anggaran atau fasilitas yang tidak proporsional dibandingkan dengan APBD-nya sendiri.

Kalau mengenai hak protokoler, seharusnya bisa memecahkan persoalan pengaturan atau mungkin larangan penggunaan fasilitas dan hak keprotokoleran pejabat yang terlibat kampanye pemilu aleg dan pilpres. Atau yang biasa dikeluhkan teman-teman di daerah dan biasanya muncul sebagai salah satu contoh kasus yang sering disampaikan sewaktu pelatihan legal drafting, adalah penggunaan fasilitas pemerintah (mobil dinas dll) untuk kepentingan pribadi.

RUU Kepemudaan

Sedangkan mengenai RUU yang kedua, RUU Kepemudaan, huehehe.. nggak ada isu krusial. Semuanya standar aja. Sedikit catatan untuk Pasal 10 yang menyebutkan bahwa pemerintah daerah membentuk dinas yang menangani masalah kepemudaan. Mungkin ini nanti kaitannya dengan pengaturan organisasi tata laksana (ortala) di daerah. Buat daerah yang sudah maju seperti DKI Jakarta nggak masalah, malah sudah punya Dinas Olahraga dan Pemuda. Lainnya, dalam Pasal 29, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan prasarana dan sarana kepemudaan (detailnya ada pada Pasal 30). Kewajiban seperti ini yang dibebankan kepada Pemerintah dan pemerintah daerah ditemukan juga misalnya pada UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Misalnya seperti kewajiban menggalakkan promosi gemar membaca dengan memanfaatkan perpustakaan (Pasal 8 huruf d) dan apabila kewajiban ini tidak dilakukan, ada sanksinya loh :-) sebagaimana diatur dalam Pasal 52 (bentuknya sanksi administratif).

Tuesday 23 June 2009

Peraturan Perundang-Undangan untuk Perancangan Peraturan

Selain membutuhkan keterampilan (skill) khusus, merancang peraturan perundang-undangan juga memerlukan kecermatan agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait. Di bawah ini berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perancangan peraturan.

Berhubung malas :-) dan tidak punya waktu, semua dokumen saya unggah sesuai yang ada di notebook saya. Jadi formatnya berbeda-beda dan tempat file sharing-nya juga berbeda karena googledocs tidak bisa share pdf. Mudah-mudahan tidak merepotkan.

Kalau ada yang terbaru, mohon kawans berbagi juga di sini (tinggalkan komentar) atau email ke Tukang Pos (mbak.pos@gmail.com), supaya pembaca tidak salah menggunakan peraturan lama :-)
  1. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
  2. Lampiran UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
  3. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-Undangan (tidak berlaku lagi)
  4. Penjelasan UU No. 10 Tahun 2004 (tidak berlaku lagi)
  5. Lampiran UU No. 10 Tahun 2004 (tidak berlaku lagi)
  6. Perpres No. 61 Tahun 2005 ttg Tata Cara Penyusunan Prolegnas
  7. Perpres No. 68 Tahun 2005 ttg Tata Cara Mempersiapkan RUU, RPERPU, RPP, RPERPRES
  8. Perpres No. 1 Tahun 2007 ttg Pengesahan, Pengundangan, Penyebarluasan
  9. Permendagri No. 53 Tahun 2011 ttg Pembentukan Produk Hukum Daerah
  10. Lampiran I Permendagri No. 53 Tahun 2011 ttg Pembentukan Produk Hukum Daerah
  11. Lampiran II Permendagri No. 53 Tahun 2011 ttg Pembentukan Produk Hukum Daerah
  12. Lampiran III Permendagri No. 53 Tahun 2011 ttg Pembentukan Produk Hukum Daerah
  13. Permendagri No. 15 Tahun 2006 ttg Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah (tidak berlaku lagi)
  14. Lampiran Permendagri No. 15 Tahun 2006 ttg Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah (tidak berlaku lagi)
  15. Permendagri No.16 Tahun 2006 ttg Pedoman Penyusunan Produk Hukum Daerah (tidak berlaku lagi)
  16. Permendagri No. 17 Tahun 2006 ttg Lembaran Daerah dan Berita Daerah (tidak berlaku lagi)
  17. Kepmendagri No. 126 Tahun 2003 ttg Bentuk Produk Hukum Desa
  18. Lampiran Kepmendagri No. 126 Tahun 2003 ttg Bentuk Produk Hukum Desa
  19. Kepmendagri No. 169 Tahun 2004 ttg Program Legislasi Daerah (tidak berlaku lagi)
  20. Peraturan Menteri Hukum & Ham Tahun 2008 ttg Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-Undangan
Semoga bermanfaat!

Pengesahan RUU Pelayanan Publik: Awal yang Baik dengan Beberapa Catatan Penting

Siaran Pers Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3)

Pengesahan RUU Pelayanan Publik: Awal yang Baik dengan Beberapa Catatan Penting

Setelah melalui masa pembahasan hampir 4 tahun, RUU Pelayanan Publik akhirnya disahkan dalam sidang paripurna DPR pada hari ini, Selasa 23 Juni 2009. Tentu ini merupakan poin positif bagi DPR, terutama di tengah banyaknya kasus masyarakat yang belum memperoleh hak dasar dan perlakuan yang adil di bidang pelayanan publik. Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) yang sejak 2005 melakukan pemantauan dan advokasi terhadap RUU ini menyampaikan apresiasinya kepada DPR yang telah memenuhi janjinya untuk menyelesaikan pembahasan RUU ini, pada masa-masa terakhir jabatannya yang tinggal hitungan minggu.

Dua kriteria yang umumnya dijadikan dasar penilaian RUU adalah kualitas proses dan kualitas substansi RUU tersebut. Dari segi proses, RUU Pelayanan Publik merupakan salah satu contoh proses pembahasan peraturan perundang-undangan yang baik, dilihat dari prinsip partisipasi publik, keterbukaan dan transparansi. Dari segi substansi, bila dibandingkan dengan draft awal pada awal pembahasan, RUU Pelayanan Publik yang baru disahkan memiliki kemajuan progresif untuk beberapa substansi. Secara umum, beberapa gagasan penting yang didorong oleh MP3 telah diakomodasi dalam RUU Pelayanan Publik, yaitu paradigma pelayanan publik, partisipasi masyarakat, perlindungan terhadap kelompok rentan, mekanisme komplain dan sanksi. Meski sebagian besar sudah diakomodasi, MP3 masih ada beberapa catatan terhadap substansi tersebut. Berikut adalah Sikap dan catatan kritis MP3 terhadap UU Pelayanan Publik yang baru disahkan:

Catatan Proses Pembahasan RUU Pelayanan Publik
MP3 perlu memberikan apresiasi kepada PANSUS RUU Pelayanan Publik yang membuat keputusan politik untuk membuka setiap pembahasan, di mulai dari tingkat PANJA hingga TIMSIN sehingga pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dapat dilakukan secara intensif. Pembahasan RUU Pelayanan Publik merupakan pembahasan ketiga yang dilakukan secara terbuka, setelah UU Kewarganegaraan dan UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Harapan kami, hal ini merupakan preseden positif bagi setiap pembahasan legislasi di DPR agar dapat dilakukan secara terbuka untuk masyarakat umum.


Catatan Substansi RUU Pelayanan Publik

1. Paradigma RUU Pelayanan Publik

UU Pelayanan Publik dalam konsiderannya telah memasukkan UU No. 11 tahun 2005 mengenai Pengesahan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin posisi dan kedudukan masyarakat terhadap negara.

Poin positif lainnya adalah paradigma yang digunakan dalam UU Pelayanan Publik yang memandang bahwa pelayanan publik sebagai kegiatan yang dilakukan oleh penyelenggara berupa barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan pelayanan kepada masyarakatnya. Paradigma progresif ini diperkuat dengan memperluas ruang lingkup pelayanan barang, jasa, dan administratif kepada semua penyelenggara pelayanan publik, baik yang dibiayai oleh APBN/APBD maupun yang tidak dibiayai yang keberadaan penyelenggara tersebut adalah untuk menjalankan misi negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

2. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat untuk dapat terlibat aktif dalam pelayanan publik adalah sebuat bentuk pengakuan masyarakat sebagai subyek kebijakan, dan tidak lagi sebatas objek semata. Semangat ini dicantumkan pada pasal 20 yang mengatur mengenai standar pelayanan dan kewajiban untuk menyertakan masyarakat dan pihak terkait dalam menyusun dan menetapkan standar pelayanan. Sebagai tambahan, dalam hal pengawasan, masyarakat juga diberikan keleluasaan untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik dengan membentuk lembaga pengawas pelayanan publik.

3. Perlindungan terhadap Kelompok Rentan

UU Pelayanan Publik mengatur mengenai pelayanan khusus yang diberikan kepada anggota masyarakat tertentu yang mencakup penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil, anak-anak, korban bencana alam, dan korban bencana sosial. Pelayanan ini mencakup sarana, prasarana dan/atau fasilitas.

Ketentuan ini tentu hal yang baik mengingat banyaknya kelompok masyarakat rentan yang tidak dapat menggunakan sarana publik karena keterbatasan yang dimiliki. Namun, MP3 masih memiliki catatan pada bagian penjelasan dari pasal mengenai pelayanan khusus yang tidak secara lengkap menguraikan mengenai kelompok rentan. Kelompok masyarakat seperti masyarakat adat, suku terpencil, orang yang memiliki keterbatasan fisik tertentu, keluarga korban kekerasan merupakan contoh kelompok masyarakat yang belum dimasukkan dalam kategori kelompok masyarakat yang berhak mendapatkan perlakuan khusus di pelayanan publik.

4. Sanksi

Pasal-pasal yang mengatur sanksi telah cukup detil mengatur hukuman yang diterapkan pada setiap pelanggaran yang dilakukan, baik yang ditujukan kepada penyelenggara, petugas penyelenggara, penanggungjawab, hingga kepada instansi pemerintah yang mengeluarkan ijin. Sanksi pun telah mencakup 3 jenis sanksi, yaitu sanksi administratif, perdata, dan pidana.

Hanya saja perlu dijadikan catatan ketiga sanksi ini tidak melalui satu lembaga, namun melalui lembaga peradilan untuk sanksi pidana dan perdata yang dikeluarkan oleh ORI.

5. Mekanisme Komplain

Penanganan pengaduan yang diatur dalam UU Pelayanan Publik ini memiliki dua mekanisme, yaitu secara internal melalui penyelenggara pelayanan publik dan mekanisme eksternal melalui Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan lembaga peradilan.

Pengaturan mengenai pengaduan melalui internal penyelenggara telah secara detil mengatur teknis pengaduan, bahkan hingga biaya dan batas waktu penyelesaian yang harus dilakukan oleh penyelenggara. Ini merupakan sisi positif di mana banyak terjadi pengaduan yang dilakukan oleh masyarakat tidak memiliki kejelasan waktu penyelesaian dan biaya yang tidak sedikit.

Mengenai penyelesaian pengaduan melalui lembaga ORI dan peradilan memiliki beberapa kelemahan. Seperti penyelesaian oleh lembaga peradilan yang tidak memiliki batas waktu penyelesaian, biaya yang besar serta kendala psikologis masyarakat pengadu terhadap lembaga peradilan di Indonesia.

ORI yang dalam UU ini berposisi sebagai lembaga penyelesai pengaduan pelayanan publik diberikan kewenangan tambahan untuk menyelesaikan pengaduan secara ajudikasi. Dari satu sisi, hal ini membuka peluang adanya jaminan bahwa pengaduan dapat diselesaikan secara cepat, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun di sisi lain, kewenangan progresif ini terbatas pada permasalahan ganti rugi semata. Padahal banyak persoalan pengaduan pelayanan publik yang tidak sebatas pada soal tersebut saja.

Tuesday 3 March 2009

Legislative Drafting Training (LDT Angkatan II), Kuta Bali, 20-24 April 2009


Setelah sukses menyelenggarakan pelatihan angkatan I (lihat videonya di sini) yang diikuti oleh berbagai lembaga pemerintah, LSM maupun perusahaan swasta pada tahun 2008 lalu (diikuti oleh perwakilan dari KPK, BPK, Perusahaan swasta, NGO International dll), PSHK pada tanggal 20-24 April 2009 yang akan datang bermaksud untuk menyelenggarakan LDT Angkatan II di Kuta-Bali.

Dengan tema "Menuju Pembentukan Hukum yang bertanggungjawab Sosial (Towards Socially Responsible Law Making)", peserta pelatihan akan dibekali dengan beragam aspek teori dan pengalaman praktek mengenai pembentukan hukum yang dapat bermanfaat dalam aktivitas kerja peserta dari berbagai latar belakang yang ada. Pelatihan ini dirancang khusus dengan metode yang menarik dan dapat diikuti oleh berbagai pihak, dengan atau tanpa latar belakang ilmu hukum, yang memiliki ketertarikan terhadap metode dan teknik perancangan peraturan.

Untuk info lebih lengkap mengenai pendaftaran dll, silakan menghubungi Siti Maryam Rodja (maryam.rodja@pshk.or.id) atau Diah Rahmawati (diah.rahmawati@pshk.or.id).

Sampai jumpa di Kuta Bali! ;)