Friday 26 June 2009

Dua RUU "Menarik" di Akhir Masa Jabatan DPR


Oleh: Ronald Rofiandri

Waktu saya iseng membaca beberapa RUU yang masih tersisa menjelang berakhirnya anggota DPR periode 2004-2009, ada dua RUU yang mengundang rasa penasaran.

Pertama, RUU Protokol dan Hak Keuangan Pejabat Negara (sementara kita sebut saja "RUU Protokol"). RUU ini diproyeksikan menggantikan UU No 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara dan UU No 8 Tahun 1987 tentang Protokol. Khusus UU No 12 Tahun 1980, saat ini masih kita gunakan sebagai salah satu referensi penulisan hak keuangan dan administrasi anggota DPR (ada di www.parlemen.net)).

Kedua, RUU Kepemudaan. Oh ya, mayoritas kita masuk sebagai kelompok yang diatur RUU ini karena disebutkan definisi pemuda adalah orang yang berusia 18 s/d 35 tahun hehehe.. (wah, Tukang Pos tahun depan nggak termasuk nih :) - red. a.ka. Tukang Pos). Menarik, RUU Kepemudaan malah dipilih Komisi X untuk mulai dibahas bersama dengan Kemenpora, setelah sebelumnya membahas RUU Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. Padahal sebelumnya sudah ada RUU Perfilman (yang sebenarnya diamanatkan oleh MK buat menggantikan UU Film yang lama).

RUU Protokol

Kita lihat dulu RUU Protokol. Secara umum, perbedaan yang nampak antara RUU Protokol dan UU No 12 Tahun 1980 adalah materi muatan RUU yang lebih banyak karena menggabungkan UU No. 12 Tahun 1980 dengan UU No 8 Tahun 1987. Kemudian UU No 12 Tahun 1980 cukup rinci mengatur formula dan mekanisme pembayaran uang pensiun (malah ditempatkan dalam satu bab tersendiri), sedangkan RUU Protokol justru mengalihkan semua pengaturan ketentuan hak pensiun pejabat negara melalui peraturan pemerintah.

RUU Protokol juga merumuskan tunjangan keluarga dan tunjangan kesejahteraan, dua jenis tunjangan yang tidak ditemui pengaturannya pada UU No 12 Tahun 1980. Lebih lanjut mengenai tunjangan keluarga dan tunjangan kesejahteraan diatur melalui peraturan pemerintah. Tidak detail apa yang dimaksud tunjangan keluarga dan tanda tanya pula apa yang dimaksud tunjangan kesejahteraan, karena kalau peruntukannya bagi anggota DPR misalkan, tunjangan kesejahteraan yang seperti apa lagi? Mereka sudah mendapatkan gaji pokok, tunjangan jabatan, uang paket, dan uang sidang. Ini bisa jadi modus membuat pos anggaran yang tidak jelas dan dikhawatirkan double tunjangan. Fasilitas lainnya seperti tunjangan kesehatan, kematian, biaya perjalanan dinas, uang paket, uang sidang, rumah jabatan + kelengkapan + biaya pemeliharaan, dan kendaraan motor masih (sama) diatur seperti UU No 12 Tahun 1980.

Kehadiran pengaturan hak keuangan pejabat negara semakin relevan kalau kita baca draf terakhir RUU Susduk (yang saat ini masih dibahas di tingkat Timus). Sebagai contoh, Pasal 44 menyebutkan bahwa hak protokoler Pimpinan dan Anggota MPR diatur dalam undang-undang. Kemudian Pasal 45 ayat (1) menjelaskan bahwa hak keuangan dan administratif Pimpinan dan Anggota MPR diatur oleh Pimpinan MPR bersama pemerintah. Menurut penjelasan, yang dimaksud dengan “diatur oleh Pimpinan MPR bersama pemerintah” adalah terlebih dulu Pimpinan MPR menetapkan proses pengajuan dan pengelolaan keuangan, standar biaya khusus, mekanisme pertanggungjawban dalam Keputusan Pimpinan MPR. Selanjutnya Keputusan Pimpinan MPR itu ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Hal yang sama berlaku pula untuk anggota DPR (Pasal 147) dan anggota DPD (Pasal 255). Sedangkan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota diatur dalam peraturan pemerintah (Pasal 300 dan Pasal 337).

Merupakan suatu hal yang wajar apabila keuangan MPR, DPR, DPD, dan DPRD diatur oleh lembaga yang bersangkutan bersama dengan pemerintah atau pemerintah daerah. Sebab memang lembaga-lembaga itulah yang dapat mengetahui anggaran pembelanjaan yang ditentukan, sementara koordinasi dengan pemerintah/pemerintah daerah dibutuhkan agar disesuaikan dengan APBN/APBD. Namun demikian, celah penyalahgunaan kekuasaan akan selalu terbuka dalam prosedur pengambilan keputusan yang tidak transparan dan tanpa adanya peluang untuk melakukan pengawasan dari luar.

Buat studi komparasi, di Inggris misalnya, penentuan keuangan anggota parlemen dilakukan oleh Senior Salaries Review Body (SSRB) bersama dengan penentuan keuangan beberapa pejabat negara lainnya. Dengan demikian, diharapkan ada penilaian dan kriteria-kriteria obyektif dalam menentukan keuangan parlemen, karena nantinya parlemen (dan pemerintah) yang akan menetapkan anggaran (yang merupakan bagian dari keuangan negara yang juga harus disetujui oleh parlemen sendiri). Bahan-bahan yang disiapkan oleh SSRB ini beserta sidang-sidang parlemen dalam menetapkan keuangannya dapat diakses oleh masyarakat, sehingga ada kontrol dari luar parlemen dan penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah.

Di Indonesia, sistem mengenai badan tersendiri yang menentukan soal keuangan lembaga-lembaga negara belum ada. Kalaupun ada, gunanya lebih ditujukan untuk menentukan besarannya di dalam APBN atau internal pemerintah, tanpa ada kriteria dan penilaian obyektif yang transparan. Kritik yang sering terjadi terutama di daerah-daerah, di mana DPRD meminta anggaran atau fasilitas yang tidak proporsional dibandingkan dengan APBD-nya sendiri.

Kalau mengenai hak protokoler, seharusnya bisa memecahkan persoalan pengaturan atau mungkin larangan penggunaan fasilitas dan hak keprotokoleran pejabat yang terlibat kampanye pemilu aleg dan pilpres. Atau yang biasa dikeluhkan teman-teman di daerah dan biasanya muncul sebagai salah satu contoh kasus yang sering disampaikan sewaktu pelatihan legal drafting, adalah penggunaan fasilitas pemerintah (mobil dinas dll) untuk kepentingan pribadi.

RUU Kepemudaan

Sedangkan mengenai RUU yang kedua, RUU Kepemudaan, huehehe.. nggak ada isu krusial. Semuanya standar aja. Sedikit catatan untuk Pasal 10 yang menyebutkan bahwa pemerintah daerah membentuk dinas yang menangani masalah kepemudaan. Mungkin ini nanti kaitannya dengan pengaturan organisasi tata laksana (ortala) di daerah. Buat daerah yang sudah maju seperti DKI Jakarta nggak masalah, malah sudah punya Dinas Olahraga dan Pemuda. Lainnya, dalam Pasal 29, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan prasarana dan sarana kepemudaan (detailnya ada pada Pasal 30). Kewajiban seperti ini yang dibebankan kepada Pemerintah dan pemerintah daerah ditemukan juga misalnya pada UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Misalnya seperti kewajiban menggalakkan promosi gemar membaca dengan memanfaatkan perpustakaan (Pasal 8 huruf d) dan apabila kewajiban ini tidak dilakukan, ada sanksinya loh :-) sebagaimana diatur dalam Pasal 52 (bentuknya sanksi administratif).

Tuesday 23 June 2009

Peraturan Perundang-Undangan untuk Perancangan Peraturan

Selain membutuhkan keterampilan (skill) khusus, merancang peraturan perundang-undangan juga memerlukan kecermatan agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait. Di bawah ini berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perancangan peraturan.

Berhubung malas :-) dan tidak punya waktu, semua dokumen saya unggah sesuai yang ada di notebook saya. Jadi formatnya berbeda-beda dan tempat file sharing-nya juga berbeda karena googledocs tidak bisa share pdf. Mudah-mudahan tidak merepotkan.

Kalau ada yang terbaru, mohon kawans berbagi juga di sini (tinggalkan komentar) atau email ke Tukang Pos (mbak.pos@gmail.com), supaya pembaca tidak salah menggunakan peraturan lama :-)
  1. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
  2. Lampiran UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
  3. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-Undangan (tidak berlaku lagi)
  4. Penjelasan UU No. 10 Tahun 2004 (tidak berlaku lagi)
  5. Lampiran UU No. 10 Tahun 2004 (tidak berlaku lagi)
  6. Perpres No. 61 Tahun 2005 ttg Tata Cara Penyusunan Prolegnas
  7. Perpres No. 68 Tahun 2005 ttg Tata Cara Mempersiapkan RUU, RPERPU, RPP, RPERPRES
  8. Perpres No. 1 Tahun 2007 ttg Pengesahan, Pengundangan, Penyebarluasan
  9. Permendagri No. 53 Tahun 2011 ttg Pembentukan Produk Hukum Daerah
  10. Lampiran I Permendagri No. 53 Tahun 2011 ttg Pembentukan Produk Hukum Daerah
  11. Lampiran II Permendagri No. 53 Tahun 2011 ttg Pembentukan Produk Hukum Daerah
  12. Lampiran III Permendagri No. 53 Tahun 2011 ttg Pembentukan Produk Hukum Daerah
  13. Permendagri No. 15 Tahun 2006 ttg Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah (tidak berlaku lagi)
  14. Lampiran Permendagri No. 15 Tahun 2006 ttg Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah (tidak berlaku lagi)
  15. Permendagri No.16 Tahun 2006 ttg Pedoman Penyusunan Produk Hukum Daerah (tidak berlaku lagi)
  16. Permendagri No. 17 Tahun 2006 ttg Lembaran Daerah dan Berita Daerah (tidak berlaku lagi)
  17. Kepmendagri No. 126 Tahun 2003 ttg Bentuk Produk Hukum Desa
  18. Lampiran Kepmendagri No. 126 Tahun 2003 ttg Bentuk Produk Hukum Desa
  19. Kepmendagri No. 169 Tahun 2004 ttg Program Legislasi Daerah (tidak berlaku lagi)
  20. Peraturan Menteri Hukum & Ham Tahun 2008 ttg Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-Undangan
Semoga bermanfaat!

Pengesahan RUU Pelayanan Publik: Awal yang Baik dengan Beberapa Catatan Penting

Siaran Pers Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3)

Pengesahan RUU Pelayanan Publik: Awal yang Baik dengan Beberapa Catatan Penting

Setelah melalui masa pembahasan hampir 4 tahun, RUU Pelayanan Publik akhirnya disahkan dalam sidang paripurna DPR pada hari ini, Selasa 23 Juni 2009. Tentu ini merupakan poin positif bagi DPR, terutama di tengah banyaknya kasus masyarakat yang belum memperoleh hak dasar dan perlakuan yang adil di bidang pelayanan publik. Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) yang sejak 2005 melakukan pemantauan dan advokasi terhadap RUU ini menyampaikan apresiasinya kepada DPR yang telah memenuhi janjinya untuk menyelesaikan pembahasan RUU ini, pada masa-masa terakhir jabatannya yang tinggal hitungan minggu.

Dua kriteria yang umumnya dijadikan dasar penilaian RUU adalah kualitas proses dan kualitas substansi RUU tersebut. Dari segi proses, RUU Pelayanan Publik merupakan salah satu contoh proses pembahasan peraturan perundang-undangan yang baik, dilihat dari prinsip partisipasi publik, keterbukaan dan transparansi. Dari segi substansi, bila dibandingkan dengan draft awal pada awal pembahasan, RUU Pelayanan Publik yang baru disahkan memiliki kemajuan progresif untuk beberapa substansi. Secara umum, beberapa gagasan penting yang didorong oleh MP3 telah diakomodasi dalam RUU Pelayanan Publik, yaitu paradigma pelayanan publik, partisipasi masyarakat, perlindungan terhadap kelompok rentan, mekanisme komplain dan sanksi. Meski sebagian besar sudah diakomodasi, MP3 masih ada beberapa catatan terhadap substansi tersebut. Berikut adalah Sikap dan catatan kritis MP3 terhadap UU Pelayanan Publik yang baru disahkan:

Catatan Proses Pembahasan RUU Pelayanan Publik
MP3 perlu memberikan apresiasi kepada PANSUS RUU Pelayanan Publik yang membuat keputusan politik untuk membuka setiap pembahasan, di mulai dari tingkat PANJA hingga TIMSIN sehingga pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dapat dilakukan secara intensif. Pembahasan RUU Pelayanan Publik merupakan pembahasan ketiga yang dilakukan secara terbuka, setelah UU Kewarganegaraan dan UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Harapan kami, hal ini merupakan preseden positif bagi setiap pembahasan legislasi di DPR agar dapat dilakukan secara terbuka untuk masyarakat umum.


Catatan Substansi RUU Pelayanan Publik

1. Paradigma RUU Pelayanan Publik

UU Pelayanan Publik dalam konsiderannya telah memasukkan UU No. 11 tahun 2005 mengenai Pengesahan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin posisi dan kedudukan masyarakat terhadap negara.

Poin positif lainnya adalah paradigma yang digunakan dalam UU Pelayanan Publik yang memandang bahwa pelayanan publik sebagai kegiatan yang dilakukan oleh penyelenggara berupa barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan pelayanan kepada masyarakatnya. Paradigma progresif ini diperkuat dengan memperluas ruang lingkup pelayanan barang, jasa, dan administratif kepada semua penyelenggara pelayanan publik, baik yang dibiayai oleh APBN/APBD maupun yang tidak dibiayai yang keberadaan penyelenggara tersebut adalah untuk menjalankan misi negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

2. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat untuk dapat terlibat aktif dalam pelayanan publik adalah sebuat bentuk pengakuan masyarakat sebagai subyek kebijakan, dan tidak lagi sebatas objek semata. Semangat ini dicantumkan pada pasal 20 yang mengatur mengenai standar pelayanan dan kewajiban untuk menyertakan masyarakat dan pihak terkait dalam menyusun dan menetapkan standar pelayanan. Sebagai tambahan, dalam hal pengawasan, masyarakat juga diberikan keleluasaan untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik dengan membentuk lembaga pengawas pelayanan publik.

3. Perlindungan terhadap Kelompok Rentan

UU Pelayanan Publik mengatur mengenai pelayanan khusus yang diberikan kepada anggota masyarakat tertentu yang mencakup penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil, anak-anak, korban bencana alam, dan korban bencana sosial. Pelayanan ini mencakup sarana, prasarana dan/atau fasilitas.

Ketentuan ini tentu hal yang baik mengingat banyaknya kelompok masyarakat rentan yang tidak dapat menggunakan sarana publik karena keterbatasan yang dimiliki. Namun, MP3 masih memiliki catatan pada bagian penjelasan dari pasal mengenai pelayanan khusus yang tidak secara lengkap menguraikan mengenai kelompok rentan. Kelompok masyarakat seperti masyarakat adat, suku terpencil, orang yang memiliki keterbatasan fisik tertentu, keluarga korban kekerasan merupakan contoh kelompok masyarakat yang belum dimasukkan dalam kategori kelompok masyarakat yang berhak mendapatkan perlakuan khusus di pelayanan publik.

4. Sanksi

Pasal-pasal yang mengatur sanksi telah cukup detil mengatur hukuman yang diterapkan pada setiap pelanggaran yang dilakukan, baik yang ditujukan kepada penyelenggara, petugas penyelenggara, penanggungjawab, hingga kepada instansi pemerintah yang mengeluarkan ijin. Sanksi pun telah mencakup 3 jenis sanksi, yaitu sanksi administratif, perdata, dan pidana.

Hanya saja perlu dijadikan catatan ketiga sanksi ini tidak melalui satu lembaga, namun melalui lembaga peradilan untuk sanksi pidana dan perdata yang dikeluarkan oleh ORI.

5. Mekanisme Komplain

Penanganan pengaduan yang diatur dalam UU Pelayanan Publik ini memiliki dua mekanisme, yaitu secara internal melalui penyelenggara pelayanan publik dan mekanisme eksternal melalui Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan lembaga peradilan.

Pengaturan mengenai pengaduan melalui internal penyelenggara telah secara detil mengatur teknis pengaduan, bahkan hingga biaya dan batas waktu penyelesaian yang harus dilakukan oleh penyelenggara. Ini merupakan sisi positif di mana banyak terjadi pengaduan yang dilakukan oleh masyarakat tidak memiliki kejelasan waktu penyelesaian dan biaya yang tidak sedikit.

Mengenai penyelesaian pengaduan melalui lembaga ORI dan peradilan memiliki beberapa kelemahan. Seperti penyelesaian oleh lembaga peradilan yang tidak memiliki batas waktu penyelesaian, biaya yang besar serta kendala psikologis masyarakat pengadu terhadap lembaga peradilan di Indonesia.

ORI yang dalam UU ini berposisi sebagai lembaga penyelesai pengaduan pelayanan publik diberikan kewenangan tambahan untuk menyelesaikan pengaduan secara ajudikasi. Dari satu sisi, hal ini membuka peluang adanya jaminan bahwa pengaduan dapat diselesaikan secara cepat, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun di sisi lain, kewenangan progresif ini terbatas pada permasalahan ganti rugi semata. Padahal banyak persoalan pengaduan pelayanan publik yang tidak sebatas pada soal tersebut saja.