Thursday 24 September 2009

Jas Merah Perpu dan KPK

Perbincangan mengenai diterbitkannya Perpu terkait dengan kekosongan Pimpinan KPK berlangsung sejak sebelum Idul Fitri.

Yang menolak kehadiran Perpu mendasarkan pandangannya pada ketiadaan “hal ihwal kegentingan memaksa” yang menjadi syarat dikeluarkannya Perpu menurut Penjelasan Pasal 22 UUD 1945. Alasan lainnya terkait dengan skenario besar intervensi presiden terhadap KPK yang memang terlihat dengan mata telanjang sedang betul-betul dilemahkan.

Sedangkan para pejabat terkait dan pakar yang berposisi menyetujui penerbitan Perpu tersebut kebanyakan merujuk pada interpretasi Mahkamah Konstitusi putusan Nomor 003/PUU-III/2005 dalam Pengujian Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutananan menjadi Undang-Undang. Singkatnya kita sebut saja “Putusan UU Kehutanan”. Saat itu, dalam pengujian “formil” (prosedural) yang dilakukannya terhadap prosedur dikeluarkannya Perpu, MK menyatakan parameter ‘hal ihwal kegentingan memaksa’ merupakan penilaian subyektif Presiden, sedangkan obyektivitasnya dinilai DPR. Diberinya pula catatan, bagian penjelasan UUD 1945 sudah tidak lagi menjadi dasar hukum karena sejak amandemen 1999-2002, penjelasan tidak lagi menjadi bagian dari UUD dan hanya diposisikan sebagai dokumen sejarah.

Bagi pendukung kehadiran Perpu KPK terkait pimpinan KPK ini, sesungguhnya ada tiga hal yang luput diamati. Pertama, terkait dengan sejarah Perpu. Kedua, konteks dikeluarkannya putusan MK tersebut. Ketiga, catatan MK dalam putusan yang populer dikutip sebagai justifikasi dikeluarkannya Perpu itu mengenai “kondisi obyektif bangsa”. Ketiganya terkait satu sama lain.

Jas Merah

Jangan sekali-sekali melupakan sejarah, atau Jas Merah, itu salah satu judul pidato Sukarno yang populer. Sukarno memang jagoan membuat jargon-jargon menarik untuk pidato. Karena itu, ijinkan saya menggunakan jargon menarik ini untuk mengingatkan kita agar tak lupa pada sejarah Perpu.

MK memang menyatakan dengan tegas dalam Putusan UU Kehutanan tersebut bahwa argumen mengenai Penjelasan Pasal 22 mesti ditolak karena amandemen memutuskan penjelasan bukan lagi bagian tak terpisahkan dari UUD. Namun MK mengacu menyatakan pula soal “dokumen sejarah.” Bahkan MK tak berhenti di situ, meski bisa saja diskusi dihentikannya di titik itu. MK tak lelah mengetikkan kembali dengan lengkap bunyi Pasal 139 Konstitusi RIS (1949) dan Pasal 96 UUDS 1950 untuk mencatat sejarah konstitusional yang sesungguhnya memang penting.

Tanpa harus mengetikkannya kembali, dapat saya catat, intinya kedua pasal dalam konstitusi yang berbeda, namun serupa, itu mengatur adanya “undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera.” Tujuannya sama dengan apa yang disebut dalam penjelasan Pasal 22 UUD 1945 yang dikatakan tak lagi berlaku itu: untuk mengatur keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera.

Bila risalah pembahasan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ditelisik, memang tak ada yang khusus membahas Perpu. Sebab pembahasan BPUPKI ketika itu hanya berupa prinsip-prinsip, seperti sistem pemerintahan, warga negara, dan wilayah negara. Sedangkan argumen mengenai rancangan pasal-pasal yang lengkap sesungguhnya terletak pada apa yang disebut “Penjelasan UUD 1945” tersebut. Dapat dimaklumi, karena BPUPKI bekerja dalam tekanan waktu (dan politik) yang kuat.

Dengan begitu, sebagai dokumen sejarah, seperti dikatakan MK, Penjelasan Pasal 22 beserta Pasal 139 Konstitusi RIS dan Pasal 96 UUD 1950 dapat disimpulkan mempunyai cara pandang yang hampir serupa mengenai pentingnya kekuasaan presiden dalam suatu negara yang masih balita pada waktu itu. Apalagi, perancang ketiga UUD tersebut sesungguhnya sama atau paling tidak serupa, meski ada pergolakan pemikiran, wacana kenegaraan dunia pascaperang dunia II, dan konteks politik domestik yang membuat ketiganya punya muatan yang berbeda. Cara pandang yang saya maksud adalah pentingnya “gerak cepat” presiden di tengah situasi nasional yang luar biasa dinamis pada waktu itu.

Memang betul, “hal ihwal kegentingan memaksa” berbeda dengan pengaturan mengenai keadaan berbahaya yang diatur dalam undang-undang. Tapi konteks sejarah di atas menggambarkan, Perpu diadakan untuk mengakomodasi jaman yang berbeda. Ketika itu, situasi dunia pascaperang dunia kedua berubah dengan sangat cepat. Termasuk Indonesia. Karena itu pula, sampai keluar UUD RIS dan UUDS 1950. Harus ada terobosan hukum yang dilakukan presiden dengan cepat agar negara tetap berjalan baik. Apalagi, arus informasi dan intelijen tidak secanggih pada saat ini. Namun prinsip keseimbangan kekuasaan tak ingin ditinggalkan. Karena itulah ada pengecekan oleh DPR.

Kondisi ini sangat berbeda dengan masa kini. Akibatnya “hal ihwal kegentingan memaksa” ini seringkali dalam praktek hanya berupa masa reses DPR yang berlangsung, sementara pemerintah tidak keburu mengeluarkan suatu undang-undang. Dengan sebab ini pula, Perpu Kehutanan yang dipersoalkan di MK itu dilahirkan. Apakah dengan kalimat MK bahwa Perpu adalah subyektivitas presiden pertimbangan semacam ini (reses DPR atau lambatnya kerja DPR, seperti dalam polemik Perpu Pengadilan Tipikor) sah dipergunakan? Secara legal formal mungkin ya. Tapi ada rasa keadilan yang terusik kuat di sini. Dan hukum bukan cuma soal kata-kata formal.

Konteks Dikeluarkannya Putusan MK Soal UU Kehutanan

Rasa keadilan yang terusik pula yang mendorong para pemohon Putusan UU Kehutanan. Namun rasa keadilan ini dicoba diseimbangkan dengan kepentingan ekonomi oleh MK. Kita mesti melihat konteks putusan ini, di samping isi putusannya.

Putusan ini merupakan salah satu model putusan yang berbau kepentingan ekonomi. Dalam putusan-putusannya yang terkait dengan kebijakan ekonomi, MK memang cenderung hati-hati. Kalaupun ia setuju dengan dalil pemohon, alasan stabilitas ekonomi dan investasi akan dipertimbangkan pula, meski tidak ditampilkan dalam bahasa yang gamblang dalam putusan. Dalam konteks Putusan UU Kehutanan ini, MK menunjukkan karakter yang sama. Bila bahasa dalam putusan ditelisik dan ditelaah dalam konteks politik dan hukum, MK ingin mengatakan bahwa ia sesungguhnya setuju dengan dalil pemohon, namun karena kebijakan ekonomi sebaiknya memang dijaga sebagai wilayah pemerintah, MK tak ingin mengintervensi. Itu bukan wilayahnya.

Konteks ini tentu sangat berbeda dengan Perpu mengenai pimpinan KPK. Soal pimpinan KPK ini tidak hanya terkait dengan pemberantasan korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa yang menjadi fokus penting dunia peradilan termasuk MK. Namun juga bagaimana MK dapat mengontrol kecenderungan intervensi presiden dalam penegakan hukum. Ingat, KPK adalah bagian dari sistem penegakan hukum.

“Kondisi Obyektif Bangsa"

Bicara soal intervensi presiden, satu bagian yang jarang dikutip dari Putusan UU Kehutanan itu adalah bagian yang menyatakan bahwa: “meskipun “hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang menjadi pertimbangan dikeluarkannya sebuah Perpu alasannya bersifat subyektif, di masa datang, alasan-alasan yang menjadi pertimbangan Presiden untuk mengeluarkan sebuah Perpu agar lebih didasarkan pada kondisi obyektif bangsa dan negara…”

Bagian ini saya kutip langsung dari putusan. Ini menunjukkan perhatian MK yang sesungguhnya mendalam mengenai alasan dikeluarkannya Perpu. Secara formal memang Perpu ‘subyektif’ karena berbeda dengan undang-undang yang membutuhkan ‘persetujuan bersama’ DPR dan Presiden, Presiden sendirian saja ketika mengeluarkan Perpu. Namun secara subtantif, MK menuntut agar presiden punya pertimbangan obyektif dalam mengeluarkannya.
***
MK memang mengatakan bahwa “hal ihwal kegentingan memaksa” adalah pertimbangan subyektif presiden yang akan dicek oleh DPR nantinya. Namun sejarah, konteks putusan MK, dan isi putusan MK secara lengkap mengingatkan kita bahwa kegentingan sesungguhnya mempunyai konotasi “darurat” karena kondisi sebuah bangsa yang baru lahir.

DPR memang nanti akan mengecek pertimbangan subyektif presiden soal kondisi darurat ini. Tapi itu dulu. Sekarang ini, di era di mana informasi bergerak dengan cepat, kondisi bangsa zonder perang, dengan penilaian dapat diberikan secara cepat kepada presiden, dan data statistik dan maupun analisis kualitatif yang banyak tersaji, presiden tidak perlu bertindak subyektif secara terburu-buru. Terburu-buru (entah oleh apa karena KPK sendiri mengatakan kondisinya baik) tanpa menghitung akibat yang akan ditimbulkan pada KPK. MK mengingatkan dalam putusan yang sama, bahwa pertimbangan subyektif presiden itu harus didasarkan pada kondisi obyektif bangsa dan negara.

Akibatnya tidak main-main. Kita tidak hanya berbicara soal lembaga KPK, tetapi juga bangunan negara hukum Indonesia. Ini kondisi yang betul-betul obyektif. Sedangkan pejabat juga tak kalah hebat membela Perpu ini. Tentu saja. Yang menjadi pertanyaan, ada apa di balik keinginan untuk melegitimasi Perpu tersebut? Barangkali skenario besar pelemahan KPK memang jawabannya. Saya jadi bertanya-tanya, Perpu apa lagi yang akan dikeluarkan presiden SBY dalam lima tahun ke depan dengan segala legitimasi “akademis”nya?

[sebagian dari tulisan ini dipublikasikan di http://www.detiknews.com/read/2009/09/22/170303/1207849/103/jas-merah-perpu-dan-kpk]