Thursday 18 February 2010

Mengatur Desa

Peraturan Desa (Perdes), pertama kali mendengar tentang jenis peraturan ini beberapa tahun yang lalu, saya bertanya-tanya “apa yang bisa diatur oleh desa?” Dulu, saya berpikir bahwa desa tidak lebih dari kepanjangan tangan dari daerah otonom di atasnya yaitu kabupaten/kotamadya. Jadi masih dalam bayangan saya, desa tidak akan memiliki kewenangan apapun yang tersisa, semua habis diserap oleh Kabupaten atau Kotamadya. Pandangan saya ini tidak sepenuhnya salah, karena dari beberapa kali memberikan pelatihan kepada para aparat desa (di Bau-bau, Sumba Barat dan Sumbawa) terdapat kegelisahan yang sangat dari mereka. Salah satu peserta pelatihan di Sumbawa menyatakan bahwa mereka merasa direpresi oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, bahkan sampai pungutan dan retribusi pun mereka tidak hanya kebagian yang remeh-temeh saja.

Seorang pejabat BPMD (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa) Sumbawa yang juga memberikan materi dalam pelatihan ini, tidak dapat membantu banyak menjelaskan atau memberikan trik-trik bagaimanna mensiasati keterbatasan kewenangan ini. Supaya para kepala desa dan BPD ini tidak patah arang. Bahkan saya merasa agak aneh dengan pejabat ini, sebagian besar materi yang diberikan menggunakan bahasa campuran Indonesia-Inggris yang menurut saya sebetulnya tidak perlu. Selain ada istilahnya dalam bahasa Indonesia, sebagian besar peserta berpendidikan SMP ke bawah. Bagaimana bisa berdaya, kalau informasi yang disampaikan pun tidak bisa dicerna dengan baik.

Tidak kompetennya pejabat BPMD tidak sebatas dalam pelatihan saja, Kepala Desa Kelungkung di Sumbawa Besar bercerita kepada saya bahwa dia baru tau bahwa ada suatu metode untuk membuat Perdes. Sebelumnya, yang dia lakukan adalah jika ia melihat ada sesuatu yang di rasa keliru, dia akan membuat nota yang isinya sanksi yang diberikan kepada perbuatan tersebut. Nota ini kemudian dikirimkan kepada BPMD. Tanpa ada pengecekan ataupun pendidikan kepada mereka tentang cara pembuatan peraturan yang baik, langsung saja nota ini dianggap sebagai peraturan desa. Tanpa pembicaraan yang cukup, tanpa musyawarah yang layak. Persis seperti metode “ends means” yang banyak dikenal di negara otoritarian.

Kembali ke soal kewenangan desa, lalu apa yang bisa diatur oleh Perdes? Pasal 13 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur begini:

“Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.”

Dari aturan di atas kita dapat menafsirkan bahwa peraturan desa bisa merupakan penjabaran dari peraturan yang lebih tinggi ATAU materi untuk menyelenggaran urusan desa. Untuk materi yang terakhir bisa ditafsirkan bahwa dia tidak harus penjabaran dari aturan yang lebih tinggi, artinya ada keleluasan untuk mengatur hal-hal yang memang belum ada aturannya di tingkat atas. Disinilah kreativitas aparat desa dibutuhkan untuk membuat sebuah peraturan desa yang tidak hanya mengekang tapi justru membebaskan warganya dari kemiskinan atau ketimpangan sumber daya.

Nah, dari pelatihan di Sumbawa minggu lalu saya mendapatkan beberapa contoh menarik dari apa yang bisa di atur dalam Perdes tanpa ribet dengan soal kewenangan. Pertama untuk masalah sosial peladangan berpindah yang dilakukan masyarakat desa sampe, dari hasil analisis dengan ROCCIPI mereka menemukan bahwa penyebab utama adanya peladangan berpindah adalah masalah kapasitas. Orang-orang Desa Sampe memiliki tanah yang sangat luas, dan terkadang mereka tidak memiliki sumber daya manusia yang cukup untuk mengerjakan. Mereka memberikan solusi dengan cara membuat mekanisme kerja gotong royong, mengusahakan bibit bernilai ekonomi tinggi yang masa tanamanya panjang, memberikan penghargaan berupa alat pertanian bagi mereka yang sukses menerapkan Perdes ini.

Atau untuk desa Batujulang, permasalahan utama mereka adalah penebangan pohon Boan (pohon tempat bersarangnya lebah penghasil madu hutan sumbawa) akibat penebangan di tanah milik dan hutan lindung. Selain mengacu ke aturan yang lebih tinggi (Undang-undang dan Perda) mereka mengatur soal lokasi pohon Boan yang tidak boleh ditebang, misalnya berapa km dari pinggir jurang atau sungai. Nilai ini sebetulnya telah hidup di masyarakat, hanya saja belum diekstraksi ke dalam peraturan formal.

Jadi kesimpulannya adalah, Perdes masih bisa dijadikan sarana perubabahan. Kreativitas, kemauan dan kebersamaan seluruh warga desa yang perlu terus dibangkitkan supaya tidak sesak dengan kungkungan dari pemerintah pusat dan daerah. Saya yakin pembaca blog perancang progresif ini memiliki banyak contoh yang mereka ketahui, mari kita berbagi pengalaman.

Friday 12 February 2010

Ikutan Ramai Bicara Makzul

Oleh: Amalia Puri Handayani

Jika menulis makzul di kotak pencarian internet, Anda akan menemukan banyak sekali tulisan mengenainya. Tidak sedikit orang menulisnya mengingat seringnya kata itu dipakai di media massa akhir-akhir ini. Sebenarnya, ketika saya tilik beberapa kamus bahasa Indonesia terdahulu, makzul sudah menjadi salah satu lema di dalamnya. Bahkan, jika dicari lebih detil melalui internet, makzul sudah digunakan dalam Hikayat Muhammad Hanafiah. Selain itu, makzul juga ditemukan dalam Hikayat Aceh, Hikayat Patani, Hikayat Hang Tuah, dan Bustanus Salatin (diambil dari http://gombang.blogspot.com/2010/01/makzul.html). Dengan demikian, makzul bukan merupakan lema yang baru dalam bahasa Indonesia.

Cukup dengan masa lalu. Saya mencoba mencari tahu makna makzul yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Makzul bermakna ‘berhenti memegang jabatan; turun takhta’. Kemudian, saya mencoba melihat arti dari kata-kata yang sering kali dianggap sama atau serupa maknanya. Misalnya saja, lengser. Kata itu dalam KBBI ditulis maknanya dengan ‘1)turun dari jabatan; 2)menggelincir ke bawah atau ke sisi; meluncur’. Jika dilihat dari maknanya, makzul digunakan untuk menggambarkan jabatan yang tertinggi, seperti raja. Hal itu terlihat dari penggunaan takhta dalam penjelasannya. Takhta biasa digunakan untuk menjelaskan tempat duduk raja. Di sisi lain, lengser hanya dijelaskan dengan ‘turun dari jabatan’. Jabatan dalam penjelasan itu tidak berarti harus berada dalam posisi yang tinggi.

Selain lengser, kata lain yang biasa disandingkan dengan makzul adalah pecat. Dalam pengertiannya, pecat bermakna ‘1)melepaskan (dari jabatan); memberhentikan (dari keanggotaan perkumpulan dan sebagainya); 2)mengeluarkan (dari sekolah dan sebagainya); 3)membebaskan dari pekerjaan (jabatan dan sebagainya untuk sementara waktu); 4)mengabaikan; tidak mengindahkan’. Penggunaan kata pecat secara tidak langsung diikuti makna pemaksaan berhenti oleh pihak lain, bukan berdasarkan pilihan pemangku jabatan. Sementara itu, dalam maknanya, makzul masih membuka kemungkinan untuk berhenti dari jabatan atas dasar pilihannya atau alasan lain. Dengan demikian, muncul asumsi bahwa makzul dianggap sering lebih sering digunakan dengan alasan kesopanan. Walaupun orang yang bersangkutan (sebagai contoh adalah presiden) diturunkan dari takhtanya akibat dorongan dari pihak luar—bukan pilihan presiden untuk turun dari takhta, makzul dianggap lebih mewakili untuk tetap menjaga kehormatan presiden.

Di sisi lain, dalam amandemen Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) tidak pernah disebutkan iztilah makzul, lengser, atau pecat. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 3 UUD 1945, “Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-undang Dasar”. Kata yang digunakan dalam UUD 1945—yang menjadi dasar hukum Indonesia—adalah memberhentikan. Kata itu dalam KBBI bermakna ‘memecat; melepas (dari pekerjaan, jabatan, dan sebagainya)’. Jika dilihat dari maknanya, memberhentikan mempunyai makna yang lebih kuat daripada makzul. Memberhentikan menunjukkan adanya kekuasaan lebih atau di atas yang bersangkutan—dalam hal ini presiden.

Selain kata-kata dalam bahasa Indonesia, makzul sering juga disandingkan dengan kata dalam bahasa Inggris, yaitu impeachment. Dari kamus.net, impeachment diartikan sebagai ‘panggilan untuk pertanggungjawaban; pendakwaan; tuduhan’. Oleh karena itu, makzul dan impeachment mempunyai makna yang berbeda.

Impeachment tidak berarti selalu diakhiri dengan turun takhta atau berhenti memegang jabatan. Impeachment hanya sekadar panggilan yang berupa tuduha. Namun, jika tidak terbukti bersalah, tidak ada penurunan takhta. Sementara itu, makzul sudah dapat dipastikan terjadi penurunan takhta.

Atas dasar penilaian terhadap makna yang diambil dari kamus tersebut, saya kurang setuju jika makzul disandingkan dengan impeachment. Penggunaan kedua kata itu dapat disesuaikan dengan konteksnya. Mungkin, dalam bahasa Indonesia, impeachment bisa saja diganti dengan proses pertanggungjawaban. Sayangnya, saya juga belum bisa menawarkan padanan kata yang pas untuk makzul dalam bahasa Inggris.

Monday 1 February 2010

Urgensi Monitoring dan Evaluasi Undang-undang

Proses pasca pengesahan dan pengundangan suatu undang-undang yang seringkali luput dari perbincangan adalah tahap monitoring dan evaluasi (monev). Secara internal, DPR memiliki bagian tersendiri yang menjalankan fungsi monev, yaitu Bagian Pemantauan Pelaksanaan Undang-undang (Panlak UU).

Namun, dalam pelaksanaannya, pembicaraan monev biasanya hanya bersifat parsial. Selama ini, pemahaman mengenai fungsi monev cenderung ditujukan kepada pelaksanaan proyek, bukan ditujukan pada tingkatan undang-undang sebagai produk legislasi. Metode penentuan indikator dalam implementasi monev pun terkadang bias pada kepentingan tertentu. Akibatnya, proses monev tidak memberikan hasil yang valid.

Aktivitas apa saja yang sebenarnya dilakukan dalam monev? Apa pula yang membedakan antara monitoring dan evaluasi? Apa urgensi fungsi monev sebagai sistem manajemen sehingga harus dilakukan dalam proses legislasi? Simak ulasan Ronald Rofiandri, peneliti PSHK, di sini.

Selamat mengunduh dan membaca!