Thursday 12 May 2011

Para Pengunjung LegisCafe



LegisCafe Experience

Pada 2-6 Mei 2011 lalu PSHK kembali menggelar training perancangan peraturan perundang-undangan. Kali ini kami mengusung tema Legiscafe Amalia, Bjeou dan Amin secara luar biasa mengubah ruang Paruman hotel Risata menjadi sebuah café yang hangat dan nyaman. Kursi-kursi putih yang terkesan anyep dan kaku diganti dengan kursi-kursi dengan bantal warna-wani yang funky nan empuk. Poster-poster bertema 5D yang tergantung di dinding ruangan menjadi alat belajar sekaligus dekorasi yang sempurna. Di pojok kanan kiri belakang ruangan, diletakan pojok santai di mana setiap orang bisa tidur atau membaca buku. Dipojok lainnya diletakan kursi-kursi dan alat musik yang memancing kreativitas peserta.

Peserta pada pelatihan ini 14 orang, enam orang berasal dari Badan Pemeriksa Keuangan, 2 orang dari ESDM, 2 orang dari kantor hukum AHP, 1 orang dari kantor hukum LGS , 1 orang dari Save The Children dari 1 orang dari BP Migas . Mereka adalah Ibu Iis, Yafitz, Andrew, Andri, Anang, Duma, Tintin, Taufik, Yoga, Christin, Wawa, Patrice dan Yaqiin.

Kelompok ini cukup unik, di awal awal mereka selalu minta diberikan contoh untuk setiap hal yang harus dilakukan. Saya agak tercengang waktu mereka minta diberi contoh bagaimana caranya menarikan “dingding ba dinding”. Dari banyak pelatihan yang saya fasilitasi, baru kali ini peserta minta diberi contoh. Esoknya mereka juga minta diberi contoh bagaimana caranya membuat puisi. Namun, seiring dengan saling eratnya perkenalan satu sama lain, mereka jadi semakin sulit dikendalikan. Gokil abis. Mereka mampu mementaskan drama, talkshow atau apapun bentuk presentasi kreatif yang diminta tanpa latihan. Spontan. Hasilnya pun luar biasa, lucu dan berbobot sekaligus.

Pelatihan kali menggunakan alur 5D yang diadopsi dari metode appreciative inquiry yang terdiri dari define, discover, dream, design dan details. Pada pertengahan hari pelatihan, peserta juga diajak untuk berkunjung dan mencari inspirasi dari Desa Tenganan. Tenganan adalah sebuah desa adat yang terkenal dengan kain tenunnya. Penduduk desa ini adalah penganut Hindu Indra, berbeda dengan mayoritas penduduk Bali yang menganut Hindu Syiwa. Selain itu pada hari ke empat pelatihan, peserta juga diperkenalkan sedikit dengan gerakan-gerakan dasar tari Bali. Menari bisa jadi adalah aktivitas yang sudah tidak pernah lagi dilakukan, atau bahkan belum pernah dilakukan sebelumnya oleh para peserta. Agak kaku tapi seruuu.

Energi dari peserta pelatihan ini sungguh luar biasa, bahkan sampai penghujung acara, mereka masih saja mengeluarkan celotehan-celotehan lucu yang membuat sakit perut. Sungguh pengalaman fasilitasi yang tidak terlupakan. Untuk semua peserta, terimakasih telah membagi ilmu dan energi kegembiraan di LegisCafe. Sampai bertemu kembali di pelatihan selanjutya.

Wednesday 11 May 2011

Sumba Barat: Manda Elu #3

Tambal Sulam Peraturan Daerah
Setelah sempat beristirahat pada hari Minggu, kami melanjutkan acara pada Senin, 18 April 2011. Kali ini, acara dilakukan di Manda Elu. Karena maknanya yang bagus, manda elu digunakan sebagai nama jalan dan nama tempat di sana.

Jumlah peserta tidak seperti acara sebelumnya, tetapi semua peserta yang hari itu merupakan nama-nama yang hadir ketika seminar. Setidaknya, mereka paham betul karena sudah melalui proses demi proses dalam perancangan peraturan daerah tersebut. Lima belas nama telah diumumkan ketika seminar. Semua datang pagi hari di Manda Elu. Tetap menggunakan asas dasar partisipasi, tiap elemen warga diusahakan untuk diwakili untuk turut membahas rancangan.

Perkenalan mendalam tetap menjadi pembukaan acara ini. Kemudian, alur prose ini pun dijelaskan, yaitu pedoman 5 D yang terdiri dari Define, Discover, Dream, Design, Detail. Jadi, selama tiga hari ke depan, kami melewati kelima proses itu. Sebenarnya, hasil penelitian dan seminar dapat membantu proses Define, Discover, dan Dream.

Define
Untuk memulainya, peserta melangkahkan kaki pada tapak Define, yaitu menentukan situasi sosialnya. Peserta diajak berdiskusi untuk menentukan tahapan proses yang harus dilalui untuk melahirkan peraturan daerah. Proses itu dijangkau sejak awal, seperti Musyawarah Rencana Pembangunan Dusun (Musrenbangdus) hingga penetapan APBD. Tak hanya itu, rangkaian aktor dalam setiap tahapan pun sudah mulai dipetakan.

Discover
Proses selanjutnya adalah Discover, yaitu mengeksplor kekuatan yang dimiliki Sumba Barat. Seperti hasil penelitian yang telah dipentaskan, kami sepakat bahwa sebenarnya Musrenbangdus merupakan hasil dari proses tahapan panjang yang telah terjadi sebelumnya. Warga banyak berdiskusi dalam rapat adat, penyuluhan, pertemuan rutin kelompok petani, dan lain sebagainya. Maka itu, hasil diskusi dari semua warga dapat disaring dan disuarakan oleh tiap wakilnya dalam Musrenbangdus. Kemudian, suara itu pun dilanjutkan lagi pada tingkat desa, hingga kabupaten. Jadi, forum nonformal warga merupakan kekuatan terbentuknya partisipasi di Sumba Barat.

Dream
Tak terasa, hari Senin telah berakhir. Kami pulang untuk beristirahat dan mengumpulkan energi untuk keesokannya. Hari Selasa dimulai dengan memaparkan tiap tahapan proses dari alur panjang yang dibuat kemarin. Tentu saja, pemaparan itu harus sesuai dengan impian Smba Barat yang telah dipresentasikan ketika Seminar Rancangan Peraturan Daerah Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif Sumba Barat.

Design
Peserta langsung dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok dilakukan berdasarkan alur proses pembuatan peraturan daerah yang dibuatnya kemarin. Setelah itu, peserta sibuk menjabarkan tugas kelompok yang diberikan berdasarkan enam kelompok aturan, yaitu aktor, lembaha pelaksana, sanksi, pembiayaan, lembaga sengketa, serta monitoring dan evaluasi.

Semua peserta sibuk turun tangan. Untuk membuatnya semakin menarik, peserta menuliskanya pada kertas metaplan warna-warni dan menempelnya pada kertas besar. Jadi, kelompok lain dapat melihat juga untuk menjaga alur. Pada penghujung hari, peserta menyadari panjangnya proses yang harus dilalui dalam tiap perancangan peraturan daerah. Meskipun demikian, mereka pun menjadi tahu celah untuk menyuarakan aspirasi dalam tiap tahapan proses.

Detail
Hari terakhir telah tiba. Setiap kelompok sudah siap dengan penjabaran akan enam elemen peraturan yang mereka buat kemarin. Sampailah jejak kami pada tapak Detail, yaitu membuat peraturan perundangannya. Pada tahap itu, peserta menentukan perilaku baru yang diharapkan. Lalu, menuagkannya dengan menggunakan norma dan anjuran dalam kalimat perundangan lain.

Sampailah kami pada tahap terakhir. Karena terlalu banyak tahapan proses yang harus dijabarkan, peserta belum menyentuh tahap akhir untuk merampungkannya. Setidaknya, hanya satu langkah lagi untuk menyelesaikan Ranperda Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif Sumba Barat.



Naskah Akademik Berikut Naskah Visual
Sebelum terlupa, ada beberapa orang dipisahkan dari kelompok untuk menyelesaikan naskah akademik sebagai bahan dasar pembahasan Ranperda tersebut. Dengan modal hasil penelitian, seminar, serta pengetahuan menadlam akan Sumba Barat, mereka menulis naskah akadmeik dengan tekun.

Selain itu, salah satu videografer ternama—Bjeou—telah mempersiapkan naskah visual berupa film. Film itu tidak akan jauh dari naskah akademik yang dibuat oleh teman-teman, hanya media yang digunakan berbeda. Jadi, lebih banyak orang dapat mengakses naskah visual dan memahami konteks Sumba Barat. Perlu diketahui pula, metode itu pun dapat dikatakan belum pernah dilakukan di Indonesia sebelumnya. Jadi, Sumba Barat merupakan daerah pertama sebagai pemberi kabar baik itu.

Kembali ke Jakarta
Itulah kisah yang saya bawa kembali ke Jakarta. Banyak pengalaman berharga dan kabar baik yang saya bawa dari Sumba Barat. Saya semakin percaya, semua bisa dilakukan, tidak terbatas oleh siapa dan di mana. Potensi dan keinginan kuat merupakan modal utama, lainnya hanyalah penunjang.

Tunggu kabar baik lain dari daerah berbeda!

Sumba Barat: Manda Elu #2

Pementasan Hasil Penelitian
Delapan puluh orang diundang untuk hadir dalam Seminar Ranperda Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif Sumba Barat pada hari ketiga. Sesuai dengan namanya, partisipasi warga luar biasa. Wakil rakyat yang tergabung dalam DPRD bergabung, BPMD (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa( pun tak ketinggalan, kepala desa dan mama desa, dan warga lain—baik perempuan maupu laki-laki—tak segan untuk hadir dalam seminar itu.

Pementasan drama disambut meriah. Semua orang ikut ber-payawaw pada akhir acara. Payawaw adalah sejenis teriakan khas Sumba yang dilakukan dengan saling bersambut antara perempaun dan laki-laki sebagai tanda setuju. Kami yang dari Jakarta dibuat merinding tiap kali mendengar mereka ber-payawaw. Acara belum berhenti, Pak Agus sebagai wakil dari DPRD Sumba Barat dan Pak Yanis sebagai wakil dari BPMD berbicara banyak tentang ranperda itu selaku narasumber.

Hadirin menyambutnya dengan antusias. Terlihat jelas, waktu untuk tanya jawab seolah tak kunjung selesai. Atas nama partisipasi, kami membiarkan proses diskusi terus berlangsung melampaui batas waktu. Akhirnya, peserta tetap diberikan selembar kertas untuk menuliskan pertanyaan dan pernyataannya agar tetap dibaca oleh pemegang kepentingan. Dengan demikian, suara peserta tetap didengar.

Setelah makan siang, acara dilanjutkan dengan menyusun visi Sumba Barat. Peraturan daerah tersebut tentu saja tidak dibuat dengan sembarang keinginan. Mereka mempunyai tujuan. Tujuan itulah yang disusun bersama. Peserta dibagi menjadi delapan kelompok. Setiap kelompok membuat papan visi dari potongan gambar yang telah disediakan. Kemudian, mereka mempresentasikan visi itu. Jadi, kami saling berbagi visi.

Tanpa diminta, presentasi kreatif telah menjadi pilihan mereka. Setiap kelompok menyajikannya dengan cara yang berbeda. Nyanyian menjadi pembuka atau bahkan menjadi cara untuk mempresentasikan papan visi yang mereka pegang. Tak segan, gelak tawa pun berkumandang. Mereka menyusun visi dengan hati gembira.

Lengkap sudah hari itu. Selain pertunjukan drama yang memperlihatkan hasil, diskusi mendalam tentang keadaan Sumba Barat, acara ditutup dengan berbagi mimpi tentang daerah mereka.

Sumba Barat: Manda Elu #1

Manda elu artinya ‘Sumba yang elok’. Keindahan alamnya tidak bisa diperdebatkan lagi. Alam menjadi kekayaan yang memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari mereka. Tidak hanya sebagai sumber daya yang dimanfaatkan sebagai kebutuhan hidup yang bersifat materi, alam juga menjadi salah satu nilai penting dalam kehidupan sosial. Setidaknya, itulah yang saya lihat di Sumba Barat.

Saya mendapat kesempatan untuk pergi ke Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur bersama PSHK. Konon, Sumba Barat begitu luas. Sejak mengalami pemekaran, daerah itu terbagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Sumba Barat, Sumba Barat Daya, dan Sumba Tengah. Di sana, kami diminta untuk membantu membuat Rancangan Peraturan Daerah tentang Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif.

Setelah berdiskusi dengan teman-teman di Sumba Barat, tercetuslah 15 April 2011 sebagai awal dari rangkaian acara. Dua minggu sebelumnya, teman-teman di Sumba Barat yang sebagian besar tergabung dalam Yayasan Bahtera sudah turun lapangan untuk mengumpulkan data. Kami mengusulkan beberapa pertanyaan terkait dokumen, media, dan forum yang harus dijawab oleh warga Sumba Barat.

Acara dimulai dengan mengejewantahkan hasil penelitian lapangan yang dilakukan oleh teman-teman di Yayasan Bahtera. Kemudian, hasil penelitian itu ditunjukkan kepada warga secara lebih luas, berikut para pemangku kepentingan. Terakhir, perancangan peraturan daerah tentu saja menjadi jadwal di akhir. Hasil akhir yang diharapkan ada di tangan adalah rancangan akhir Peraturan Daerah tentang Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif Sumba Barat, berikut naskah visual dan naskah akademiknya.

Katakan Kepada Kami
Dua hari pertama, kami mendekam di kediaman Yayasan Bahtera bersama teman-teman yang lain. Tentu saja, perkenalan menjadi pembukaan. Semua peserta sibuk menempel sticker yang kami bawa di mandalanya. Gempar, terbukti sudah! Banyak peserta bekerja keras demi daerahnya dengan sepenuh hati. Air mata menetes ketika menceritakan impiannya tentang Sumba Barat dan yayasannya.

Tetesan air mata tersebut justru menambah semangat acara. Untuk membuatnya menjadi sistematis, peserta dibagi menjadi tiga kelompok. Pembagian dilakukan berdasarkan inisiatif forum, yaitu program, pemerintah, dan warga sendiri. Hal itu menunjukkan fasilitator dalam setiap forum warga yang kemudian menjadi media partisipasi warga. Selama dua hari, kami dan teman-teman siap memaparkan hasil penelitian. Semua forum sudah dijabarkan, termasuk fasilitator, peserta, metode, dokumen, biaya, waktu, persiapan, dan informasi lain yang teman-teman miliki.

Secara keseluruhan, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa warga Sumba Barat mempunyai banyak forum nonformal yang melibatkan semua elemen. Wadah untuk menyampaikan suaranya begitu besar. Sifat kekeluargaan yang dibangun oleh budayanya membuat Sumba Barat patut menuntut Ranperda Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif. Warga Sumba Barat sudah menunjukkan kesiapannya; hanya menunggu waktu untuk melegitimasikannya.

Hasil yang luar biasa tersebut tentu saja tidak bisa ditunjukkan dengan sesuatu yang biasa. Setelah dirundingkan, kami sepakat untuk menampilkannya dalam bentuk pentas drama keesokan harinya dalam acara seminar. Tanpa menghilangkan partisipasi, kami pun mengajak warga. Beberapa orang ditelepon, beberapa orang didatangi rumahnya, beberapa lainnya dicegat di jalan. Semua siap bergabung. Setengah hari sebelumnya, kami sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Naskah, setting, kostum, pembagian peran, dan hal seru lain membuat kami tak sabar.