Thursday 24 February 2011

Sepak Nurdin

Oleh: Harun Ngantung*

Sepak bola adalah olahraga yang menjadi hobi banyak orang di negeri ini, termasuk saya. Entah kenapa belakangan ini antusiasme untuk sekedar menendang bola dan mencari jalan untuk memasukkan si kulit bundar ke gawang lawan berubah menjadi keinginan (mencari jalan untuk) menyepak Nurdin Halid dan kroni-kroninya dari kursi kepengurusan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).

Mungkin perasaan ‘sebel’ saya mewakili perasaan sebagian besar suporter ataupun pecinta sepak bola Indonesia. Bagaimana tidak, sudah bertahun-tahun lamanya induk organisasi sepak bola negeri ini dipimpin oleh orang yang itu-itu saja tanpa menghasilkan suatu kualitas yang baik. Di sini saya sengaja tidak menyebut prestasi sebagai tolak ukur kemajuan sepakbola kita karena menurut pendapat saya prestasi adalah sesuatu yang relatif dan akan datang sendirinya seiring dengan peningkatan dan pemerataan kualitas kompetisi dan pembinaan sepakbola di negeri ini.

Saya sendiri belajar mengenal sepak bola sejak masa sekolah dasar dimana saya habiskan di negeri Belanda. Mungkin sama dengan apa yang dilakukan anak SD di Indonesia saat jam istirahat dan sepulang sekolah yakni bermain bola menggunakan apa saja yang tersedia untuk dijadikan bola dan tiang gawang. Selain di sekolah anak-anak di sana memiliki akses luas dan mudah untuk masuk ke klub sepak bola. Bayangkan saja di kota Den Haag dengan jumlah penduduk kurang dari 300.000 jiwa terdapat puluhan klub sepak bola yang rata-rata memiliki paling sedikit 2 kesebelasan untuk masing-masing kelompok usia mulai dari 6 sampai 18 tahun diluar kesebelasan dewasanya.

Setiap hari sabtu pagi dari bulan September hingga Mei bergulir puluhan kompetisi liga untuk masing-masing kelompok umur. Anak-anak berbakat dari berbagai kelompok umur biasanya tidak lepas dari pantauan para pemantau bakat dari klub-klub besar seperti Ajax Amsterdam atau Feyenoord Rotterdam untuk kemudian ditawari untuk berlatih di klub-klub tersebut. Untuk masuk klub-klub ternama sejak usia dini jalurnya memang tidak mudah karena umumnya klub-klub tersebut hanya mengambil talenta-talenta eksepsional dari klub-klub satelitnya. Kalaupun kita mendengar ada teman yang mengaku jebolan dari akademi sepakbola satu dan yang lain klub ternama, besar kemungkinan teman tersebut mengikuti training camp atau klinik yang diselenggarakan klub-klub tersebut saat jeda musim kompetisi. Kursus sepak bola singkat tersebut diselenggarakan antara lain dalam rangka mendongkrak pemasukan dari orang-orang kaya dari berbagai belahan dunia yang ingin anak-anaknya merasakan pengalaman merumput di klub-klub ternama tersebut.

Selain kompetisi yang teratur sejak usia dini, tentu saja anak-anak yang tergabung dalam klub sepakbola diharuskan mengikuti latihan 2 kali seminggu pada sore hari sehabis jam sekolah. Pengamatan ini saya tuturkan sekedar untuk memberikan contoh betapa rapihnya organisasi kegiatan sepak bola di negara-negara Eropa Barat yang liga-liganya menjadi impian tempat merumput para pemain dari seluruh dunia. Hal ini tidak lepas dari profesionalime pengelolaan kegiatan persepakbolaan oleh KNVB sebagai induk organisasi sepakbola Belanda.

Organisasi atau manajemen sepak bola yang profesional hanya akan terwujud apabila induk organisasi sepak bola dapat mewadahi hubungan dan kerjasama yang sehat antar subyek yang terlibat dalam kegiatan persepakbolaan dalam hal ini pengurus klub, pemain, ofisial pertandingan dan suporter termasuk sponsor dan media. Bagaimana caranya? Yaitu dengan menetapkan kebijakan-kebijakan secara transparan, terbuka dan adil (tidak diskriminatif) sehingga dapat diterima oleh semua pemangku kepentingan (termasuk masyarakat pemerhati). Saya rasa dengan sendirinya suatu sistem persepakbolaan akan terbangun perlahan-lahan dalam iklim yang sehat. Tidak perlu program-program mercusuar mengirim segelintir talenta ke luar negeri dengan harapan menciptakan prestasi instan. Yang diperlukan adalah suatu kompetisi yang sehat mulai dari tingkat nasional sampai tingkat kabupaten, pembinaan sepak bola usia muda yang dimulai di sekolah-sekolah dan klub-klub lokal, pendidikan berkelanjutan bagi ofisial lapangan, peningkatan standar profesionalisme pengelolaan klub dan ketegasan implementasi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan.

Kembali lagi ke rasa ‘sebal’ saya yang turut dipengaruhi oleh pemberitaan di media masa mengenai sepak terjang para pengurus PSSI yang terlihat jelas telah kehilangan dukungan dari masyarakat pada umumnya dan hanya disokong oleh segelintir orang anggota PSSI yang memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan pengurus PSSI. Kegeraman saya terhadap pengurus PSSI antara lain disebabkan oleh beberapa skandal korupsi yang diduga melibatkan Ketua Umum PSSI yaitu kasus gula impor, kasus distribusi minyak goreng dan kasus impor beras Vietnam. Hanya dalam kasus yang terakhir, dia dinyatakan bersalah melakukan korupsi berdasarkan putusan Mahkamah Agung tertanggal 13 September 2007. Walaupun kemudian menjadi narapidana dan menetap di balik jeruji besi namun Nurdin Halid tak pernah lengser dari kursi Ketua Umum PSSI.

Lupakan pengunduran diri karena perasaan malu divonis bersalah melakukan korupsi, bahkan Standar Statuta FIFA dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia pun dilangkahinya dengan tetap menjabat sebagai Ketua Umum PSSI dan tidak ada yang mampu menghalanginya. Belakangan ini muncul lagi dugaan keterlibatan Nurdin Halid dalam kasus korupsi dana APBD untuk klub Persisam Samarinda dan kasus cek perjalanan untuk meloloskan Miranda Gultom menjadi Deputi Gubernur Bank Indonesia. Walaupun begitu, bukan bobrok-bobrok individu tersebut yang menjadi sumber kekesalan saya terhadap para pengurus PSSI, melainkan karena kepengurusan PSSI ini tidak sanggup menghadirkan suatu peningkatan kualitas (bukan prestasi) dalam iklim sepak bola di tanah air kita.

Akhir-akhir ini, marak terciptanya gerakan-gerakan suporter dan masyarakat yang berusaha mendorong revolusi di tubuh PSSI. Saat ini belasan kelompok suporter sedang melancarkan aksi demo di depan kantor pusat PSSI di depan Gelora Bung Karno menuntut para pengurus PSSI untuk turun. Konsolidasi gerakan ini menurut saya berpeluang mencapai tujuannya apabila di antara para pelaku dan simpatisannya ada kesatuan visi, koordinasi yang jelas dan tentu saja semangat perjuangan (mencontoh gerakan revolusi yang sedang terjadi di negara-negara Afrika Utara dan Timur Tengah).

Berikut ini saya ingin menyumbang saran untuk mewujudkan pembaharauan di tubuh PSSI, yakni usulan mengenai langkah-langkah hukum yang dapat ditempuh segenap masyarakat pecinta sepakbola Indonesia untuk mendesak penggantian kepengurusan PSSI yang sekarang dengan kepengurusan baru yang membawa harapan perbaikan.

Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah mengirimkan surat terbuka kepada FIFA sebagai organisasi induk sepak bola dunia yang anggotanya merupakan asosiasi-asosiasi sepakbola nasional dan konfederasi-konfederasi sepakbola regional. Surat terbuka ini berisikan pelanggaran-pelanggaran terhadap Standar Statuta FIFA dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang dilakukan pengurus PSSI. Statuta PSSI yang berlaku saat ini sangat sulit didapat, bahkan yang terdapat dalam situs web PSSI pun merupakan Statuta lama (tahun 2004) yang sudah tidak berlaku lagi.

Sekedar mengingatkan, tahun 2008 lalu FIFA sempat mengancam membekukan PSSI dari keanggotaannya karena PSSI belum bersedia menyesuaikan statutanya segaris dengan Standar Statuta FIFA yang berlaku. Dibayangi ancaman tersebut, akhirnya pengurus PSSI tunduk dan mengirimkan Statuta PSSI (versi bahasa Inggris) yang sesuai dengan Standar Statuta FIFA. Yang tidak diketahui FIFA adalah bahwa versi bahasa Indonesia dari penyesuaian Statuta PSSI mengandung interpretasi yang menyimpang dari Standar Statuta FIFA yang berlaku sehingga menjustifikasi organisasi sepakbola di negeri kita dapat dipimpin oleh seorang (mantan) narapidana kasus korupsi.

Disebutkan dalam Pasal 32 ayat 4 Standar Statuta FIFA: "The members of the Executive Committee...They shall have already been active in football, must not have been previously found guilty of a criminal offence..." Artinya, anggota Komite Eksekutif tidak boleh pernah dinyatakan bersalah atas tindakan kriminal. Dalam Pasal 35 ayat 4 Statuta PSSI (versi bahasa Indonesia) yang berlaku, telah dihapuskan 3 kata dari standar kalimat di atas yaitu bagian “have been previously, sehingga kalimatnya diartikan oleh pengurus PSSI sebagai ”tidak sedang dinyatakan bersalah atas tindakan kriminal pada saat kongres. Dengan demikian, penerjemahan yang salah itu melonggarkan jalan Nurdin Halid untuk dipilih kembali menjadi Ketua Umum PSSI.

Sementara itu, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan Pasal 123 Ayat (2) menyebutkan bahwa "Dalam hal ketua umum induk organisasi cabang olahraga atau induk organisasi olahraga fungsional berhalangan tetap dan/atau menjalani pidana penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, ketua umum induk organisasi wajib diganti melalui forum tertinggi organisasi sesuai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga." Hal ini juga tidak dilaksanakan oleh PSSI setelah Nurdin Halid dinyatakan bersalah melakukan korupsi dalam kasus impor beras Vietnam.

Surat terbuka hendaknya mengatasnamakan segenap masyarakat sepakbola Indonesia disertai lampiran tanda tangan oleh semua yang menaruh simpati atas upaya pembaharuan di tubuh induk organisasi sepakbola nasional kita. Saya berharap tidak ada campur tangan Pemerintah dalam aksi ini karena hal tersebut malah dapat menjadi kontra produktif dengan kemungkinan penjatuhan sanksi dari FIFA.

Sebagai langkah kedua, klub-klub sepakbola yang bernaung di bawah PSSI dapat mengundurkan diri dari induk organisasi sepakbola tersebut dan bersama-sama dengan klub-klub sepakbola yang bertanding di Liga Primer Indonesia (LPI) maupun klub-klub sepakbola amatir lainya mendeklarasikan dan membentuk asosiasi sepakbola baru. Berdasarkan Pasal 35 Jo. Pasal 75 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, masyarakat diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam pengembangan keolahragaan dan masyarakat dapat membentuk induk organisasi olahraga. Tidak ada aturan nasional yang melarang dibuatnya organisasi olahraga baru untuk cabang olahraga yang sudah memiliki induk organisasi olahraga.

Memang aturan dalam Statuta FIFA hanya mengakui 1 asosiasi sepakbola untuk masing-masing negara, namun tidak ada salahnya bagi asosiasi sepakbola baru untuk mengajukan aplikasi kepada FIFA sesuai dengan Regulations Governing the Admission of Associations to FIFA dan melakukan pemilihan pengurus-pengurus baru serta komite-komite penunjang baru sesuai dengan FIFA Standard Electoral Code. Saya percaya apabila dukungan segenap masyarakat sepakbola tanah air mengalir kepada asosiasi sepakbola yang baru dan sepanjang proses pembentukannya dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku baik nasional maupun internasional maka cepat atau lambat asosiasi yang baru dibentuk akan mendapat pengakuannya dari FIFA menggantikan PSSI.

Karena itu, marilah kita semua masyarakat sepakbola Indonesia turun “kaki” dan ikut andil dalam penyelamatan sepakbola nasional. Mari kita dukung perubahan menyeluruh dalam kepengurusan PSSI atau bersama-sama membentuk asosiasi sepakbola baru bila tidak ingin “Sepakbola” di negeri kita berubah nama menjadi “Sepak Nurdin”. (Biarkan PSSI saja yang menjadi induk organisasi olahraga “Sepak Nurdin”).

*Penulis adalah advokat dan pemerhati sepak bola.

Thursday 17 February 2011

Makara

oleh: Irfan Hutagalung

Pernahkah Anda membayangkan bagaimana lembaga pemerintah menyeleksi usulan RUU yang masuk dari lembaga pemerintah lainnya? (Kalo belum coba deh bayangkan sebentar!) Salah satu direktorat di Bappenas yang dari namanya kita tahu adalah badan pemerintah yang tugas pokoknya menyiapkan perencanaan dan pendanaan pembangunan nasional, kebagian tugas untuk melakukan ini. Bagian itu namanya Direktorat Analisis Peraturan Perundang-undangan (DAPP). Dibandingkan dengan umur sejawatnya, direktorat yang jadi semacam rumah sortir tadi masih muda. Untuk itu mereka sedang merancang suatu model yang akan dijadikan instrumen analisis dalam melakukan fungsi clearing house RUU dimaksud.

PSHK dengan senang hati memenuhi undangan mereka untuk mengkritisi prototipe apa yang mereka sebut sebagai Model Analisis Kerangka Regulasi (Makara). Singkatannya keren ya. Dan tidak sampai di situ, setelah menyampaikan kritisi dan usulan perbaikan, PSHK juga langsung mempraktekkan model tadi untuk suatu RUU dalam suatu simulasi yang menarik.

Sebelum bercerita lebih jauh tentang Makara dan pelajaran singkat dari simulasi, baiknya kita mundur dulu ke belakang guna memberi konteks mengapa Makara ini jadi penting. Mari kita mulai dengan pertanyaan ini: Mengapa (R)UU harus dibuat? Jawabannya tentu panjang dan lebar ya. Jawaban yang panjang dan lebar tadi berimplikasi pada -nah ini dia- banyaknya usulan RUU yang dibuat dan diusulkan untuk dijadikan RUU (milik pemerintah) yang jika tiba waktunya akan diajukan ke DPR untuk dibahas dan kemudian dijadikan UU. Akankah semua usulan RUU dalam satu kurun waktu tertentu akan langsung jadi RUU? Jika tidak mengapa usulan RUU tereliminasi menjadi RUU dan mengapa yang lain tidak? Saya percaya pertanyaan ini pun punya jawaban panjang dan lebar. Tapi, bagi DAPP -dan PSHK mendukung- jawabannya harus singkat, tepat, jelas, dan ini yang paling penting: objektif. That is Makara. In short, terelimisasi tidaknya suatu usulan RUU (setidaknya usulan RUU yang masuk ke Bappenas) ditentukan oleh eligibilitas tidaknyanya usulan RUU itu terhadap Makara.

Lalu, apa isi Makara ini? Temukan jawabanya yang panjang dan lebar pada tulisan berikutnya.