Monday 21 March 2011

LAWmotion: Hukum yang Bergerak

Kabar gembira!

Ada satu lagi inovasi untuk membumikan isu hukum ke tengah publik. Tujuan utamanya tentu saja supaya apa yang ada di dalam teks peraturan, yang dibicarakan oleh anggota dewan dan pemerintah, serta apa yang bisa kita lakukan sebagai rakyat, bisa dengan mudah dipahami oleh segala lapisan masyarakat.

Inovasi yang baru diluncurkan akhir pekan lalu ini kami beri nama LAWmotion. Melalui LAWmotion, kami persembahkan cara presentasi kreatif yang mudah untuk dibagi dan dipahami. Kami yakin, isu hukum dapat diceritakan dengan menyenangkan. Untuk itu, teks dan gambar yang kami padukan dalam sebuah video kami pilih sebagai media untuk menyampaikan hal-hal penting terkait hukum.

Di peluncuran perdananya, kami menyajikan dua isu hukum yang sedang ramai dibicarakan masyarakat, dan tentu saja penting. Isu yang pertama terkait wacana pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas), sementara isu kedua bicara soal sekilas kinerja DPR selama 2010. Lebih lengkapnya, silahkan langsung klik "Membubarkan Ormas" dan "Kinerja DPR 2010", atau klik video LAWmotion di sisi kanan halaman blog ini.

Selamat bergembira! :-D

Friday 11 March 2011

Makara - Bagian ke-2

Oleh: Irfan Hutagalung

Jadi, menyambung cerita yang pada tulisan sebelumnya, Makara adalah instrumen analisis yang digunakan untuk penilaian awal terhadap ‘kelayakan’ suatu RUU yang diusulkan oleh kementrian atau lembaga (K/L). Jika suatu RUU sudah lulus dalam uji Makara ini maka RUU dimaksud layak untuk diterus kan prosesnya ke tahapan berikutnya, yakni dimasukkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Setelah itu RUU dimaksud menurut tahapannya akan muncul dalam usulan pemerintah untuk Program Legislasi Nasional.

Apa sajakah isi dari instrumen uji Makara itu?

Pertama, untuk dapat dinilai sebagai suatu RUU yang layak, RUU dimaksud harus berlegitimasi yuridis. Ini untuk menjawab pertanyaan apakah calon UU itu punya dasar untuk dilahirkan. Dasar yuridis ini adalah apakah cikal bakal UU itu diperintahkan kelahirannya oleh UUD 1945 atau tidak?; dimintakan kelahirannya oleh UU apa bukan?; diharuskan keberadaannya oleh putusan Mahkamah Konstitusi atau tidak?; atau apakah benih RUU itu dibuat guna meratifikasi perjanjian internasionalkah?

Kedua, ini berhubungan dengan nature dan portofolio dan job desc-nya Bappenas yakni, apakah muatan RUU itu berkesesuaian atau tidak dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah ?; Lalu apakah isinya sejalan jugakah dengan Prioritas Nasional?

Ketiga, Adakah dasar kebutuhan/permasalahan sosial yang hendak diselesaikan dengan dan tidak ada cara lain selain UU?

Keempat, ini berkaitan dengan dampak RUU dimaksud bagi keuangan negara. Apakah RUU itu membawa inflow atau outflow baik langsung atau tidak ke keuangan negara? Contoh dari sisi pemasukan negara misalnya apakah RUU itu menarik pajak, bea, fee, atau bentuk lain. Dari sisi pengeluaran negara seperti apakah RUU itu menambah beban terhadap belanja rutin pemerintah?

Kelima, bagian ini menilai bagaimana pengaruh RUU bagi pembangunan nasional secara umum. Ini seperti pada aspek sosial-ekonomi masyarakat secara umum, lingkungan hidup, perempuan, hak asasi manusia, kelompok rentan, otonomi daerah, dan pelayanan publik.

RUU yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan nilai positif yang akan diproses pada jenjang berikutnya. Nilai positif? Ya, masing-masing jawaban RUU terhadap pertanyaan di atas diberi nilai. Secara sederhana dapatlah dikatakan semakin besar nilainya semakin bagus RUU. RUU yang dinilai kurang akan diperbaiki dan secara umum bisa tidak ditindaklanjuti ke proses berikutnya.

Tentu komponen analisis diatas bukanlah satu-satunya kelompok komponen yang akan menentukan mati hidupnya janin RUU. Tapi setidaknya untuk penilaian awal, instrumen di atas cukup membantu penilai dari Bappenas dalam menganalisis kelayakan awal suatu RUU.

Thursday 10 March 2011

Tawaran yang Tidak Baru? Next!

Oleh: Gita Putri Damayana

Membaca tulisan Anto Sangaji di sini tentang kapitalisme dan ruang publik, tak pelak cetusan pertama yang terlontar adalah: “adakah yang baru?Apa yang baru dari argumentasi Chalid Muhammad (yang dikutip Anto Sangaji) bahwa “Negara menjadi jongos korporasi”? Pertanyaan berikutnya adalah, model (lagi-lagi) macam apakah yang patut menjadi percontohan dalam dekonstruksi relasi Negara-korporasi?

Baiklah, bila harus memberi contoh. Mengingat argumentasi yang dibangun Bung Anto berkutat pada penolakan pada neoliberalisme secara ideologis, ada baiknya kita memeriksa percobaan macam apakah yang pernah dilakukan untuk menyangkal. Kita tengok Venezuela. Percobaan yang dilakukan Chavez mengelola sumber daya alamnya di Venezuela, meski berbeda skala agresivitasnya, ternyata tidak berbeda dengan praktek serupa di Timur Tengah (luar biasa panjang).

Ok, bisa disangkal dengan, “bukan etatisme yang kami tawarkan tapi kritik terhadap kapitalisme itu sendiri”. Baiklah. Tapi mari kita mencoba lebih teliti sedikit.

Dalam tulisan tersebut, Bung Anto Sangaji menolak opsi Chalid Muhammad tentang “perilaku korporasi bisa diatur dengan regulasi” karena merupakan “cermin gagasan reformasi” patut dikritik dengan keras. Apabila Bung Anto berpikir bahwa Negara mampu memberikan tafsir ulang atas kebijakannya yang diyakini neolib, maka kepercayaan tersebut kemudian dinegasikan dengan menyebutkan perilaku korporasi tidak bisa diatur oleh Negara, sekali lagi karena “cermin gagasan reformis”.

Jadi tawarannya, sekali lagi, apa? Agar Negara Leviathan itu berubah? Saya sangsi dengan segala inisiatif yang bertujuan mengubah Negara yang berasal dari Negara itu sendiri, apalagi yang sifatnya ideologis. Adapun yang paling realisitis adalah memberikan amunisi pada masyarakat sipil dalam memperkuat posisi tawarnya ketika berhadapan dengan Negara.

Catatan:

Pembahasan mengenai penguasaan ruang publik oleh kapitalisme sangat menarik. Dalam posting berikutnya.