Thursday 28 April 2011

Mendialogkan HAM dalam Perancangan Undang-Undang

Oleh: Giri Ahmad Taufik

Pasca-Perang Dunia II, gagasan constitutionalism telah menyebar secara cepat dan masif ke seantero dunia. Hampir 2/3 dari penduduk dunia saat ini, setidaknya secara nominal, hidup di bawah gagasan besar constitutionalism. Setidaknya terdapat tiga pilar utama dari gagasan constitutionalism, yakni, pemisahan kekuasaan, kekuasaan yang saling mengawasi dan mengimbangi, serta perlindungan hak-hak asasi manusia.

Salah satu bentuk implementasi dari gagasan constitutionalism dalam hukum, ialah berperannya institusi pengadilan di dalam melakukan dinamika ‘pembuatan’ undang-undang sebagai institusi kontrol, melalui mekanisme hak uji pengadilan (judicial review). Peran pengadilan ini menjadi mekanisme penting untuk menilai sejauh mana sebuah undang-undang berselaras dengan hak-hak asasi manusia yang dipositifkan ke dalam konstitusi.

Hak Uji Pengadilan Yang Problematik

Gagasan constitutionalism, terutama dalam hak uji pengadilan, merupakan sebuah gagasan yang kontroversial. Bahkan, di banyak negara-negara yang mapan demokrasinya, terutama negara-negara Anglo-Saxon, memberikan kewenangan bagi pengadilan untuk melakukan koreksi terhadap keputusan parlemen adalah problematik. Kanada sebagai contoh, baru pada tahun 1982 memberikan kewenangan bagi pengadilannya untuk melakukan hak uji, yang kemudian diikuti oleh Inggris pada tahun 1998, kemudian diikuti oleh beberapa negara bagian (states) Australia namun ditolak oleh pemerintah federalnya.

Bagi negara-negara Anglo-Saxon, yang memiliki tradisi sistem pemerintahan parlementer yang kuat, memberikan pengadilan kewenangan untuk mengoreksi keputusan parlemen merupakan pengkhianatan terhadap tradisi parlementer. Sistem parlementer memposisikan parlemen sebagai kekuasaan omnipotent yang tidak dapat diganggu gugat kecuali oleh parlemen itu sendiri. Selain itu, menyerahkan sebagian kekuasaan legislasi pada segelinitir orang merupakan sebuah bentuk defisit demokrasi.

Kedua argumen tersebut begitu kuat sehingga memperlambat proses pengadopsian hak uji pengadilan di negara-negara tersebut. Namun demikian, untuk menjustifikasi keberadaan hak uji pengadilan, ahli politik dan hukum di negara-negara itu, melakukan rasionalisasi terhadap hak uji pengadilan, bahwa ‘campur tangan’ pengadilan dalam proses legislasi merupakan sebuah bentuk dialog antarkekuasaan yang dapat memajukan perlindungan hak-hak asasi manusia. Hak uji pengadilan tidak perlu dipandang sebagai pelemahan parlemen atau bentuk defisit demokrasi, melainkan sebuah mekanisme yang dapat menciptakan ruang bagi diskursus/dialog HAM di dalam perancangan sebuah undang-undang.

Dialog HAM dalam Konteks Indonesia

Dalam konteks Indonesia, diskursus HAM dalam perancangan undang-undang sangatlah potensial untuk dilakukan dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi. Keberadaan MK sebagai lembaga pengoreksi undang-undang, memiliki nilai strategis dalam mendialogkan HAM. Namun, dialog HAM dalam proses pembuatan undang-undang belum berjalan optimal. Dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis, dalam kurun waktu 2003-2011 (11 Maret 2011), terdapat 283 putusan pengujian undang-undang, di mana hampir 60%-nya merupakan perkara yang terkait atau setidaknya menggunakan argumentasi HAM.

Walaupun belum ada penelitian lebih lanjut mengenai tingkat kesuksesan penggunaan argumentasi hak dalam membatalkan undang-undang, tetapi hal itu mengindikasikan bahwa terdapat peningkatan kesadaran masyarakat atas perlunya perlindungan dan penghormatan HAM oleh pemerintah. Masyarakat melihat keberadaan MK sebagai institusi yang strategis menyuarkan aspirasi mereka terkait HAM. Oleh karenanya, keberadaan MK dapat dijadikan sebuah bentuk insentif untuk menginisiasi dialog di dalam perumusan undang-undang pada saat sesi-sesi, baik di parlemen maupun pemerintah.

Dialog mengenai HAM sangatlah bermanfaat ditilik dari pengembangan perlindungan dan penghormatan HAM di suatu negara. Hal ini dikarenakan pengembangan HAM memiliki karakter yang evolutif dan gradual. Dalam proses yang evolutif dan gradual, dialog merupakan kunci terpenting dalam mendorong perkembangan progresif sebuah gagasan.

Dalam perancangan undang-undang, hal yang perlu dilakukan untuk menginisiasi dialog HAM ialah dengan memasukkan poin keselarasan HAM ke dalam naskah akademik suatu undang-undang sebagai poin wajib. Seperti kita ketahui, naskah akademik suatu undang-undang setidaknya harus memuat tiga poin wajib, yakni, poin urgensi pengaturan, poin ruang lingkup pengaturan dan poin cara pengaturan. Dengan penambahan poin keselarasan HAM, hal ini setidaknya dapat memicu perdebatan di dalam proses pembuatan undang-undang tersebut. Dengan demikian, diharapkan dapat berkontribusi terhadap penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.

Monday 25 April 2011

Inflasi Tindak Pidana

Oleh: Giri Ahmad Taufik

Pada masa awal reformasi (1998-2000), salah satu pakar hukum tata negara Indonesia mengemukakan kekhawatirannya terhadap banyaknya jumlah undang-undang yang diproduksi oleh lembaga legislatif. Kekhwatiran timbul dikarenakan perencanaan yang tidak matang, sehingga dikhawatirkan produksi undang-undang melebihi apa yang dibutuhkan oleh masyarakat (Inflasi undang-undang). Kekhawatiran pakar hukum tata negara tersebut cukup beralasan, mengingat memproduksi suatu undang-undang dalam waktu yang singkat akan menimbulkan persoalan mengenai kualitas dari pengaturan undang-undang tersebut.

Pada saat ini, keresahan yang sama juga melanda penulis ketika melakukan penelitian mengenai jumlah undang-undang yang memuat tindak pidana di Indonesia. Dalam kurun waktu 14 tahun, tercatat terdapat 43 undang-undang yang memuat ragam tindak pidana di luar KUHP (Pidana Khusus). Jika ditilik dari dari kuantitas, mungkin sebagian dari kita akan menganggap bahwa hal tersebut tidaklah terlalu signifikan. Namun, jika dilihat lebih dalam lagi, terdapat dua kekhawatiran dengan kuantitas tindak pidana yang demikian. Hal ini terkait dengan infrastruktur penegakan hukum dan kulitas rumusan delik dari undang-undang tersebut.

Infrastruktur Penegakan Hukum

Infrasturktur penegakan hukum merupakan faktor penting dalam menegakkan suatu norma hukum apapun. Infrastruktur penegakan hukum ini meliputi, pengadilan, kejaksaan, kepolisian, dan aparat pemerintahan lainnya. Terkait dengan persoalan di atas, persoalan yang timbul adalah sejauh mana sumber daya infrasturktur penegakan hukum Indonesia mampu mengembang 43 pidana khusus ditambah dengan tindak pidana KUHP. Tentu untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan sebuah penelitian yang mendalam. Namun penulis memiliki hipotesis bahwa, sumber daya penegak hukum konvensional tidaklah memadai. Kepolisian misalnya, dengan spesialisasi keahlian yang terbatas, harus menangani tindak pidana non-KUHP. Secara kuantitas, 43 pidana khusus ditambah tindak pidana KUHP dengan penegakan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), memberikan beban yang besar bagi kepolisian dalam melaksanakan tugasnya.

Tentu persoalan di atas sangatlah disadari oleh pembentuk undang-undang. Untuk mengatasi persoalan persoalan tersebut, dibuatlah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang berasal dari domain sektor tindak pidana tersebut. Justru hal ini menimbulkan persoalan, dalam iklim pemerintahan yang tidak bersih, hal ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Kekuasaan di bidang pidana, merupakan kekuasaan besar yang sangat potensial untuk melakukan tindakan pemerasan dan pelecehan oleh aparat pemerintahan. Sehingga, keberadaan PPNS akan menyebabkan penyebaran penyalahgunaan kekuasaan.

Kualitas Rumusan Delik

Persoalan kedua, hal ini terkait dengan kualitas rumusan delik. Merumuskan sebuah perbuatan pidana bukanlah perkara mudah dan tidak seharusnya dimudahkan. Terdapat satu syarat penting di dalam perumusan sebuah tindak pidana, yakni prinsip lex certa. Prinsip lex certa mengisyaratkan bahwa sebuah rumusan tindak pidana harus dirumuskan secara pasti dengan kualifikasi yang jelas dan sebisa mungkin menghilangkan ruang tafsir yang terlalu bebas bagi pelaksana undang-undang maupun masyarakat umum. Pemenuhan prinsip lex certa dalam sebuah perumusan tindak pidana adalah mutlak, mengingat pemidanaan seringkali menimbulkan penderitaan mental dan fisik bagi orang yang dihukum. Hal ini merupakan bagian terpenting dalam proses hukum yang wajar dan layak dalam sebuah sistem pemidanaan.

Hal yang patut dicatat adalah seringkali rumusan pemidanaan yang dibuat seringkali tidak memenuhi prinsip lex certa. Kita sangat paham betul berbagai undang-undang kontroversial, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau UU Pornografi, telah menimbulkan polemik yang luar biasa. Pada tataran pelaksanaan, undang-undang tersebut telah menjadi instrumen represif dibandingkan untuk melindungi kebebasan, keamanaan, dan kententraman masyarakat.

Rumusan yang ambigu dan cenderung lentur, acap kali menyebabkan digunakannya pidana khusus secara sembarangan. Pada tataran praktek, seringkali seorang tersangka dipidanakan menggunakan 4 undang-undang yang berbeda sekaligus. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran bagi kita semua, bagaimana dengan gampangnya seorang aparat hukum, mencari-cari kesalahan masyarakat dengan menggunakan undang-undang yang lentur dan ambigu tersebut.

Selain prinsip lex certa, ancaman pemidanaan hendaknya juga digunakan secara hati-hati dan proposional. Dalam perancangan suatu ketentuan hukum, hendaknya ancaman pidana merupakan instrumen terakhir yang digunakan sesudah instrumen hukum lainnya, i.e, administrasi. Ketidakproporsional dari penggunaan ancaman pidana misalnya dapat terlihat dari UU Keimigrasian yang baru disahkan. Dalam undang-undang tersebut, dapat dilihat bagaimana sebuah kesalahan yang sifatnya administratif, tidak melaporkan orang asing, dipidana dengan ancaman pidana penjara dan denda yang substansial.

Berangkat dari pemaparan di atas, ada baiknya jika kita melihat lebih dekat dan secara lebih kritis untuk menilai perlu atau tidaknya sebuah undang-undang ataupun peraturan daerah dapat mengandung ancaman pidana. Inflasi tindak pidana jika tidak, dalam jangka panjang negeri ini akan dibanjiri oleh ancaman hukum pidana, dan pada saat itu terjadi kebebasan kita sebagai individu akan hilang.

Tuesday 12 April 2011

Sanksi dalam Peraturan Daerah

Oleh: Irfan R. Hutagalung

Paper ini memuat ringkas aspek-aspek konseptual dan teknis menyangkut pemuatan sanksi di dalam peraturan daerah (perda). Dibuka dengan argumen ringkas tentang diperlukannya ketentuan sanksi disusul dengan panduan bagaimana menentukan kejahatan. Disebutkan pada bagian berikutnya bahwa aspek non hukum harus sangat diperhatikan dalam menentukan sanksi dimaksud. Selanjutnya soal penghukuman (punishment) yang mengacu pada ketentuan undang-undang yang berlaku disebutkan pada dua bagian terakhir paper ini, sebelum ditutup dengan kalimat perundang-undangan tentang menuliskan aturan sanksi di dalam batang tubuh perda.

A. Mengapa Perlu Menentukan Sanksi

Undang-undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menentukan bahwa perda, sebagaimana halnya undang-undang, dapat memuat ketentuan sanksi berupa pidana kurungan, denda, dan administratif. Kemudian, Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Pasal 143, secara spesifik mengatur batasan otoritas perda dalam menentukan besaran atau jumlah sanksi yang dapat diberikan untuk dua jenis sanksi yang disebut pertama. Dua ketentuan dasar ini membawa ke suatu pertanyaan pokok sebelum sampai ke pembahasan yang lebih spesifik tentang sanksi: Mengapa ketentuan sanksi dan penghukuman baik itu pidana pokok maupun pidana tambahan diperlukan dalam suatu peraturan perundang-undangan (dalam hal ini peraturan daerah)?

Terlepas luasnya dan beragamnya pemahaman fungsi hukum (tertulis) dan perundang dalam suatu negara, salah satu fungsi hukum yang lajim diterima secara luas adalah bahwa seperangkat norma itu merupakan instrumen untuk mengarahkan seperangkat perilaku individu atau kelompok masyarakat untuk suatu tujuan tertentu. Konsekuensi dari upaya mencapai tujuan spesifik tadi, negara lewat organ tertentu yang dimilikinya, perlu memastikan bahwa seperangkat perilaku dimaksud termaterialisasi (terimplementasi). Salah satu upaya untuk memastikan terselenggaranya hal ini dilakukan dengan menetapkan sanksi bagi siapa saja yang tidak berperilaku sebagaimana ditentukan.

Namun, perlu segera ditegaskan di sini bahwa upaya memastikan terimplementasinya serangkaian perilaku yang diinginkan oleh perundang-undangan, tidak selamanya harus dilakukan dengan penentuan sanksi. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dan diperhatikan dalam memastikan agar pihak-pihak yang diperintahkan untuk berperilaku tertentu mau bertindak sebagaimana diinginkan oleh perundang-undangan. Hal ini akan dibahas kembali pada bagian C di bawah.

B. Menentukan Kejahatan (Pelanggaran)

Dalam menentukan sanksi, sesungguhnya telah termuat terlebih dahulu tindakan penentuan perbuatan (baik itu commission ataupun ommission) yang dilarang. Dengan kata lain, penentuan sanksi terjadi setelah terlebih dahulu ditentukan mana perbuatan yang dimasukkan sebagai kejahatan (pelanggaran) dan mana yang bukan. Tindakan ini lajim disebut kriminalisasi. Menentukan apa perbuatan yang dilarang adalah satu tindakan sentral dalam pemuatan aturan sanksi dalam peraturan perundang-undangan termasuk perda.

Pada prinsipnya, ada dua macam kejahatan: Mala in se dan Mala prohibitum. Mala in se adalah kejahatan yang karena nature-nya dinilai selamanya sebagai kejahatan. Mala in Prohibitum adalah suatu kejahatan yang oleh suatu keputusan -lewat perundang-undangan- dinyatakan sebagai kejahatan. Kejahatan yang ditentukan dalam perda seharusnya dan pada prinsipnya adalah kejahatan jenis kedua ini. Sementara kejahatan yang disebut pertama pada dasarnya telah dimuat dalam KUHP termasuk sebagian pada ketentuan-ketentuan pidana lainnya dalam beragam undang-undang. Bahkan, sebelum asas legalitas muncul, kejahatan ini telah dilarang dalam hukum tak tertulis.

Persoalan penting yang harus dijawab oleh perancang dan kemudian oleh legislature sebelum menuliskan dan memutuskan pasal-pasal tentang sanksi adalah menentukan mana perbuatan yang dilarang (crime) dan mana yang bukan. Lalu menentukan jenis hukuman ketika perbuatan terlarang itu dilakukan.

Tidak mungkin menentukan dengan pasti dan rigit atau membuat semacam daftar perbuatan yang harus disebut sebagai kejahatan di dalam perda. Namum beberapa panduan dapat disampaikan di sini.

1. Mengingat Ruang Lingkup Materi Muatan Perda.

Undang-undang 10 tahun 2004 dan UU No 32 tahun 2004 telah menentukan ruang lingkup materi muatan perda. Pasal 12 UU No.10/2004 menyebutkan:

Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Atas dasar ini, menentukan perbuatan yang dilarang harus berkesesuaian dengan norma perda secara keseluruhan sebagai bagian dari penyelenggaraan otonomi daerah, tugas perbantuan, penjabaran lebih lanjut peraturan perundangan di atasnya, atau menampung kondisi khusus daerah.

2. Mengingat Prinsip Hirarki Perundang-undangan

Menurut dengan prinsip hirarki perundang-undangan dan senapas dengan poin pertamadi atas, perda tidak boleh mengatur kembali ketentuan pidana yang sama atau mengatur suatu jenis kejahatan yang bertentangan dengan ketentuan yang diatur oleh UU. Termasuk juga jenis sanksinya. Menuangkan ketentuan sanksi yang bertententangan dengan ketentuan di atasnya lajim dikenal sebagai ultra vires

3. Pastikan Menentukan Kejahatan Baru

Seperti telah disebut di atas, cakupan kejahatan yang dapat dimuat dalam perda adalah kejahatan (pelanggaran menurut istilah KUHP) mala prohibitum. Dan mengingat bahwa kejahatan (mala in se) sudah dimuat di dalam KUHP dan UU lain, maka perda tentu tidak boleh menyebut atau mengatur ulang kejahatan-kejahatan yang sudah ditentukan di dalam perundang-undangan dimaksud. Hal ini membawa konsekuensi bahwa perda harus menentukan kejahatan baru di luar yang telah diatur oleh UU sembari mengingat poin (1) dan (2) di atas.

(Latihan: Periksalah ketentuan pidana Perda Kabupaten Serang No.5 Tahun 2006 Tentang Penanggulan Penanggulan Penyakit Masyarakat, apakah telah lulus tes tiga kategori di atas).

C. Pertimbangan Non-Hukum

Dalam perancangan perundang-undangan termasuk perda, pertimbangan dalam menentukan perlu tidaknya membuat ketentuan sanksi tidak semata-mata menyangkut aspek yuridis. Pertimbangan yang paling menonjol seringkali justru pada aspek non hukum.

Individu maupun kelompok dalam memutuskan bersedia mengikuti apa yang diperintahkan dan dilarang oleh ketentuan perundang-undangan, tidak semata-mata karena faktor ada tidaknya ancaman hukuman yang menyertai larangan atau perintah dimaksud. Oleh karena itu, sebelum menentukan ancaman hukuman atas perbuatan tertentu, pastikan untuk menjawab terlebih dahulu pertanyaan berikut:

Mengutip Seidmans, “Mengapa orang berperilaku sedemikian rupa di hadapan hukum?” (why do people behave as they do in front of law).

Orang berperilaku tertentu di hadapan hukum karena misalnya: aturannya membingungkan; ketiadaan atau kekurangan kemampuan; adanya kepentingan tertentu; terbukanya kesempatan atau peluang; atau katena menganut pandangan/kepercayaan/ideologi tertentu. Contoh: Perlukah dibuat ancaman pidana bagi para siswa atau orang tua yang tidak memenuhi ketentuan wajib belajar?

Jika pertanyaan di atas telah berhasil dijawab. Satu aspek lain yang perlu pula dilakukan sebelum menentukan perlu tidaknya membuat aturan sanksi adalah melakukan kajian analisis menyangkut biaya dan manfaat atas diaturnya ketentuan sanksi itu. Analisis biaya dan manfaat ini dapat disederhanakan lewat pertanyaan berikut: Siapkah organ pemerintah dan aparatnya untuk melakukan penegakan hukum?; Siapkah pemerintah daerah secara finansial membiayainya?; Jika biaya ekonomi dapat dihitung relatif akurat, bagaimana dengan biaya sosialnya? Lalu, sebandingkan biaya-biaya ini dengan manfaat ekonomi dan sosial yang akan didapat? Dengan melakukan kajian ini, persoalan seputar keefektivitasan ketentuan sanksi juga akan terjawab.

(Nilailah Keefektivitasan ketentuan sanksi Perda Provinsi DKI Jakarta No.2 tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemenaran Udara)

D. Menentukan Hukuman Atas Kejahatan

Setiap kejahatan membawa konsekuensi penghukuman. Pada prinsipnya setiap orang yang terbukti melakukan kejahatan dapat dihukum. Kata dapat pada kalimat ini tentu berarti bisa dihukum bisa juga tidak. Ini tergantung pada hal berikut: orang yang dipersalahkan dapat bertanggung-jawab; penghukuman bukan atas dasar kejahatan yang ditentukan berlaku setelah kejahatan itu dilakukan (retroactive). Juga seorang tidak dapat dihukum dua kali atas perbuatan kejahatan yang sama (double jeopardy).

Dua pandangan utama memberi justifikasi mengapa penghukuman harus dilakukan. Pertama, berangkat dari filsafat utilitarianism, penghukuman adalah untuk menimbulkan efek jera (deterrence effect) . Kedua penghukuman dibuat guna membalas kejahatan yang dilakukan (retributivism). Kedua pandangan ini dalam kenyataan praktik perundang-undangan tidak dalam posisi bersaing tetapi saling melengkapi. Walaupun demikian, belakangan mucul pula pandangan yang mengktitik dua pandangan dominan ini. Dua pandangan dimaksud dinilai kurang memperhatikan aspek rehabilitasi terutama bagi korban kejahatan yang masif dan sistematis seperti kejahatan hak asasi manusia yang berat.

Pertanyaan yang lebih mendesak untuk dijawab kemudian adalah kadar dan jenis hukuman apa yang patut dikenakan pada pelaku perbuatan yang dilarang?

Pertanyaan yang sesungguhnya sulit dijawab itu pada pokoknya telah tersedia jawabnya di UU No. 32/2004. Pasal 143 UU itu menyebutkan:

(1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundangan.

(2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(3) Perda dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya.

Dari ketentuan ini, terlihat dua jenis pidana yang lajim dikenal yakni pidana kurungan dan pidana denda sebagai pidana pokok dan sekaligus menentukan semacam pidana tambahan berupa ‘biaya paksaan penegakan hukum’. Namun, UU ini juga memungkinkan perda untuk menentukan pidana atau denda di luar yang disebutkan atas dasar perundang-undangan lain. (Perhatikan perda syariat di Aceh). Hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan ancaman hukuman di perda adalah sifat alternatif-perhatikan kata ‘atau’- dari ancaman yang diatur di dalam UU ini. Jangan membuat ancaman hukuman kumulatif dari dua jenis pidana pokok itu.

UU ini tidak menyebut soal sanksi administratif dan sanksi keperdataan. Walau demikian, perda dapat memuat hal itu. UU No 10/2004 memungkinkannya. Sanksi administratif dapat berupa pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya paksa polisional sementara sanksi keperdataan dapat berupa ganti kerugian (Lampiran UU No.10/2004)

Menyangkut tentang kadar berat ringannya hukuman, dalam praktik, legislature biasa merumuskan ketentuan hukuman maksimal. Lalu diserahkan kepada hakim untuk menentukan ringan/beratnya hukuman dalam rentang sampai pada batas maksimal itu.

E. Merumuskan Norma Sanksi Dalam Kalimat Perundang-undangan di Batang Tubuh Perda

Dalam Lampiran UU No. 10/2004, ditentukan beberapa pedoman yang patut diperhatikan dalam menyusun norma sanksi di dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan termasuk perda. Namun, hal tersebut tidak akan diulang di sini. Aspek yang tidak dimuat akan dimuatkan di bagian ini menyangkut sisi kalimat perundang-undangannya.

Untuk merumuskan ketentuan sanksi, harus diperhatikan perumusan unsur-unsur pidananya. Hal ini biasa disebut perumusan delik. Gunanya adalah untuk memastikan bahwa tindak pidana yang terpaksa dimuat (ingat pemidaan adalah ultimum remedium) harus menghindari munculnya tindakan sewenang-wenang negara dan aparaturnya terhadap individu (dalam kasus yang tertentu institusi juga).

Seperti diketahui pemidanaan adalah tindakan negara merampas kebebasan tubuh atau harta benda dan bahkan keduanya atas individu. Tindakan ini hanya dapat dibenarkan dengan dasar yang sah jika pihak yang dituduh telah melakukan pelanggaran perbuatan yang dilarang dapat dengan akurat dibuktikan. Untuk kepentingan ini perumusan delik menjadi sangat penting. Perumusan delik di perda banyak sekali mengabaikan aspek ini.

Pada dasarnya kejahatan dibentuk oleh dua unsur yakni: actus reus dan mens rea. Secara sederhana prase latin yang disebut pertama itu berarti perbuatan atau tindakan fisik lahiriah dan frase kedua berarti sikap atau keadaan mental dalam melakukan tindakan dimaksud. Misalnya untuk delik menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja. Dalam delik ini unsur actus reus-nya adalah adanya perbuatan (apapun itu) yang dilakukan sehingga menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Sedangkan mens rea-nya adalah unsur kesengajaan itu. Contoh mens rea yang lain seperti pada perumusan delik berikut ini: “karena kelalainnya….”, “… patut diketahuinya...”

Orang yang hilang ingatan misalnya dapat saja melakukan perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa rang lain, namun dia tidak dapat dipidana karena unsur mens rea-nya tidak terpenuhi. Walaupun demikian memang dimungkinkan tidak secara eksplisit menyebutkan unsur mens rea ini karena misalnya jika perbuatan dimaksud dapat terjadi hanya jika keadaan mentalnya juga ikut terlibat. Kejahatan korupsi misalnya.

Jadi, dalam merumuskan delik harus menyebutkan dengan jelas: pihak (seperti: barang siapa, setiap orang; perbuatan apa yang dilarang (seperti: membongkar muat barang di kawasan C Terminal); dan ancam hukumannya denda paling banyak Rp. 50.000.000.,

Maka hindari perumusan ketentuan pidana sebagai berikut: Pelanggaran terhadap ketentuan peraturan daerah ini diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan kurungan atau denda paling banyak Rp 50. 000.000., (l.ima puluh juta rupiah). (Pasal 46 Perda Kab. Pekalongan No. 3 Tahun 2008 Tentang Terrminal).

*Makalah ini disampaikan pada pelatihan legislative drafting yang diselenggarakan oleh PATTIRO, Jakarta, 15 April 2009.

Monday 11 April 2011

Legislative Drafting Training: Batch V


Setiap tahun, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) selalu mengadakan pelatihan perancangan perundang-undangan yang dibuka untuk umum atau yang biasa disebut dengan Legislative Drafting Training (LDT). Tahun ini, PSHK sudah mengadakan LDT untuk kelima kalinya. Tentu saja, selain LDT itu, PSHK telah memberikan banyak pelatihan serupa di tingkat daerah maupun nasional berdasarkan permintaan. Bahkan, tak jarang pula perusahaan berminat mengikutinya demi perbaikan aturan internalnya.

Metode pelatihan PSHK pun terus berkembang. Kali ini, PSHK mengusung context-based-legislation-method. Upaya pencapaian hasil berkualitas yang diperoleh dengan melihat kekuatan yang dimiliki secara kreatif.

Dalam waktu dekat, PSHK akan mengadakan LDT Batch V di Hotel Risata, Bali pada 2—6 Mei 2011. Pemilihan tempat bukan sembarang. Bali dipilih karena dapat memberikan suasana segar dan positif selama pelatihan sehingga mendukung proses pelatihan.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini, kami bermaksud mengajak Anda semua ataupun perwakilan dari lembaga/institusi Anda untuk turut serta dalam pelatihan tersebut. Informasi lengkap mengenai pelatihan dapat dilihat dan diunduh di sini. Jika masih ada pertanyaan, jangan ragu untuk menghubungi Diah Rahmawati (08174800076) atau Faizah Sururi (087886125251).

Sampai jumpa di Bali! :-D

Monday 4 April 2011

Tujuan Hukum adalah Penderitaan

Oleh: Amalia Puri Handayani

Hukum berasal dari bahasa Arab, yaitu huk’mun. Artinya adalah ‘menetapkan’. Penjelasan itu saya ambil dari Panduan Bantuan Hukum di Indonesia (2006). Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi 4 (2008), hukum didefinisikan sebagai berikut.

‘hu·kum n 1 peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; 2 undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; 3 patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu; 4 keputusan (pertimbangan) yg ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis;’.

Kemudian, hukum—sebagai lema[1]—dapat diturunkan menjadi beberapa sublema. Salah satunya adalah dengan menambahkan akhiran –an yang kemudian mengubah maknanya. Menurut KBBI edisi 4 2008, hukuman didefinisikan dengan ‘1 siksa dan sebagainya yang dikenakan kepada orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya; 2 keputusan yang dijatuhkan oleh hakim; 3 hasil atau akibat menghukum: dia yang berbuat, dia yang boleh ~;’.

Saya pun langsung tertarik dengan definisi hukuman yang pertama. Hukuman didefinisikan sebagai siksa. Namun, sebelum berlanjut ke arah sana, saya tuliskan kembali definisi dari sublema yang merupakan turunan dari hukum, yaitu menghukum. Definisi menghukum dalam KBBI edisi 4 adalah ‘1 menjatuhkan hukuman kepada; membiarkan orang menderita atau susah sebagai balasan atas pelanggaran yang telah dilakukannya: pemerintah selalu ~ orang yang bersalah; 2 mencela keras; sama sekali tidak membenarkan: semua orang ~ tindakan yang biadab itu;’.

Ketiga definisi tersebut sebenarnya menggugah saya. Adanya definisi terkait hukuman yang menyebutkan tentang siksa seolah menggambarkan bahwa hukum diberlakukan untuk menjunjung siksaan. Hal itu diperkuat dengan definisi menghukum yang menggambarkan subjek dibiarkan untuk menderita. Padahal, definisi hukum hanya menjelaskan mengenai peraturan, patokan, dan keputusan untuk mengatur pergaulan. Tidak ada definisi hukum yang menggambarkan bahwa ada penyiksaan dalam pemberlakuan hukum itu sendiri.

Sebenarnya, ketiga kata di atas semakin jelas perbedaannya ketika coba diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Inggris. Hukum diterjemahkan dengan ‘law’, hukuman diterjemahkan dengan ‘punishment’; dan menghukum diterjemahkan dengan ‘to punish’. Menurut saya, hukum mempunyai makna yang lebih bebas daripada hanya dikaitkan dengan punishment semata.

Seperti yang sudah saya katakan, pemberlakuan hukum tidak selalu dan tidak harus ditindaklanjuti dengan hukuman. Bahkan, sebaiknya, hukum dibuat agar tidak ada hukuman yang harus dilaksanakan. Hukuman bukan merupakan tujuan dari pembuatan hukum.

Meskipun demikian, para ahli hukum mengatakan tidak pernah menggunakan kata menghukum dalam kegiatan di bidangnya. Biasanya, kata yang digunakan adalah mengadili. Saya lebih setuju sebenarnya dengan kata itu karena definisinya adalah ‘memeriksa, menimbang, dan memutuskan (perkara, sengketa); menentukan mana yang benar (baik) dan mana yang salah (jahat): hakim ~ perkara pembunuhan’. Definisi itu menunjukkan bahwa subjek diposisikan netral; tidak harus dibiarkan untuk menerima siksaan.

Akan tetapi, masih banyak kata hukuman yang digunakan dalam peraturan. Contohnya adalah Undang-Undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dalam pasal 11, yaitu “Penyelenggara wajib memberikan hukuman kepada pelaksana yang melakukan pelanggaran ketentuan internal penyelenggara.” Sebenarnya, secara tidak langsung, pemberian hukuman juga membiarkan adanya pihak yang disiksa. Jadi, apakah arti hukuman dalam peraturan itu?

Bukan berarti saya setuju dengan penghapusan hukuman. Namun, hukuman yang dimaksud dalam pemberlakuan hukum sebaiknya tetap berorientasi pada keadilan. Mungkin, kita perlu memikirkan bersama-sama kata yang tepat untuk mewakili konsep itu. Sesuatu yang telah lama digunakan secara terus-menerus tidak menjamin kebenaran yang dikandung.

Saya percaya bahasa menggambarkan cara pandang penggunanya. Jadi, menurut saya, berdasarkan definisi-definisi tersebut, pembuatan dan pemberlakuan hukum di Indonesia berorientasi pada hukuman. Bahkan, berdasarkan definisinya, ada orientasi siksaan yang menimbulkan penderitaan dalam pemberlakuan hukum.



[1] Lema adalah entri di dalam kamus. Kemudian, kata turunannya disebut dengan sublema.