Tuesday 23 June 2009

Pengesahan RUU Pelayanan Publik: Awal yang Baik dengan Beberapa Catatan Penting

Siaran Pers Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3)

Pengesahan RUU Pelayanan Publik: Awal yang Baik dengan Beberapa Catatan Penting

Setelah melalui masa pembahasan hampir 4 tahun, RUU Pelayanan Publik akhirnya disahkan dalam sidang paripurna DPR pada hari ini, Selasa 23 Juni 2009. Tentu ini merupakan poin positif bagi DPR, terutama di tengah banyaknya kasus masyarakat yang belum memperoleh hak dasar dan perlakuan yang adil di bidang pelayanan publik. Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) yang sejak 2005 melakukan pemantauan dan advokasi terhadap RUU ini menyampaikan apresiasinya kepada DPR yang telah memenuhi janjinya untuk menyelesaikan pembahasan RUU ini, pada masa-masa terakhir jabatannya yang tinggal hitungan minggu.

Dua kriteria yang umumnya dijadikan dasar penilaian RUU adalah kualitas proses dan kualitas substansi RUU tersebut. Dari segi proses, RUU Pelayanan Publik merupakan salah satu contoh proses pembahasan peraturan perundang-undangan yang baik, dilihat dari prinsip partisipasi publik, keterbukaan dan transparansi. Dari segi substansi, bila dibandingkan dengan draft awal pada awal pembahasan, RUU Pelayanan Publik yang baru disahkan memiliki kemajuan progresif untuk beberapa substansi. Secara umum, beberapa gagasan penting yang didorong oleh MP3 telah diakomodasi dalam RUU Pelayanan Publik, yaitu paradigma pelayanan publik, partisipasi masyarakat, perlindungan terhadap kelompok rentan, mekanisme komplain dan sanksi. Meski sebagian besar sudah diakomodasi, MP3 masih ada beberapa catatan terhadap substansi tersebut. Berikut adalah Sikap dan catatan kritis MP3 terhadap UU Pelayanan Publik yang baru disahkan:

Catatan Proses Pembahasan RUU Pelayanan Publik
MP3 perlu memberikan apresiasi kepada PANSUS RUU Pelayanan Publik yang membuat keputusan politik untuk membuka setiap pembahasan, di mulai dari tingkat PANJA hingga TIMSIN sehingga pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dapat dilakukan secara intensif. Pembahasan RUU Pelayanan Publik merupakan pembahasan ketiga yang dilakukan secara terbuka, setelah UU Kewarganegaraan dan UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Harapan kami, hal ini merupakan preseden positif bagi setiap pembahasan legislasi di DPR agar dapat dilakukan secara terbuka untuk masyarakat umum.


Catatan Substansi RUU Pelayanan Publik

1. Paradigma RUU Pelayanan Publik

UU Pelayanan Publik dalam konsiderannya telah memasukkan UU No. 11 tahun 2005 mengenai Pengesahan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin posisi dan kedudukan masyarakat terhadap negara.

Poin positif lainnya adalah paradigma yang digunakan dalam UU Pelayanan Publik yang memandang bahwa pelayanan publik sebagai kegiatan yang dilakukan oleh penyelenggara berupa barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan pelayanan kepada masyarakatnya. Paradigma progresif ini diperkuat dengan memperluas ruang lingkup pelayanan barang, jasa, dan administratif kepada semua penyelenggara pelayanan publik, baik yang dibiayai oleh APBN/APBD maupun yang tidak dibiayai yang keberadaan penyelenggara tersebut adalah untuk menjalankan misi negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

2. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat untuk dapat terlibat aktif dalam pelayanan publik adalah sebuat bentuk pengakuan masyarakat sebagai subyek kebijakan, dan tidak lagi sebatas objek semata. Semangat ini dicantumkan pada pasal 20 yang mengatur mengenai standar pelayanan dan kewajiban untuk menyertakan masyarakat dan pihak terkait dalam menyusun dan menetapkan standar pelayanan. Sebagai tambahan, dalam hal pengawasan, masyarakat juga diberikan keleluasaan untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik dengan membentuk lembaga pengawas pelayanan publik.

3. Perlindungan terhadap Kelompok Rentan

UU Pelayanan Publik mengatur mengenai pelayanan khusus yang diberikan kepada anggota masyarakat tertentu yang mencakup penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil, anak-anak, korban bencana alam, dan korban bencana sosial. Pelayanan ini mencakup sarana, prasarana dan/atau fasilitas.

Ketentuan ini tentu hal yang baik mengingat banyaknya kelompok masyarakat rentan yang tidak dapat menggunakan sarana publik karena keterbatasan yang dimiliki. Namun, MP3 masih memiliki catatan pada bagian penjelasan dari pasal mengenai pelayanan khusus yang tidak secara lengkap menguraikan mengenai kelompok rentan. Kelompok masyarakat seperti masyarakat adat, suku terpencil, orang yang memiliki keterbatasan fisik tertentu, keluarga korban kekerasan merupakan contoh kelompok masyarakat yang belum dimasukkan dalam kategori kelompok masyarakat yang berhak mendapatkan perlakuan khusus di pelayanan publik.

4. Sanksi

Pasal-pasal yang mengatur sanksi telah cukup detil mengatur hukuman yang diterapkan pada setiap pelanggaran yang dilakukan, baik yang ditujukan kepada penyelenggara, petugas penyelenggara, penanggungjawab, hingga kepada instansi pemerintah yang mengeluarkan ijin. Sanksi pun telah mencakup 3 jenis sanksi, yaitu sanksi administratif, perdata, dan pidana.

Hanya saja perlu dijadikan catatan ketiga sanksi ini tidak melalui satu lembaga, namun melalui lembaga peradilan untuk sanksi pidana dan perdata yang dikeluarkan oleh ORI.

5. Mekanisme Komplain

Penanganan pengaduan yang diatur dalam UU Pelayanan Publik ini memiliki dua mekanisme, yaitu secara internal melalui penyelenggara pelayanan publik dan mekanisme eksternal melalui Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan lembaga peradilan.

Pengaturan mengenai pengaduan melalui internal penyelenggara telah secara detil mengatur teknis pengaduan, bahkan hingga biaya dan batas waktu penyelesaian yang harus dilakukan oleh penyelenggara. Ini merupakan sisi positif di mana banyak terjadi pengaduan yang dilakukan oleh masyarakat tidak memiliki kejelasan waktu penyelesaian dan biaya yang tidak sedikit.

Mengenai penyelesaian pengaduan melalui lembaga ORI dan peradilan memiliki beberapa kelemahan. Seperti penyelesaian oleh lembaga peradilan yang tidak memiliki batas waktu penyelesaian, biaya yang besar serta kendala psikologis masyarakat pengadu terhadap lembaga peradilan di Indonesia.

ORI yang dalam UU ini berposisi sebagai lembaga penyelesai pengaduan pelayanan publik diberikan kewenangan tambahan untuk menyelesaikan pengaduan secara ajudikasi. Dari satu sisi, hal ini membuka peluang adanya jaminan bahwa pengaduan dapat diselesaikan secara cepat, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun di sisi lain, kewenangan progresif ini terbatas pada permasalahan ganti rugi semata. Padahal banyak persoalan pengaduan pelayanan publik yang tidak sebatas pada soal tersebut saja.

1 comment:

  1. pelayanan publik memang lebih ditekankan pada soal perdata, lebih dari hal itu bisa dilakukan dengan mekanisme peradilan. saya pikir, ketika undang-undang ini masih kurang responsif, masih dapat dilakukan uji review uu tersebut, apalagi bila perkembangan ke depan kurang memuaskan. :D

    ReplyDelete