Tuesday 2 January 2007

Satu Ide Dalam Satu Tarikan Nafas

Coba anda baca kutipan berikut ini dalam satu kali tarikan nafas:
“Jika anak-anak belum dewasa itu tidak nyata-nyata telah berada dalam kekuasaan orang atau kekuasaan pengurus himpunan, yayasan atau lembaga amal, yang menurut sesuatu putusan Hakim termaksud dalam bagian ini diwajibkan melakukan perwalian, atau pun tidak telah berada dalam kekuasaan orang atau kekuasaan Dewan Perwalian, kepada siapa kiranya anak-anak itu menurut penetapan termaksud dalam Pasal 382 ayat ke tiga dipercayakannya, maka dalam penetapan yang sama diperintahkan juga, penyerahan anak-anak itu kepada pihak yang menurut penetapan mendapat kekuasaan atas anak-anak itu. Ketentuan-ketentuan dalam ayat ke dua, ke tiga, ke empat dan ke lima pasal 319h berlaku dalam hal ini.”


Kalau anda bisa baca tanpa ngos-ngosan berarti anda jago! Minimal anda pasti pernah juara MTQ tingkat kelurahan.

Kutipan tersebut saya ambil secara acak dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata terjemahan Prof. R Subekti dan R. Tjitro Sudibio. Tepatnya Pasal 382e. Pasal sebelumnnya, Pasal 382d, dua kali lebih panjang. Yang sebelumnya lagi, Pasal 382c, jauh lebih panjang lagi. Kalau tidak salah menghitung, yang terakhir ini ditulis dalam 6 Paragraf sepanjang 2 halaman, tidak kurang dari 70 baris! Luar biasa. Kalau yang tidak pernah lihat KUHPer, atau nama panggilan sayangnya BW, silahkan segera cari pakai google. Semoga ada.

Kalau anda pikir bahwa di jaman yang beradab dan bebas merdeka ini sudah jarang, bahkan sepertinya tidak ada lagi pasal dalam sebuah undang-undang yang sebanyak itu jumlah kata-nya, anda salah! Memang tidak sepanjang yang ada di BW, tapi banyak sekali yang mirip. Selain panjang, struktur kalimatnya juga rumit. Ini salah satunya:

“Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan Calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).” (Pasal 90 ayat 2 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden)

Kata sejumlah lawyer, itulah bahasa hukum. Khas dan hanya bisa dimengerti para yuris. Sebab butuh keahlian khusus untuk membaca dan mengerti makna yang tersirat dibaliknya. Kami lebih percaya bahwa itu mitos dan lebih sering digunakan untuk memperlancar aliran uang ke pundi-pundi para advokat. Bahasa hukum adalah bahasa Indonesia. Tidak lebih, tidak kurang. Bahwa banyak istilah teknis, ya tidak ada bedanya dengan bidang yang lain. Kalau masih belum percaya silahkan baca Jentera edisi perdana.

Meski demikian kami tetap menganggap isu “bahasa hukum” ini penting. (Sampai-sampai jadi tema utama di edisi perdana Jentera, Jurnal Hukum yang diterbitkan berkala oleh PSHK.) Bukan karena dia berbeda, tapi justru karena sering diperlakukan berbeda oleh para pembentuk undang-undang dan penegaknya. Mirip dengan apa yang penganut posmo bilang sebagai proses “othering”, diperlainkan/diperbedakan.


Dalam perancangan peraturan, kami percaya bahwa bahasa, khususnya kalimat adalah kunci efektivitas dari sebuah peraturan. Alasannya sederhana: kalau tak paham, maka tak sayang.Yang paling untung dari sebuah peraturan yang kacau balau kalimatnya adalah yang punya posisi paling kuat di arena hukum. Siapakah mereka? Biasanya para penegak hukum dan para pengacara brengsyek.

Sebetulnya ada cerita menarik tentang asal muasal bahasa hukum yang maha panjang ini. Cerita ini saya dengar ketika Legislative Drafting Training yang diselenggarakan Dephukham, penuturnya sang trainer, Bob Seidman. Memang belum tentu benar, tapi saya cukup percaya sebab yang berkisah cukup kredibel (lebih dari 50 tahun mendalami legislative drafting!) dan penjelasannya masuk akal, lagipula, menarik. Begini kira-kira:

“Dahulu, di Inggris sebelum abad 20, ketika masih jaman feodal, sejenis profesi hukum swasta yang ada hanyalah pembuat akta tanah. Perancang hukum resmi pada masa itu cuma pendeta dan hakim yang diangkat raja. Karena di masa feodal tanah sungguh-sungguh penting, apalagi persengketaan penguasaan tanah semakin menjadi-jadi, maka status profesi ini juga terus meningkat derajatnya. Para pembuat akta tanah ini dibayar per kata yang tertuang dalam akta tanah yang dituliskannya. Tidak heran berbagai trik olah kata dan kalimat kemudian menjadi keahlian para ‘PPAT’ ini.

Ketika jaman industri terus menguat, dan tatanan feodal semakin luntur, pembuatan akta tanah tak lagi sepanen dahulu. Kebutuhan yang lebih marak adalah kontrak dan pengaturan berbagai kegiatan perdagangan dan politik yang semakin kompleks. Yang juga utama adalah pembentukan peraturan. Nah, keahlian mereka sebagai penyusun naskah hukum dimanfaatkan oleh negara modern. Tapi, karena tabiat lama sudah mendarah daging, akibatnya kalimat peraturan juga jadi ikut-ikutan berpanjang-panjang seperti akta tanah di masa lalu.”

Lalu bagaimana membuat kalimat yang efektif. Kiatnya sederhana saja: usahakan setiap kalimat memuat “satu ide dan terbaca dalam satu tarikan nafas”.
Kalau ada dua ide, misalnya: Bapak harus pergi ke pasar sedangkan ibu boleh membaca koran; maka pisahkan saja jadi dua ayat. Kalau masih sulit memisahkannya karena tidak tega, minta tolong pada perancang yang lain. Sesama perancang kan harus saling membantu. (Mempersilahkan perancang lain untuk membaca dan mengomentari adalah tradisi yang baik untuk dikembangkan para perancang progresif.)

Kalau kalimatnya belum juga terbaca dalam satu tarikan nafas, boleh jadi karena dua hal; kata yang anda pilih mengandung banyak anak kalimat, sehingga mesti terus menerus dijabarkan ulang. Atau, karena konsepnya belum matang, sehingga masih perlu digoreng lagi. Greg Churcil, periset dan pemerhati dokumentasi hukum, pernah memperingatkan isu yang kedua ini dalam sebuah pelatihan perancangan. “Sering kali, peraturan di Indonesia mengadopsi konsep asing tanpa menyadari bahwa yang diboyong juga sistemnya. Makanya, banyak peraturan yang kalimatnya jadi panjang-panjang tak tentu arah karena terpaksa tambal sulam dan pinjam pakai sana sini.”

Jadi, kalimat yang belum sempurna bisa juga juga jadi penanda masih ada hal yang belum tuntas digodok dalam sebuah rancangan!

No comments:

Post a Comment