Saturday 15 September 2007

Bahasa Hukum?

Memang paling repot menjelaskan soal “bahasa hukum” dalam pelatihan-pelatihan kami. Apalagi kalau pesertanya politisi. Mereka ((politisi di DPR RI) akan bersikeras: “kita selalu menyewa ahli bahasa kok dalam membuat peraturan! Nggak mungkin salah”. Tantangannya besar. Bisa jadi karena, seperti biasanya, yang dipraktekkan selama ini cenderung dianggap yang terbaik.

Adakah sebenarnya “bahasa hukum”? Kami selalu bilang: tidak. Betul bahwa penggunaan bahasa di dalam peraturan perundang-undangan harus jelas karena akan banyak “celah” untuk mengintepretasikan peraturan secara berbeda-beda kalau ada aturan yang tak jelas. Nah, justru karena jelas itulah, sebenarnya sederhana saja: gunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar! Bukankah yang akan membaca peraturan adalah semua masyarakat. Sebab logika dasarnya, hukum mengatur perilaku masyarakat. Dengan penggunaan bahasa yang baik, logikanya, peraturan akan jelas. Sebenarnya sesederhana itu. Yang tidak sederhana adalah keinginan untuk membuatnya “sophisticated” (maaf, bicara soal Bahasa Indonesia yang baik, saya malah menggunakan Bahasa Inggris :-), sebab saya tidak bisa menemukan padanan kata yang tepat, ada yang bisa membantu?).

Seperti tertulis di modul kami, yang jamak terjadi adalah penggunaan kalimat pasif. Apa salahnya dengan kalimat pasif? Kalimat pasif cenderung menyembunyikan obyek. Sebaiknya perancang taat pada hukum “subyek-predikat-obyek”, sehingga jelas “siapa melakukan apa”. Coba saja, bandingkan dua contoh kalimat di bawah ini.
Kalimat 1:
Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Sidang Anak, sedangkan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer. (Pasal 7 ayat (2) UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).

Kalimat 2:
Jaksa Penuntut Umum mengajukan Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ke Sidang Anak, sedangkan Oditur Militer mengajukan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ke Mahkamah Militer.
Apabila dibaca sekilas, kalimat pertama bisa menimbulkan kebingungan tentang siapa yang sebenarnya memiliki kewenangan untuk mengajukan ke anak tersebut ke Mahkamah Militer? Tentu saja pertanyaan ini bisa dijawab dengan membaca pasal-pasal di atasnya. Namun yang terbaik adalah untuk membuat jelas setiap pasal dalam peraturan. Gunakan saja kalimat sederhana, dengan subyek, predikat, dan obyek yang jelas.

Kesalahan lainnya yang sering terjadi adalah penggunaan benda mati sebagai subyek. Perhatikan contoh berikut: “Pakaian seragam ojek tidak boleh sama antara satu kelompok dengan kelompok lain.” (Keputusan Walikota Kendari No. 289 Tahun 2003). Pertanyaannya: bagaimana mungkin pakaian membaca peraturan ini dan membuat diri mereka tidak sama satu sana lain??

Nah, gambar yang saya ambil di Jerman di bawah ini juga salah :-). Mana bisa anjing membaca tanda itu?? :-)

Pastinya tanda itu untuk pemilik anjing. Tanda adalah hukum dalam bentuk lain. Seperti halnya tanda strip merah untuk larangan masuk, rokok dicoret untuk larangan merokok. Namun tanda memang harus berupa gambar yang sederhana, seperti halnya strip merah tadi, yang sebenarnya tidak jelas, tapi sudah bisa dipahami secara universal. Berbeda dengan kalimat pasal yang harus jelas. Bila tidak jelas, bisa menjadi makanan empuk untuk advokat lihai atau politisi culas untuk mengartikan peraturan semaunya sendiri.

Masih banyak catatan untuk “bahasa hukum” ini. Misalnya soal penggunaan “dan/atau” serta pemberian norma “harus” dan “dilarang”. Mudah-mudahan nanti kawan-kawan lain bisa ikut menulis soal ini karena begitu banyak kesalahan yang kami temukan, terutama di dalam Perda-Perda. Bahkan kadang masih banyak salah ejaan, mulai dari penggunaan “azas” untuk “asas”, sampai dengan pengutipan Bahasa Inggris yang salah. Mungkin karena mereka tidak bisa “menyewa ahli bahasa” seperti halnya DPR RI.

Bagaimanapun, kunci dalam membuat kalimat dalam peraturan sebenarnya hanya satu: gunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Gitu aja kok repot?

2 comments:

  1. wacana yang menarik. tapi menurut gue contoh2 nya kurang tepat.
    dalam kasus UU pengadilan anak rumusan sudah tepat karena penekanan dari pasal tsb memang pada anaknya (obyek) bukan pada subyek, sehingga siapa pun subyek nya (JPU, Polisi dll) terikat pada ketentuan tsb. Dalam konteks koneksitas, tidak bisa ujug-ujug ditetapkan jaksa mengajukan anak ke sidang anak. Dalam perkara koneksitas bisa jadi penyidikan dilakukan oleh Polisi Militer, sehingga tidak bisa ujuk-ujuk PM membawa perkara ke JPU, ada prosedur koneksitas di KUHAP yang harus ditempuh. dengan rumusan pada contoh 1 (UU Pengadilan Anak) maka rumusan menjadi lebih mudah dan efisien karena UU tsb tidak perlu mengatur lagi mengenai prosedur koneksitas seperti yang ada di KUHAP, tapi intinya pokoknya kalo anak maka bla bla bla. kalau rumusan contoh 2 yang dipergunakan maka UU tersebut harus mengatur lagi prosedur pengalihan koneksitas ke JPU, terlalu panjang.
    intinya menurut gue, tiap pasal memiliki penekanan masing-masing, ada yang menekankan pada subyek, ada juga yang pada obyek, tergantung konteks, ga bisa di pukul rata.

    contoh rumusan pasal yang memang harus pasif dan tidak memenuhi standar "S-P-O-K" misalnya pasal 184 KUHAP, tentang alat bukti.
    "Alat bukti yang sah adalah: ...". Jika rumusan pasal yang benar adalah yang selalu ada SPOK nya, kira-kira bagaimana kita akan mengatur ketentuan mengenai alat bukti yang sah seperti pasal 184 KUHAP tsb?
    ...bahasa yang baik dan benar tidak harus ada SPOK nya, dalam bahasa indonesia juga dikenal penggunaan bahasa yang efisien (gue lupa istilahnya apa).

    ReplyDelete
  2. Hot Trends Today

    itu gambar yg terahir kacau bgt...

    ReplyDelete