Thursday 3 May 2007

Tari, Lagu, Mantera dan Pantun

Ini tentang "bahasa" dalam proses penelitian. Minggu lalu saya ke Palu, membantu kawan yang sedang meneliti sistem tenurial "asli" suku To/Orang Sinduru di Kabupaten Donggala, Sulteng. Ada kesulitan yang dialaminya, yakni mendapatkan informasi yang dalam dan memuaskan tentang hukum adat To Sinduru, dalam waktu yang relatif singkat. Walaupun ia adalah pendamping masyarakat Sinduru sejak lama, ia tetap kesulitan menggambarkan jalinan hukum adat yang dipegang teguh oleh masyarakat tersebut. Akhirnya saya bisa juga menangkap persoalan yang dihadapinya, setelah dua hari diskusi dan bereksperimen dengan berbagai kerangka tulisan.

Problem utamanya adalah sang peneliti mencoba menggambar hukum adat to sinduru dengan bahasanya sendiri. Dengan seluruh daya upayanya ia menggali informasi dengan teknik wawancara mendalam. Karena dia adalah sarjana hukum, maka bahasa yang juga mengkerangkengnya adalah bahasa fakultas hukum yang cenderung positivistik dan urban. Sang peneliti mencoba menggali berbagai kisah dan berbagai perisitiwa yang diduga dapat membantunya memahami To Sinduru. Namun, hingga pengumpulan data usai, masih juga banyak pertanyaan yang belum terjawab.

Saya kemudian mencoba membantu kawan tersebut melihat dengan cara yang lain, yang sering dilupakan oleh sarjana hukum yang paling sosio-legal sekalipun. Bahasa hukum itu tidak tunggal. Bahasa hukum sangat terkait dengan konteks kemasyarakatan di mana hukum tersebut lahir dan berkembang. Dan yang juga sangat penting, pengetahuan bukan hanya apa yang terucapkan (kelemahan fatal dari metodologi kuantitatif). Maka, untuk memahaminya, pelajari dan ikuti bagaimana masyarakat tersebut berkomunikasi dan berinteraksi. Di situlah mendekam pengetahuan yang tersembunyi (tacit knowledge).

Masyarakat komunal, cenderung menggunakan bahasa-bahasa simbolik yang dekat dengan kesehariannya. Utamanya untuk suatu seni atau nilai yang luhur, bahasanya akan semakin simbolik dan sakral. Biasaya diungkapkan dalam media seni dan upacara-upacara ritual, dalam bentuk pantun-pantun dan mantera. Hukum, masuk dalam kategori yang luhur ini. Maka maknanya dapat digali dan dinterpretasi dari tarian, syair lagu-lagu, mantera dalam upacara adat dan lain sebagainya.

Sebagai perancang, kita juga tampaknya kadang lalai dalam soal ini. Metode dan teknik pengumpulan data yang paling banyak digunakan adalah diskusi publik/umum, FGD, dan wawancara. Yang sebagian besar cara komunikasinya didominasi oleh bahasa-bahasa "akademik", yang berbeda frekuensi dan tingkat kedalamannya dengan bahasa simbolik dan metode komunikasi vibrant yang digunakan oleh masyarakat-hukum adat. Alhasil, hanya ide dan pengalaman tertentu saja yang bisa terakomodir, lainnya, sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, tersuruk lagi di gorong-gorong. Di sini, metode dan media komunikasi menjelma jadi instrumen seleksi.

Dalam proses konsultasi publik RUU PSDA, sekitar 2002-03 lalu, ada ide untuk menggunakan media komunikasi rakyat yang beragam itu; tari-tarian, ludruk/ketoprak, wayang dan lain-lain. Namun, ada berbagai kendalam sehingga media itu terpinggirkan lagi. Makanya kemudian ada kesan, RUU ini 'dibajak' oleh akademisi/teknokrat dan LSM.

Mendiskusikan ini, saya jadi teringat dengan "hukum yang vibrant". Di masyarakat-hukum adat, formasi dan sistem hukum ternyata sangat dekat dengan proses vibrant. Dimensi spiritual jadi inti dari produksi hukum, yang tereksternalisasi melalui gerak tubuh berirama, syair-syair bernada, dan metafor-metafor (pantun) yang bertenaga. Otak kiri dan kanan digunakan secara optimal.

So, hukum yang vibrant sebetulnya historis, tidak anakronis seperti kecaman kaum positivis.

No comments:

Post a Comment