Wednesday 6 August 2008

Siklus Legislasi

Februari dan Maret 2008 yang lalu, saya menjadi salah satu trainers dalam Pelatihan Perancangan Peraturan yang diadakan oleh Asian Law Group (Melbourne) untuk ACCESS/AusAid. Pelatihannya diadakan di beberapa wilayah kerja ACCESS, yaitu Senggigi (untuk Lombok Barat dan Lombok Timur), Waingapu (untuk Sumba Timur), Bau Bau, dan Makassar (untuk Bantaeng dan Jeneponto). Yang Bau Bau saya nggak bisa ikutan karena sudah ada komitmen conferences, jadi Erni yang ikutan. Trainers lainnya: Campbell Duncan, Simon Butt, dan Riris. Mirip dengan 2005: dua orang Australia dan 2 orang Indonesia dan waktu itupun saya bersama Campbell, jadi sudah lumayan biasa dengan segala tabiat dan body language dia yang lucu. Bedanya pada 2005 ada tambahan narasumber tamu. Saya dan Campbell bersama bersama Bang Sony Maulana dan Rob Baiton, plus Rowena Armstrong. Dulu juga language facilitator-nya Fiona. We're such a good team! :-)

Ada dua yang berbeda antara training ini dengan training yang biasanya PSHK lakukan: ada field trip dan materi agak baru yang dibawakan Campbell.

Campbell memperkenalkan "legislation cycle" serta metode "converging" dan "diverging" dalam merumuskan peraturan. Legislation cycle bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Terminologi ini sudah lumayan dikenal di beberapa literatur yang saya baca. Namun tidak banyak yang membahasnya di Indonesia.

Campbell membuka makalahnya dengan mengatakan:

Laws are constantly being made, amended, repealed and replaced. But it makes no sense to ask – why can’t law-makers get it right, once and for all? Why? Law-making is a continuous process which is never completed. New needs arise, circumstances change, and law-makers and administrators learn from experience. When one phase of the law making process is completed, another starts: each builds on the phase which has preceded it. For this reason, law-making can be seen as a cycle—


Sekadar perbandingan, MPM memperkenalkan empat tahap dalam perancangan: (1) mengidentifikasi masalah sosial, (2) menemukan penyebab masalah sosial, (3) mencari solusi, dan (4) monitoring dan evaluasi. MPM lebih fokus ke proses penelitiannya yang agak mirip analisis sosial. Sehingga pentahapan yang dilakukan lebih ke penelitiannya itu sendiri ketimbang sebagai sebuah proses legislasi. Namun yang menarik, dua-duanya sama-sama menggambarkan pentingnya melihat ulang sebuah peraturan: review atau evaluasi. Justru karena percaya bahwa legislasi adalah kebijakan, maka keduanya menempatkan monitoring dan evaluasi di dalam tahap-tahapnya. Saya jadi teringat petanyaan seorang peserta dalam sebuah training. Menurutnya undang-undang seharunya tidak perlu diubah-ubah karena menciptakan ketidakpastian hukum. Sayangnya pandangan ini lumayan banyak ditemukan di kalangan birokrasi. Peran hukum dibatasi pada kepastian, ketertiban. Dan proses perancangan dibenturkan pada soal anggaran dan waktu secara tidak proporsional (mereka sering mengeluh soal biaya partisipasi yang besar, lupa bahwa biaya-biaya tidak resmi seperti kasus RUU Bank Indonesia dan pengeluaran inefisien seperti studi banding itu jauuuh lebih besar dari biaya membuat diskusi bersama stakeholders).

Maaf, saya lagi kena komplikasi antara males nulis, pingin pulang, kepanasan (AC di PSHK sudah nggak dingin di atas jam 10 malam), kehausan tapi malas ke pantry, digigit nyamuk, dan banyak kerjaan :-). Jadi saya malas menulis lebih banyak soal legislation cycle dan converging-diverging. Mungkin Riris bisa nambahin Ris? :-)

Yang jelas, field trip-nya seru. Saya sangat menikmati field trip, meski ini berarti kerjaan trainers nambah dan biasanya pada hari field trip kami akan luar biasa capek, terutama karena kepanasan (manja! :-)), terutama waktu di Waingapu dan Jeneponto. Sebelum field trip peserta dibekali dulu metode wawancara dan survey, difasilitasi dalam merumuskan panduan wawancara dan kuesioner, serta mensimulasikan FGD.


Saya menikmati field trip karena saya jadi banyak ketemu kenyataan di "lapangan". Tentang desa yang tidak mengenal WC, tentang penduduk yang digusur untuk sebuah bendungan, tentang anak-anak kecil yang lari-lari telanjang mengikuti Campbell yang "bule", tentang anak umur 16 tahun dengan anak berusia 6 bulan, tentang perempuan-perempuan yang jadi tulang punggung keluarga dengan mengambil rumput laut yang hampir habis, tentang desa tanpa air mengalir. Tentang Indonesia.

3 comments:

  1. Wah...nangis aku!

    Kalau gak salah 2005 aku juga ikut tapi nama aku gak disebut di post ini!

    I guess I am pretty easy to forget :D

    ReplyDelete
  2. waaa.. maap beribu-ribu maap. Malam itu gw lagi pikun banget Rob.. namanya Rowena aja gw lupa! :-) besoknya baru ingat. Of course I do remember you. Campbell and I missed you so much, esp.when we were in Lombok :-) (what goes in the tour stays in the tour! :-)). We were such a good team, weren't we? :-) dan sedih banget waktu kamu sakit di Kendari..

    ReplyDelete
  3. bacaan siklus legislasi,yang ditulis ibu bibip 6 agust lalu membuat saya ingin tahu lebih jauh terkait metode baru yang diperkenalkan Campbell yakni converging dan diverging..apa bisa dalam tulisan selanjutnya dalam bnetuk perbandingan antara MPM dengan metode tersebut untuk mengetahui masing-masing keunikan yang mampu memberikan pemahaman baru dalam penerapan praktis perumusan peraturan di daerah..semoga tidak menggangu studi ibu ya..Salam

    ReplyDelete