Wednesday 13 August 2008

Menormakan Model Partisipasi

Menarik sekali yang dilakukan oleh Bengkel APPeK (Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung) ini. Mereka mau membuat Model Dengar Pendapat dalam Proses Perumusan Kebijakan dan Pelayanan Publik di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Kota Kupang. Saya sedang di Kefa, TTU, pada saat menulis ini; dan sedang terinspirasi.

Mereka ingin membuat model dengar pendapat (hearing) menjadi pengaturan. Letih dengan forum-forum dengar pendapat yang tak membuahkan hasil dan janji-janji yang tak dipenuhi.

Dalam kajiannya, Tim menggunakan daftar periksa ROCCIPI (Rule, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, Ideology). Untuk yang belum tahu, ROCCIPI ini adalah alat analisis yang merupakan bagian dari Metode Pemecahan Masalah (MPM) rumusan Bob dan Ann Seidman yang disebarluaskan oleh PSHK. Tim Bengkel APPeK ini memang dulunya kerja di Sanlima dan pernah mendapat pelatihan PSHK di Kupang 2003 lalu. Setelah pelatihan itu, mereka membuat panduan penyusunan Perdes berdasarkan MPM, dengan dukungan dana dari YAPPIKA.

Analisisnya bagus dan cukup 'genuine'. Bukan model “copy-paste” Perda yang biasanya terjadi, sayangnya termasuk di kalangan akademisi. Bahkan, mereka belum lihat Perda Transparansi dan Partisipasi Lebak, Gorontalo, dll.

Tolas Tabua’

Di TTU ini, yang ramai diangkat adalah mekanisme adat yang bernama “Tolas Tabua”. Saya sendiri baru belajar tadi malam dan seharian ini. Selain diberikan catatan 4 halaman tadi malam, saya lagi jadi pelajar yang tekun pada bapak-bapak ini (hanya ada satu ibu :-( ). Filosofinya luar biasa. Ini kutipan dari 4 halaman informasi yang diberikan oleh tim kajian kepada saya:

Tolas artinya musyawarah, pertemuan atau rapat. Tabua’ artinya berkumpul, berhimpun, bersama-sama. Jadi tolas-tabua’ dapat diartikan sebagai musyawarah bersama-sama. Kata Tabua’ sebenarnya hanya menegaskan kata Tolas; bahwa yang namanya musyawarah (tolas) tidak hanya melibatkan segelintir orang tetapi melibatkan semua yang berkepentingan, berkumpul secara fisik atau bersama-sama (tabua’) untuk membahas atau membicarakan sesuatu / beberapa hal yang menjadi kepentingan bersama (musyawarah). Dalam tutur adat sering kata tolas lebih dipertegas dengan sinonimnya yang lain yaitu kata Nikut, sehingga menjadi tolas-tabua, nikut-tabua’ (Toltabua’ ma tniuktabua’). Nikut atau Tniuktabua’ berarti : me-rapat yakni bergerak bersama-sama dari berbagai arah menuju satu titik “tolas” yang disepakati. Dalam arti yang lain, “nikut” dapat bermakna duduk bersama dalam bentuk lingkaran atau membundar.

Prosesnya terbagi tiga. Pertama, SEON-BASAN (sapa). Pemimpin rapat (mnasi’/amaf) meminta sebotol sopi (minuman keras di daerah Timor dan sekitarnya) dan tempat sirih (kabi’) dari pemilik hajatan dan meletakkannya di depan para peserta rapat lalu menginformasikan tentang maksud pertemuan, atas nama pemilik hajatan (Tua tonas). Kedua, MANENAN HANAF-MANOEB HANAF (saling dengar pendapat). Tahap ini adalah pembahasan materi rapat yang dipimpin oleh amaf/mnasi’ tadi.Mekanisme yang ditempuh dalam musyawarah ini adalah saling dengar pendapat (manenan hanaf) dan berbicara secara bergilir (manoeb hanaf) hingga mendapatkan suatu kesepakatan. Pada umumnya tidak terjadi banyak pertentangan dalam musyawarah sejenis ini karena dilandasi filosofi matoup-mafit (saling bergandeng tangan dan saling meringankan beban). Ketiga, MOLKE ’FEKAN - MOLKE ’BELAN. Tahap ini dilakukan semacam kesimpulan yang dibuat oleh amaf/mnasi’ dengan mengulangi hal-hal yang telah disepakati, kemudian sebagai penutup dikukuhkan dengan minum bersama sebotol sopi. (Kemudian bisa juga dilanjutkan dengan acara makan bersama atau minum bersama sebelum bubar).
Saya melihat prosesi itu dengan sopi dan lain-lain, sama dengan ketika seorang fasilitator mencairkan suasana. Semua orang didorong untuk berbicara. [Footnote: kesimpulan saya dan vincent: partisipasi akan terjadi dengan baik ketika mabuk! :-)... Inilah “air kata-kata” :)). Pak Kepala Bappeda saat ini lagi berapi-api mempraktekkan gaya “amaf” tidur-tiduran santai setelah membagikan sopi dan menunggu orang tipsy :-)... siapa mau jadi “amaf” tunjuk tangan!]

Namun seperti banyak mekanisme adat lainnya, prosesi ini sebenarnya sangat elitis (dalam konsep pemimpin adat dalam konteks monarki) dan bias jender. Saya hanya kuatir mereka terjebak dalam kerangka ini. Dalam Tolas Tabua’ ini, perempuan tidak ikut diskusi dan mereka tidak mengenai voting. Mereka harus keluar dengan mufakat dan kalau sampai terlalu lama ada yang tidak sepakat akan diusir dari komunitasnya.

Di dalam diskusi kelompok yang sedang saya nikmati ini, orang ramai berdebat dalam dua titik ekstrim: mendewa-dewakan dan mengritik tolas tabua’. Saya tadi mengingatkan kelompok pendukung untuk mengingat dua hal dalam konteks “masa lalu”. Pertama, asumsinya pada masa lalu tetua adat bisa dipercaya sebagai orang yang luar biasa bijak sana. Kontraskan dengan orang-orang culas yang terpilih karena politik uang. Kedua, soal mufakat itu, dulu mungkin bisa diterima dengan tujuan “harmoni” dalam komunitas masyarakat adat. Sekarang? Bisa dilakukan dengan amplop atau dengan ancaman.

Hukum Yang Tidak Menindas, Tetapi Memberdayakan

Tulisan ini saya lanjutkan di Kupang. Di Kupang saya diskusi intensif dengan kawan-kawan tim kajian, jadi saya bisa menyampaikan langsung pertanyaan-pertanyaan saya. Sebenarnya masih ada yang belum tuntas di kepala saya: seperti apa sebenarnya pengaturannya. Yang saya pahami, mereka ingin memaksa semua orang yang mau melakukan dengar pendapat untuk menggunakan model ini. Daya paksanya ada di mana? Model pengaturannya nanti seperti apa? Janji politik tidak bisa punya sanksi. Dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan kritis saya dalam rapat sempat membuat mereka sedikit “down”, merasa bahwa ekspektasi mereka pada hukum salah. Sebenarnya bukan salah, ini soal cara melihat hukum. Setelah diskusi sekitar 2 jam, rasa “down” itu hilang, malah semangat. Masukan untuk mereka saya buat dalam catatan singkat dan saya cuplik sedikit di bawah.

Cuplikan:

Tim Kajian mengusulkan kriteria, prosedur, dan tindak lanjut dengar pendapat secara rinci. Namun setelah mengetahui kelemahan-kelemahan tersebut dan solusinya, pertanyaan besarnya adalah: bagaimana caranya membuat forum dengar pendapat yang lebih efektif menjadi terlembagakan? Terlembagakan di sini bukan dalam arti organisasi, namun menjadi sesuatu yang biasa dilakukan dalam sebuah pemerintahan yang demoratis dan responsif. Pemerintah daerah perlu terbiasa mengelola forum dengar pendapat sebagai efektif dan “kebutuhan” untuk membuat kebijakan yang responsif. Sementara rakyat yang sudah skeptis perlu didorong untuk memahami bahwa pengelolaan pemerintahan membutuhkan peran serta mereka dan tidak semua hal bisa diserahkan begitu saja kepada pemerintah sehingga bila ada yang tidak diakomodasi maka mereka bisa menuntut. Yang ingin kita lakukan di sini adalah pelembagaan komunikasi dalam pembentukan kebijakan.

Peraturan seringkali dilihat sebagai jalan keluar terbaik untuk mengubah perilaku secara massif; melembagakan suatu mekanisme. Namun masalahnya, apa yang perlu diatur agar peraturan itu dapat diterapkan dengan efektif dan tidak hanya menjadi teks tak bermakna?

Yang pertama kali harus dipahami adalah bagaimana suatu peraturan bisa mempunyai “daya paksa”. Daya paksa peraturan bisa lahir karena adanya ancaman sanksi atau adanya insentif. Dalam istilah organisasi biasa dikenal dengan punishment and reward. Negara juga pada hakekatnya adalah suatu organisasi, yang sangat kompleks. Dalam peraturan, sanksi diberikan dalam bentuk sanksi pidana, berupa kurungan dan denda; serta sanksi administratif. Sementara insentif diberikan dalam bentuk memberikan sesuatu sebagai insentif; serta mendapatkan sesuatu dalam prosedur administrasi tertentu, misalnya kenaikan pangkat.

Isu berikutnya, di mana letak peraturan yang mengatur dengar pendapat? Hal ini penting diketahui untuk meletakkan dengan tepat persoalan sanksi dan insentif ini. Hukum ada untuk mengatur relasi antara negara, pemerintahan, dan warga negara. Karena itulah ada hukum publik (hukum pidana, hukum administrasi pemerintahan, hukum tata negara), yang mengatur relasi negara dan pemerintahan dengan warga negara; dan ada hukum privat yang mengatur relasi antar-warga atau badan hukum (hukum perdata). Persoalan dengar pendapat dalam kebijakan publik berada di arena hukum administrasi negara. Hukum administrasi mengatur prosedur-prosedur dalam administrasi pemerintahan.

Tentu saja ada keinginan kuat untuk membuat model ini diikuti oleh semua pihak yang ingin mengadakan dengar pendapat. Untuk itulah peraturan dianggap jalan keluarnya. Namun dua catatan di atas membuat kita mesti berhati-hati dalam mengatur dengar pendapat ini. Dalam konteks pembuatan kebijakan, yang bisa diatur adalah pembuat kebijakan itu sendiri. Apakah bisa memaksakan “masyarakat”, baik sebagai penyelenggara dengar pendapat ataupun sebagai peserta yang wajib hadir, dalam peraturan ini nantinya? Dalam suatu peraturan yang mempunyai kekuatan memaksa, tentu saja hal ini bisa dilakukan, namun dengan cara apa?

Hukum tidak selalu berwajah “seram” sebagai instrumen pemaksa dengan memberi ancaman sanksi. Peraturan jangan sampai hanya berwajah represif, yang pada akhirnya bisa mematikan inisiatif dan kreativitas. Hukum bisa dilihat dari sisi lainnya, yaitu hukum yang memberdayakan dan hukum yang bisa memfasilitasi demokrasi secara substansial.

Dalam konteks pembicaraan kita, peraturan mengenai model dengar pendapat yang dibuat jangan sampai justru membuat inisiatif kelompok-kelompok masyarakat sipil melemah dan mati karena peraturan dianggap membebani dengan memaksa mereka melalui sanksi, sementara prosedur yang harus dilakukan juga tidak sederhana. Misalnya dengan mengatakan bahwa setiap orang atau organisasi yang tidak melaksanakan dengar pendapat model ini akan diberi sanksi denda sekian rupiah. Secara ilmu perundang-undangan pun, tidak semua hal bisa dikategorikan sebagai tindak pidana.

Dalam kerangka pikir hukum yang memberdayakan, maka usulan saya adalah untuk membuat pengaturan yang memaksa pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan memberikan insentif bagi masyarakat sebagai pihak yang diharapkan ikut mendorong lahirnya kebijakan yang responsif.

Konkritnya, model ini nantinya disyaratkan sebagai bagian dari proses pembuatan kebijakan. Pembuat kebijakan (pemerintah) wajib melaksanakan model ini. Bila tidak maka ada sanksi administratif yang diberikan ataupun ada mekanisme keberatan yang bisa berujung pada pembatalan kebijakan. Sementara kelompok-kelompok masyarakat sipil didorong untuk mengadopsi model ini dengan memberikan insentif berupa semacam jaminan bahwa topik yang dibahas didengar dan ditindaklanjuti oleh pembuat kebijakan. Siapapun bisa saja membuat forum dengar pendapat dengan model apapun, namun hasil dengar pendapat yang menggunakan model ini akan lebih efektif karena pembuat kebijakan diikat untuk melaksanakannya.

***

Saya kagum sekali sama mereka. Dengan caranya sendiri, merekalah yang telah memperluas pengetahuan saya, bukan sebaliknya seperti yang berulang kali mereka katakan. Ke luar Jakarta selalu memberi inspirasi dan memperluas pengetahuan. Itulah sebabnya saya selalu memilih ke daerah kalau ada jadwal yang bentrok antara acara di Jakarta dan di daerah. Saya merasa semangat hidup saya sedang diisi ulang. I am charged.

2 comments:

  1. Mungkin ada banyak alasan yang menyebabkan masyarakat/kelompok masyarakat/NGO mulai berpikir untuk berbuat sesuatu terhadap proses hearing yang terjadi selama ini.

    Kekecewaan masyarakat terhadap proses hearing selama ini muncul karena tidak ada jaminan (istilahnya Bibip: letih) bahwa hearing tidak membuahkan hasil atau janji tidak dipenuhi.

    Pertanyaannya, apakah kekecewaan terhadap hearing harus dilakukan dengan membuat aturan? Bibip sudah cukup memberikan jawaban untuk itu.

    Kalau saya sendiri berpendapat bahwa dorongan perubahan harus dilakukan terhadap para elit (yang perubahannya tidak perlu dilakukan dalam sebuah peraturan). Konsep diverging (hearing untuk menelurkan ide-ide bagi sebuah kebijakan) dan konverging (hearing untuk menghasilkan konsensus) menurut saya adalah sesuatu yang harus dilihat, apakah sudah tepat penempatannya atau tidak?

    Dalam pengamatan saya selama bekerja di DPR, hearing tidak jelas dilakukan untuk apa....sekedar untuk melaksanakan Pasal 53, sekedar memenuhi Tata Tertib DPR/D, sekedar untuk melegitimasi penggunaan anggaran jamuan makan, atau sekedar untuk retorika politik, bahwa DPR/D sudah demokratis, membuka ruang partisipasi, bla...bla..bla...

    Padahal, ketika konsep hearing dilakukan untuk diverging, maka seharusnya munculnya alternatif terhadap isu yang akan dibicarakan....misalnya terkait dengan BBM, maka hearing dalam diverging akan memunculkan beberapa ide, misalnya naikkan BBM dengan perbesar dana subsidi dalam sektor A, B, C, atau turunkan harga BBM dengan perbesar pajak kendaraan, barang mewah, dan sebagainya, atau buat riset tentang BBM...ini yang disebut alternatif...sehingga, dalam kategori ini, semua pihak diiventarisir idenya..

    Selanjutnya baru masuk ke konverging....tiap isu dikerucutkan menjadi 1 ide....pihak-pihak yang diundang sudah ditutup idenya, hanya membahas 3 ide yang berasal dari diverging....sehingga dihasilkan konsensus 1 pilihan, yang secara formal dibicarakan lagi dalam rapat-rapat DPR dan diambil keputusannya oleh DPR (ingat! Hak mengambil keputusan hanya milik para anggota DPR dan Presiden atau DPRD dan kepala daerah). Itu artinya, memang tidak semua pendapat masyarakat dapat diakomodir.

    Yang penting dipikirkan adalah bagaimana memastikan agar pendapat yang dipilih adalah pendapat yang terbaik! Ini yang menjadi masalah. Oleh karena itu, penting dituntut keterbukaan dalam berdialog hingga diputuskannya suatu kebijakan, agar masyarakat dapat memantau bahwa keputusan yang dipilih adalah keputusan yang lebih banyak baiknya daripada buruknya.

    Selamat Bekerja untuk Negara yang Lebih Baik.
    Salam MERDEKA dari Jakarta.

    Riris

    ReplyDelete
  2. @Riris: sebagian besar pengalaman di DPR memang menunjukkan "hearing" yang melelahkan. Tapi, tulisan ROCCIPI ini saya apresiasi untuk lebih mendekatkan kajian hukum dalam konteks ilmu sosial. Tak sekedar "problem solving" dalam arena politik saja. Ruang DPR dengan ruang sosial masyarakat, apalagi masyarakat perdesaan, amatlah jauh dibandingkan. Rapat di DPR cenderung berputar-putar, tarik-menarik, kadang cepat mengambil ketegasan, namun bisa pula berbalik ke titik nol. Beda dengan sejauh jelajah-terbatas saya di beberapa desa; warga desa atau pemerintah desa berkumpul bersama untuk mengambil keputusan yang relatif mudah dikontrol secara visi dan fisik.

    ROCCIPI juga tak sekedar praksis "legal drafting". Marabahaya-nya adalah reduksi terhadap ROCCIPI sebagai rangkaian legal drafting maupun public hearing, berpotensi menghilangkan "ontology of legal drafting" atau "kealpaan epistemis" yang disengaja.

    Bukankah tak semua anggota DPR menggunakan "metode tertentu" dalam menyajikan pilihan-pilihan kebijakan politik, seperti tersirat dalam teleologis ROCCIPI?

    Begitu, mbak staf ahli...

    ReplyDelete