Friday 15 December 2006

Hukum agama, hukum negara

Judul di atas bisa jadi debat yang panjang kalau bicara dengan pendukung negara islam. Yang bikin ketawa, waktu urusan poligami ramai lagi gara si aa berturban ajaib itu, ramai-ramai pendukung poligami bilang "negara tidak usah mencampuri urusan agama, poligami atau tidak, saya bisa adil atau tidak, itu urusan saya dengan Tuhan saya!" Sementara, kalau urusannya mau mengatur "moral" atau kesusilaan, katanya "Negara mesti mengatur moral masyarakat." Bahkan: syari'at Islam mesti masuk konstitusi. Nah!

Coba, kalau saya bilang urusan perempuan aceh harus berjilbab atau tidak itu urusan si perempuan dengan Tuhannya, jangan dipaksa, atau dirazia sama Wilayatul Hisbah (Satpol PP Syari'at-nya Aceh, di bawah Dinas Syari'ah Pemda), saya bisa didebat sambil ditunjuk-tunjuk :-). Waktu saya dan rbm mempertanyakan soal syari'at atas interpretasi yang mana saja, kita langsung dimarah-marahi hihi. Untung rbm sarjana syari'at.. hehe

Urusan poligami biarin lah, saya udah "eneg". Capek diskusinya. Soalnya cara pandang sih. Mau diskusi 7 harmal juga tidak akan habis. Mentok-mentok, diulang lagi: yang penting negara nggak usah mengatur mau poligami atau tidak, itu urusan pribadi, bukan urusan publik. Padahal, ya itu tadi, kalau urusannya "moral", sampai ada RUU APP, RUU KUHP, yang mengatur urusan "pribadi" seperti dilarang pakai baju seksi (RUU APP) dan kumpul kebo (RUU KUHP).

Yang mau saya angkat di sini sebenarnya soal kegelisahan saya terhadap Qanun (buat yang belum tahu, Perda di Aceh namanya Qanun, di Papua juga khusus, namanya Perdasus dan Perdasi). Sama seperti kegelisahan saya pada segala peraturan moral dan kesusilaan. Tapi untuk Qanun Aceh, ada soal "drafting"nya yang unik. Qanun-qanun di Aceh itu memasukkan Al Qur'an dan Hadits di dalam konsiderans "Mengingat".

Teorinya, konsiderans "mengingat" itu isinya dua. Pertama, dasar hukum bagi lembaga pembuat peraturan itu untuk membentuk peraturan itu. Kedua, peraturan-peraturan yang terkait dengan materi muatan, baik yang secara hirarkhi ada di atasnya, maupun peraturan yang tingkatnya setara.

Lalu, apa hadits dan al Qur'an bisa jadi dasar hukum? Saya selalu bilang sama teman-teman di Aceh: TIDAK. Kenapa?

Pertama, kita bicara soal hukum negara, hukum positif. Maka yang dimaksud dengan peraturan di atasnya atau sejajar adalah peraturan sesuai hirarkhi peraturan di UU 10/2004, yaitu UUD, UU/PERPU, PP, Perpres, Perda. Bahkan Keppres, Kepmen, SE, dll tidak bisa masuk ke situ karena bukan "peraturan perundang-undangan". Diskusi yang lebih dalam, kita ini memang negara sekuler, itu jelas di UUD. Saya nggak suka menyambungkan dengan pancasila kalau untuk soal pluralisme ini. Mau bicara hukum dan pluralisme? ya konstitusi dong, jelas tuh.

Kedua, saya sebagai orang Islam (biasa.. namanya juga cari-cari "kekitaan"... hehe), percaya bahwa menempatkan Al Qur'an dan Hadits yang buatan Allah dan Muhammad SAW sama saja dengan merendahkan kedua maha sumber hukum itu karena menempatkannya sejajar dengan hukum buatan manusia!

Jalan tengahnya, kalau memang mau merujuk ke al Qur'an dan Hadits, masukkan itu ke dalam konsiderans "menimbang", dan di bagian Penjelasan umum. Sebab konsiderans menimbang memuat landasan-landasan filosofis, sosiologis, yuridis. Kalau dalam Metode Pemecahan Masalah (MPM), di situ masuk masalah sosial, penyebab, dan lain-lain. Sementara, Penjelasan Umum itu bisa banyak menceritakan konteks pertimbangan. Saya harus memberikan jalan tengah ini karena harus ada sesuatu yang bisa diterima bersama, daripada soal perancangan jadi makin kacau??! Kenapa terkesan saya merasa "terpaksa" memberikan jalan tengah ini? Karena saya memang tidak setuju betul hukum Islam masuk hukum negara. Kalau mau tahu alasan kenapa saya tidak setuju, nanti saya buat artikel tersendiri, soalnya bisa panjang :-). Yang jelas, untuk satu hal yang obvious saja: tidak akan pernah ada satu interpretasi soal hukum Islam. Contoh paling dekat: NU sama Muhammadiyah saja sering tidak sepakat soal "kapan hari raya idul fitri". Nah lho! Di soal begini saja tiap tahun jadi repot, apalagi mau bicara soal apakah sebenarnya Islam mengharuskan perempuan pakai jilbab??

Padahal, begitu jadi "peraturan", hukum positif, maka sebuah norma jadi bersifat "coercive". Punya kekuatan memaksa yang besar. Semua warga negara harus tunduk dan bisa dihukum bila melanggar peraturan.

Balik lagi ke soal konsiderans Qanun. Sayangnya, argumen saya bisa diterima oleh banyak orang, kecuali ulama hehe.. padahal di aceh kalau mau punya legitimasi harus bawa-bawa ulama. Bu Maria ngomong begitu juga, dibilang karena dia kristen, nggak paham islam. Walah.. repot deh kalau urusan agama-agama-an begini...

2 comments:

  1. Bibip wrote: ..."saya sebagai orang Islam (biasa.. namanya juga cari-cari "kekitaan"... hehe), percaya bahwa..."


    Sudahlah Bip, daripada bersilat kata mlulu, mendingan coming out aja sekalian kalau emang udah engga pengen lagi disebut seorang muslim. daripada tindakan lo secara tidak langsung bercap "ISLAM" karena KTP lo berbunyi demikian, khan baiknya kalau ada "official" statement aja langsung dari mulut lo kalau lo sudah "resign" dari agama yang namanya Islam. kayaknya dijaman negara demokrasi/liberal sekarang, bersembunyi di "unsur kekitaan" udah usang dan lagipula lo kan orangnya vokal pemimpin NGO pulak. speak up aja dong.

    oh ya, daripada nguplek-nguplek melulu di Aceh dengan qanun-nya, kenapa engga diurus aja dulu akarnya sekalian ? kan kata lo Indonesia negara sekuler, tapi kok di konstitusi yang diakui agama cuma lima biji. kalau emang sekuler harusnya segala macem bentuk agama boleh masuk dong. iya ga? mulai dari zoroaster sampe talmudism, atau bahkan sampe agama penyembah tikus yang ada di India sana. Thus it's good for you too, though, you don't have to hide behind "Muslim" word in your Identification card, dan tidak mencari-cari lagi unsur "kekitaan" tentunya.

    Cheers

    ReplyDelete
  2. Halo dikau, siapupun dirimu :-). Diterima dengan baik komentarnya :-). Btw agama yg cuma 5 (sebenarnya 6) itu bukan di konstitusi, tp di UU 1/1965.

    ReplyDelete