Monday 11 December 2006

Peraturan Yang Melindungi Hak perempuan

[Catatan Pengantar Diskusi dalam “Seminar on Mechanism and Legislation to Promote Gender Equality in Aceh, Banda Aceh, 6 Desember 2006]

Catatan ringkas ini dibuat dengan asumsi bahwa di dalam seminar ini perdebatan tentang hak perempuan sudah selesai. Sehingga pembahasan diarahkan secara khusus pada bagaimana mendorong lahirnya peraturan perundang-undangan yang melindungi dan mempromosikan hak-hak perempuan.

PERLINDUNGAN DAN PEMAJUAN HAK-HAK PEREMPUAN DALAM PERATURAN

Perempuan seringkali dihadapkan pada penolakan atas hak-haknya. Penolakan atas hak untuk memiliki pilihan-pilihan hidup yang setara dengan laki-laki adalah satu hal. Namun di banyak tempat dan waktu, hak asasi manusia yang mendasar, seperti hak untuk tidak mendapatan kekerasan fisik, bahkan dianggap tidak berlaku bagi perempuan karena ‘kodrat’-nya sebagai perempuan, dan juga kadang sebagai istri. Budaya, bisa dipastikan akan menjadi tantangan terbesar. Tentu saja setiap bicara budaya, kita sesungguhnya sedang berbicara tentang sesuatu yang bersifat struktural. Dan pada komunitas dengan budaya patriarki yang kuat, isu ini menjadi jauh lebih rumit. Apalagi, seringkali ‘budaya’ ini sudah berurat-akar sehingga ada anggapan yang umum bahwa perempuan sudah begitu dihormati dalam kodratnya. Karena itu, pengaturan untuk melindungi perempuan tidak diperlukan karena komunitasnya secara serta merta akan menghormati perempuan. Lantas ‘kodrat’ dan ‘penghormatan’ pun diinterpretasikan dalam konteks budaya yang dominan.Dalam konteks inilah, mempromosikan peraturan perundang-undangan yang melindungi dan mempromosikan hak-hak perempuan menjadi sangat krusial. Peraturan perundang-undangan sebagai instrumen yang legitimate dan bersifat coercive dalam banyak hal seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, peraturan bisa berguna bagi masyarakatnya. Mendorong ketertiban, mendorong perubahan sosial. Di sisi lainnya, peraturan bisa mendorong ketertiban yang tidak adil dan represi bagi kelompok marjinal dalam mendorong perubahan sosial. Begitu pula halnya bagi perempuan. Bila tidak ‘awas’, peraturan justru bisa menjadi instrumen sah untuk menindas perempuan.

Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam mengawal substansi peraturan yang melindungi hak perempuan. Pertama, peraturan yang secara khusus mengatur isu perempuan, misalnya: Rancangan Qanun tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan. Kedua, peraturan yang tidak secara khusus mengatur soal perempuan tetapi berpotensi melanggar hak-hak perempuan, misalnya peraturan ketenagakerjaan yang tidak sensitif terhadap hak-hak pekerja perempuan.

UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) sendiri mengatur beberapa hal mengenai isu perempuan. Salah satunya yang saat ini sedang dibahas adalah Rancangan Qanun tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan. Rancangan yang berisi pernyataan hak-hak perempuan ini pernah dibahas dalam sebuah diskusi terbatas yang diselenggarakan oleh MisPi beberapa minggu lalu dan menghasilkan beberapa kritik yang cukup komprehensif. Namun pertanyaan mendasar yang patut diajukan adalah, apakah Pasal 231 UU PA memang memerintahkan secara kaku dan eksplisit untuk membuat satu qanun untuk mengatur hak-hak perempuan? Bila pun hal ini memang benar dilakukan, tidakkah sebaiknya dimasukkan pula ketentuan yang mensyaratkan adanya pengarusutamaan jender dalam mekanisme perancangan dan pembahasan qanun? Apalagi, UU PA sebenarnya sudah memberikan dasar hukum yang memadai untuk melindungi HAM dan hak-hak perempuan.

Soal Perempuan dalam UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh

No

Isu

Pasal

1.

Tugas gubernur dan wakil gubernur serta walikota dan wakil walikota untuk memberdayakan perempuan

Pasal 44 dan 45

2.

Memperhatikan 30% keterwakilan perempuan dalam pendirian dan kepengurusan partai lokal

Pasal 75

3.

Keterwakilan perempuan dalam MPU

Pasal 138

4.

Prinsip dasar ekonomi Aceh:
Usaha perekonomian di Aceh diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan, penghormatan atas hak-hak rakyat setempat, pemberian peluang dan akses pendanaan seluas-luasnya kepada usaha ekonomi kelompok perempuan, serta pemberian jaminan hukum bagi pengusaha dan pekerja.

Pasal 154

5.

Pendidikan:
Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat termasuk kelompok perempuan melalui peran serta dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengendalian mutu layanan.

Pasal 215 ayat (2)

6.

Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota serta penduduk Aceh berkewajiban memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak serta melakukan upaya pemberdayaan yang bermartabat.

Pasal 231 ayat (1)


Ada dua “jebakan” bagi hak perempuan yang mungkin ada dalam peraturan. Pertama kali tentu saja di dalam substansinya itu sendiri, dan kedua, di dalam rincian kalimat.

Dari segi substansi, beberapa peraturan yang mengatur soal moral dan kesusilaan seringkali menjadi pintu masuk pelanggaran hak perempuan. Sudah jamak bahwa peraturan mengenai kesusilaan memang selalu berdampak negatif pada kelompok marjinal: orang miskin, perempuan, dan lain sebagainya. Karena soal ‘kesusilaan’ adalah soal interpretasi budaya dari kelompok yang dominan. Di sinilah, kelompok-kelompok yang mendorong perlindungan dan promosi hak-hak perempuan harus waspada. Perda Garut No. 6 Tahun 2000 tentang Kesusilaan dan Perda Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran adalah dua contoh konkrit peraturan semacam ini. Karena itu, adopsi kesusilaan dan moral dalam agama dalam hukum positif juga mesti diperhatikan baik-baik.

Dari segi rincian kalimat, yang harus diperhatikan adalah bagaimana konteks budaya dan struktur organisasi lembaga pelaksana peraturan akan menafsirkan kalimat-kalimat tertentu, yang mungkin aslinya tidak diskrimatif terhadap perempuan. Kata-kata memang selalu bekerja dalam konteks.


Catatan lainnya yang harus diperhatikan adalah pentingnya memasukkan mekanisme dan prosedur untuk mendapatkan hak-hak. Pernyataan hak ‘saja’ tidak akan ada manfaatnya dalam peraturan perundang-undangan. Menyatakan hak dalam peraturan perundang-undangan cukup untuk peraturan yang bersifat ‘bill of rights’, misalnya saja konstitusi, dan juga UU HAM dan peraturan perundang-undangan mengenai pengesahan konvensi/kovenan internasional yang terkait dengan hak asasi manusia (mis. Ratifikasi Kovenan Ekosob dan Sipol). Kalaupun perlu ada pernyatan hak (“setiap orang berhak...” atau “perempuan berhak...”) untuk menegaskan adanya hak, pasal ini harus diikuti dengan mekanisme dan prosedurnya. Karena pernyataan hak ‘saja’ tidak bisa diimplementasikan.

MEKANISME YANG MEMUNGKINKAN LAHIRNYA PERATURAN YANG MELINDUNGI HAK PEREMPUAN

1. Keterwakilan

Keterwakilan perempuan mesti ada baik dalam institusi yang merancang peraturan maupun yang membahas peraturan.

Di dalam yang mengkoordinasikan perancangan peraturan (Biro Hukum) seharusnya ada keterwakilan perempuan. Berbeda dengan institusi politik, biro hukum sebagai institusi birokrasi tentunya memiliki sistem rekrutmen yang berbeda sehingg jaminan keterwakilan staf perempuan tidak bisa dipaksakan dalam strukturnya. Karena itu, yang mestinya diperhatikan, bahkan lebih daripada sekadar jumlah staf perempuan yang ada, adalah perspektif jender yang dimiliki oleh para perancangnya. Perancanglah memegang peran yang krusial pertama kali dalam menghasilkan rancangan peraturan, bukan politisi pembahasnya. Sebab pembahasan peraturan oleh legislatif dan eksekutif bagaimanapun akan berdasar pada rancangan yang sudah disiapkan.

Di dalam legislatif, isu keterwakilan perempuan menjadi penting dalam hal pemunculan isu perempuan. Mengawal adalah satu hal, namun memunculkan isu perempuan adalah hal lain. Soalnya, apakah perempuan yang ada di lembaga legislatif juga sudah memiliki perspektif jender yang memadai? Persoalan sistem pemilu dan partai politik tentu bisa menjadi isu di sini, namun upaya penyadaran melalui pelatihan dan jaringan adalah upaya yang sangat dibutuhkan.

2. Partisipasi

Mekanisme partisipasi juga menjadi kunci penting. Sehebat apapun politisi perempuan dan politisi lelaki yang berperspektif perempuan, tetap saja harus ada mekanisme yang memastikan didengarnya suara-suara perempuan dari luar. Sebab banyak pengalaman perempuan yang juga tidak bisa diterjemahkan secara utuh oleh perancang maupun politisi. Misalnya masalah perempuan korban konflik atau masalah perempuan korban traficking. Telah banyak argumentasi mengenai partisipasi. Namun masalahnya tidak kunjung usai karena kata partisipasi justru menjadi arena perebutan makna. Karena partisipasi menjadi salah satu kata kunci dalam pengelolaan negara modern sejak akhir abad 20. Timbul kesadaran akan kelemahan kelembagaan politik. Terutama dalam konteks lembaga perwakilan. Soalnya bukan hanya pada kualitas ketewakilan yang mestinya bisa diukur melalui pola hubungan antara partai/wakil rakyat melalui konstituen, tetapi juga melalui pola pengambilan keputusan di dalam partai dan di dalam parlemen.

Sejak dekade 1990-an, pemerintah menggunakan istilah ‘partisipasi’ atau ‘konsultasi publik’ dalam banyak pembentukan kebijakan. Ada dua pandangan utama mengenai hal ini, yaitu pandangan liberal dan pandangan dalam garis pemikiran Marxisme tentang relasi kelas yang tidak seimbang. Namun bila dilihat lebih dalam, kedua pandangan di atas sesungguhnya berdiri pada pijakan yang sama, yaitu bahwa hukum adalah suatu arena pertarungan kepentingan. Soalnya hanya pada bagaimana kemudian pertarungan itu dilihat: apakah semua kepentingan dianggap sama atau ada kelompok yang dianggap selalu lebih kuat? Dan lantas bagaimana merespon persoalan itu? Karena itu, terlepas dari pandangan mana yang diyakini, partisipasi dalam pembentukan kebijakan selalu dianggap penting.

Dalam konteks kebijakan berperspektif jender, partisipasi perempuan harus dilihat secara khusus. Perempuan, serta kelompok-kelompok marjinal lainnya (yang tidak mempunyai akses kepada kekuasaan), seharusnya mendapatkan mekanisme khusus dalam berpartisipasi. Baik dalam bentuk undangan berpartisipasi, maupun metode partisipasi.

Untuk itulah, penting untuk memasukkan kekhususan bagi kelompok marjinal dalam rancangan Qanun tentang Mekanisme Pembentukan Qanun yang saat ini tengah disiapkan. Dan Qanun itu tidak boleh lagi-lagi hanya mengatur HAK, namun MEKANISME: bagaimana hak partisipasi ini konkrit didapatkan dan kewajiban Pemda dan DPRD untuk secara khusus mengakomodasi suara perempuan.

Di tingkat teknis, sebagai langkah pertama, penting bagi DPRD (DPRA dan DPRK) maupun Biro Hukum Pemda untuk membuat suatu database pemangku kepentingan perempuan, di samping berbagai kelompok kepentingan dalam pembuatan peraturan

No comments:

Post a Comment