Wednesday 21 March 2007

Choice Creating dalam Menyusun Solusi Legislasi

Tadi pagi, sambil sarapan, saya dan Erni membincangkan soal metodologi perancangan. Dalam banyak training yang PSHK selenggarakan, ada satu dari tiga langkah dasar dalam Metode Pemecahan Masalah (problem solving method) yang sangat sulit ditularkan dan disimulasikan. Langkah itu adalah yang terakhir: Menyusun Solusi. Berkali-kali kami coba untuk mengubah cara kami menyampaikan langkah ini, berkali-kali pula kami harus kembali ke metode klasik, yakni ceramah. Biasanya yang kami lakukan adalah kami presentasikan butir-butir teori dan tahapan menyusun solusi, terutama penggunaan skema Sampath untuk menggali dan mengaitkan rincian solusi dengan akar masalah yang sudah dianalisis, kemudian memberi tugas simulasi kepada peserta. Namun, seperti yang kami sangka, metode ini kurang berhasil membuat terang pemahaman peserta. Kadang malah membuat frustasi. Pada akhirnya, solusi yang dibuat peserta tak mengundang inspirasi, tak lengkap dan malah kadang tak lagi peduli pada langkah-langkah yang sudah dijalani denga susah payah sebelumnya yakni: menemukan masalah sosial dan menjelaskan akar masalah sosial. Alhasil proses jadi anti-klimaks.

Saya kebetulan sedang membaca blog Inspirit. Ada satu cerita Mas Dani di situ yang berkaitan dengan choice creating. Yakni suatu perspektif yang dikembangkan untuk melampaui model penyusunan solusi dalam problem solving dengan cara membangun sikap dan proses yang lebih dekat pada membangun imajinasi dan menciptakan pilihan-pilihan cerdas. Saya setuju dengan cara pandang ini. Pertama, tugas perancang yang utama adalah menyodorkan berbagai pilihan kepada para pemimpin politik untuk dipertemukan dengan visi politik besar mereka. Kedua, menyusun solusi sangat berbeda sikap dasarnya dengan mengidentifikasi masalah dan menganalisis akar masalah. Dua langkah pertama tersebut memposisikan perancang sebagai penelusur jejak sejarah, dengan posisi psikologis "memandang ke belakang". Sedangkan menyusun solusi justru sebaliknya, perancang diwajibkan membayangkan situasi yang diidealkan, sehingga secara psikologis "memandang ke depan", sambil membenturkannya dengan kenyataan yang sudah berhasil dikumpul dan diolah. Jadi, menyusun solusi mensyaratkan sikap dasar dan metode yang memang harus berbeda. Perspektif choice creating sepertinya memberi landasan itu.

Saya kira metode ini menarik untuk dipinjam-pakai dalam langkah penyusunan solusi dalam legislative drafting. Sebab, perasaan saya, yang lumayan gagal dalam penyusunan solusi perundang-undangan selama ini adalah ketidakberhasilan perancang membangun cita-cita dan visi dalam rancangan undang-undang. Sehingga, solusi yang tersusun lagi-lagi akan terperangkap ke dalam sistem lama yang bermasalah atau yang lagi trend: penjiplakan. Bisa jadi kelihatan seperti solusi baru, tapi terasa kering dan melulu tambal sulam. Bahkan kadang luar biasa "bodong", seperti gambar di bawah ini...


Lantas bagaimana teknik menerapkan perspektif creating choice. Mari kita coba turunkan ke level praktis.

Kata Einstein, "Imagination is more important than science". Imajinasi butuh proses yang sabar dan tidak biasa. Imajinasi bukan sekadar menghayal. Bukan pula sebuah proses menggugah hasrat untuk menggapai sesuatu atas dasar ideologi atau teori-teori umum. (Yang terakhir ini yang biasanya tergelncir pada metode ends-means dalam legislative drafting). Imajinasi meskipun berorientasi ke masa depan, biasanya tetap terkoneksi dengan konteks dan terhubung dengan masa lalu. Imajinasi berupaya menggali "pengetahuan tersembunyi" (tacit knowledge) yang ada di dalam benak dan memvisualisasikannya menjadi visi yang menggairahkan yang membangkitkan antusiasme. Memang tidak mudah. Bahkan John Lennon sendiri mungkin tak menyadari betul hal itu ketika menggubah "Imagine". Apalagi untuk bangsa ini, yang menurut Mas Dani tak terbiasa berimajinasi secara mendalam. Seringkali yang ditelurkan hanya khayalan yang dangkal dan tak mampu menggerakkan orang. Meskipun diteriakkan dan dipaksakan dengan keras ya tak akan merasuk ke dalam jiwa banyak orang.

Proses pengubahan tacit knowledge menjadi pilihan-pilihan solusi (external knowledge), menurut buku "knowledge management" memang butuh metode dan teknik khusus. Tacit knowledge ada di dalam otak kita tidak dalam bentuk digital atau susunan kata-kata. Tapi berbentuk analog atau susunan gambar-gambar. Bayangkan saja begini: coba anda ceritakan dengan lisan secara lengkap raut wajah salah satu teman sekantor anda, sulit bukan. Kalaupun bisa, pasti kurang lengkap. Lebih mudah sebenarnya bila anda disuruh bercerita sambil dipandu dengan gambar-gambar tertentu, seperti dalam proses identifikasi buronan. Atau dengan cara menganalogikannya dengan sesuatu, seperti: bibirnya bak delima merekah, atau alisnya bak semut beriring (peribahasa yang cukup aneh tapi memudahkan).

Knowledge management menganjurkan sebuah jalinan proses: metafor-analog-model. Metafor, secara halus-mulus menkontradiksi dan pada akhirnya mensintesakan dua atau lebih hal-hal yang wajar (dalam arti biasa-biasa saja, atau pada umumnya) menjadi hal yang baru. Metafor membangun imajinasi yang inovatif. Langkah kedua membuat kita menyelam lebih dalam: membangun analogi. Analogi berguna untuk mengkongkretkan metafor ke dalam pilihan-pilihan cerdas. Di langkah terakhir, pembangunan model, berbagai pilihan tersebut dikembangkan dan diturunkan ke dalam bentuk-bentuk yang kongkret, hingga kasat indrawi dan terukur (measureable). Langkah metafor dan analogi biasanya perlu berbagai macam teknik dan media, khususnya yang bernafaskan seni, seperti menggubah lagu, bernyanyi, menggambar, dan lain sebagainya. Gunanya membangunkan otak kiri, otak yang mendorong imajinasi. Bisa jadi langkah ini dilakukan berkali-kali dan bulak-balik. Jangan terburu-buru, karena kegagalan membangun metafor dan analogi hanya akan mempersulit proses pembangunan model. Pada tahap modelling, penjejakan pada bumi realitas perlu dilakukan secara serius. Pada saat inilah proses koneksi, koreksi, kompromi dengan hasil dari analisis akar masalah mesti dilakukan dengan hati-hati dan jeli, tanpa mengorbankan visi dan menelantarkan imajinasi.

Itu dulu sementara ini. Semoga cara ini lebih merangsang kita menyusun solusi perundang-undangan yang luar biasa dan inspiratif.

Waspada: metode dan teknik ini sampai sekarang belum pernah saya coba sendiri, baru sebatas gagasan saja. Nanti kalau sudah diterapkan akan saya ceritakan kisah kasihnya ... :-)

1 comment:

  1. iseng...mungkin kesulitan dalam menyusun solusi karena...anak sosiologi aja butuh waktu 4-6 taun untuk bisa ngerti masalah sosial, dan ada s2 khusus untuk perencanaan sosial (solusi)...bikin solusi hanya dengan berimaginasi...hmmm, einstein bisa?...einstein IQ nya berapa ya?

    ReplyDelete