Tuesday 13 March 2007

Percobaan Mengelompokkan Undang-Undang

Beberapa waktu lalu, seorang teman bertanya soal kemungkinan legislative review untuk UU Pemekaran Wilayah yang menyebabkan konflik di Kabupaten Banggai. Itu kampungnya. Dia bilang ini undang-undang yang poorly drafted sehingga interpretasinya bisa macam-macam. Bahasa “legislative review” pernah muncul di salah satu putusan MK. Saya bilang, secara prosedural khusus LR ya tidak ada, tapi pada dasarnya itu adalah pemeriksaan (review) yang dilakukan oleh lembaga legislatif, as opposed to judicial review. Lantas saya kasih dia dua usul konkrit.

Pertama, minta hearing kepada Komisi II dengan menggunakan bahasa “legislative review”, politisi yang haus popularitas pasti akan senang dengan kata kunci ini. Apalagi, bila kita posisikan mereka sebagai “penengah situasi konflik” – pahlawan. Dan tentunya, jangan lupa bahwa merekalah yang membuat kekacauan karena produksi UU Pemekaran Wilayah yang tak kunjung dihentikan. Tentu permintaan via surat ini harus didukung dengan lobby agar segera diagendakan. Segera setelah hearing terjadi, buat konferensi pers di media centre DPR untuk mengangkat isu ini sekaligus memberikan tekanan agar aksi LR segera mereka lakukan.

Kedua, minta fatwa ke MK untuk menginterpretasikan UU ini. Ini tidak lazim, tapi segala celah harus dicoba. Karena konflik begitu buruk di sana. Bukan hanya tidak lazim, upaya kedua ini juga sebenarnya kurang tepat, karena urusannya memang bukan konstitusionalitas. Melainkan soal undang-undang yang dirancang dengan buruk sehingga bisa diinterpretasikan berbeda.

Cerita kedua. Kemarin seorang kawan dari Tual datang. Dia dulu peserta pelatihan perancangan di Ngur Bloat, Kepulauan Kei. Lalu kita ketemu lagi waktu saya diminta memberikan sesi untuk pelatihan lobby untuk penyelesaian konflik oleh ITP. In between, saya berkomunikasi terus dan membantu mereka dari jauh, seperti pada kawan-kawan di Kupang. Akhirnya dia berhasil datang. Apa soal? Rupanya elite politik di sana juga mau pemekaran. Halah. Dan dia mau mencegah itu terjadi. “Nggak ada untungnya buat rakyat,” dia bilang, “itu maunya kandidat Bupati yang kemarin kalah pemilihan.” Tentu saja, klise.

Saya agak letih mendengar kata-kata: undang-undang adalah keputusan politik. Ya tentu saja saya setuju. Sudah banyak diakui, dan dikutip dalam berbagai studi PSHK sendiri, bahwa undang-undang memang keputusan politik. Tapi yang membuat kuping letih dan hati kesal adalah bahwa asumsi itu sering dijadikan justifikasi untuk pembentukkan undang-undang yang penuh kepentingan politik tanpa ada pagar, tanpa keterbukaan, dan tidak didasarkan pada kepentingan politik dari konstituennya. Kepentingan politik disempitkan menjadi kepentingan elite politik. Ini salah.

Lalu saya mencoba mensistematiskan pemikiran mengenai undang-undang. Di mana sebenarnya letak UU pemekaran wilayah? Sudah lama dipikirkan, karena menulis catatan awal tahun. Sama pertanyaannya dengan: di mana letaknya UU Ratifikasi dan Penetapan PERPU? Sebab mereka punya kriteria tersendiri. Di bawah ini saya tuliskan sebagian pemikiran itu. Masih setengah matang. Tapi ditulis dululah, sembari mengunyah gagasan. Buat bahan diskusi juga.

Undang-Undang Organik

Saya jadi mikir begini: legislasi pada dasarnya adalah dokumen keputusan politik yang dijadikan hukum dalam suatu wilayah negara. Berkaca dari cerita-cerita soal pemekaran wilayah dan pertanyaan yang banyak dihadapi dalam pelatihan, saya kira kita bisa memilah undang-undang menjadi dua “jenis” (atau bentuk atau entah apa terminologi yang tepat). Pertama, undang-undang yang mengatur relasi-relasi antarmanusia atau antarkelompok dalam wilayah negara dan antara manusia atau kelompok dan negara. Ini yang kita kenal selama ini, yang seringkali dijadikan obyek studi dan pelatihan. Maka di dalamnya ada pengaturan mengenai perilaku dan institusi (perilaku berulang). Kedua, undang-undang yang mengatur badan, organisasi, negara: Undang-Undang Organik. Betul atau tidak secara metodologis untuk memilah undang-undang seperti ini, masih harus didiskusikan lagi. Tapi saya kita ini akan memudahkan untuk melihat undang-undang macam UU Mahkamah Agung, UU Komisi Yusidial, atau UU Susduk. Definisi yang jamak digunakan di Indoneisa, undang-undang organik adalah undang-undang yang mengatur lebih lanjut materi muatan konstitusi.

Saya google kata kunci “organic legislation”, yang muncul legislasi tentang tanaman organik :-), saya coba lagi dengan kata kunci “organic law”, nah ketemu :-).

“An organic law or fundamental law is a law or system of laws which forms the foundation of a government, corporation or other organization's body of rules. A constitution is a particular form of organic law for a sovereign state (sumber: wikipedia).

Definisi lainnya tentang organic law: “law determining the fundamental political principles of a government” (sumber: thefreedictionary.com).

Apa ini berarti undang-undang organik tidak membutuhkan penelitian dengan metode pemecahan masalah? Tidak. Pembedaan ini hanya membantu untuk melihat bagaimana awalnya kebijakan legislasi muncul. Tadi saya bongkar lagi bukunya Bob dan Ann karena penasaran. Tidak ada catatan yang spesifik di situ mengenai soal ini. Akhirnya saya kunyah-kunyah sendiri dan berkesimpulan bahwa penelitian dengan MPM bagaimanapun diperlukan. Bob dan Ann mengingatkan kita pada sesuatu yang penting: perancang adalah perumus konkrit suatu kebijakan yang ditentukan oleh politisi. Perancang menerjemahkan kebijakan besar itu dengan didasarkan pada penelitian (MPM) sebagai pagarnya.

Nah, kebijakan itu ada yang sifatnya murni kebijakan berdasarkan situasi (dalam siklus perencanaan-monitoring-evaluasi kebijakan publik), dan ada juga yang diberikan disainnya oleh konstitusi. Inilah yang bisa dikategorikan sebagai undang-undang organik. Namun bagaimana relasi di dalam institusi itu: pengambilan keputusan, pengisian jabatan, dan sebagainya, bisa dan akan baik sekali bila diisi dengan MPM.

Kebijakan Ketat Kriteria (K3)

Untuk yang ini saya belum menemukan label yang tepat (ada yang bisa bantu?). Intinya, ada undang-undang yang pembuatannya memang dengan kriteria tertentu yang sudah pasti (fixed). Undang-undang pengesahan perjanjian internasional, pemekaran wilayah, dan pengesahan PERPU adalah bagian dari kelompok ini. Masing-masing sudah ada kriterianya. Untuk perjanjian internasional, sudah ada UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Pemekaran wilayah diatur dalam UU 32/2004 dan juga PP 129/2000 (harusnya sudah diganti dan ini yang jadi soal). Begitu juga, PERPU sudah diatur dalam konstitusi (tapi sama sekali belum jelas). Cara penentuan kebijakannya sudah dibuat jelas kriteria dan prosedurnya.

Masalahnya itu tadi: kriterianya sudah harus ditinjau ulang, dievaluasi, dan disempurnakan.

[stop dulu, herni udah nagih kata pengantar :-)]

No comments:

Post a Comment