Thursday 22 March 2007

Eeten zonder betaalen

“Jij….erasmus….rotterdam…kjgjhhgchtgchtgchtghghgh?”. Tersentak saya dari kantuk wawancara penelitian yang agak membosankan itu. Di hadapan saya ada responden penelitian kami, seorang hakim senior, nampak menunggu jawaban. Mulutnya masih agak terbuka mencong sisa mengucapkan pertanyaan dalam bahasa belanda itu.

Merasa harus menjawab dalam bahasa belanda juga, saya akhirnya memaksakan untuk menjawab. Menurut saya, jawaban hasil kursus 2 bulan di masjid Indonesia Rotterdam itu cukup memuaskan. Tapi tidak untuk pak hakim. Walau sejenak, raut wajahnya terlihat agak kecewa, seakan saya telah memupuskan suatu harapan yang dinantinya bertahun-tahun.

Situasi untungnya segera terselamatkan. Rekan peneliti yang menjadi tandem wawancara saya, segera menjawab dalam bahasa belanda yang fasih dengan derajat kemencongan bibir yang nyaris sama. “Iya pak dia ambil master di Rotterdam, kalau saya ambil di Utrecht begitu kira-kira terjemahannya dalam bahasa orang bumi. Pak hakim terlihat puas. Matanya berbinar. Jaman masih normal, begitu mungkin pikirnya.

Saya tentunya bukan ingin curhat soal kemampuan bahasa belanda saya yang payah. Saya ingin mengungkapkan betapa kesenjangan hukum dari masyarakat merupakan suatu konsekwensi logis dari usaha keras para ahli hukum untuk menjauh dari kenyataan hidup.

Ironisnya memang, banyak ahli hukum berusaha keras untuk mencapai pencitraan yang menyesatkan itu. Saya tahu ada seorang ahli hukum senior yang berjuang untuk mengambil kursus bahasa belanda agar bisa hang out dan disejajarkan dengan ahli hukum senior lain. Atau misalnya kisah tentang seorang profesor hukum di DPR yang dalam setiap fit and proper test pajabat bidang hukum selalu mencibir dan melecehkan para pelamar yang tidak mahir bahasa meneer dan mevrouw itu.

Dalam tulisan-tulisan ilmiah hukum ataupun praktek, menuliskan “badan hukum” tanpa ada kata “rechtpersoon” di dalam kurung seakan kurang canggih. “Perbuatan melawan hukum” tanpa padanan “onrechtmatigedaad” seakan kurang garang.

Tidak hanya soal bahasa, kesenjangan itu juga tercermin dari usaha pembedaan dalam hal gaya hidup yang lain. Ibu hakim senior dengan rambut sasak tinggi, advokat dengan pakaian warna nggak matching, rancangan kontrak atau pasal yang panjang dan ruwet dll.

Selama perilaku pembedaan (othering) dari para ahli hukum ini terhadap masyarakat terus berlangsung, jangan mimpi ada hukum ataupun penegakan hukum yang masuk akal bagi masyarakat. Ahli hukum hidup dan bekerja di dunianya sendiri yang beda nila-nilai ataupun etika-nya.

Generasi “Londo oriented” memang satu persatu mulai pergi. Tentunya kita sebagai generasi muda perubahan hukum harus mengambil hal-hal baik yang mereka tinggalkan. Pastikan saja yang kita ambil bukan pencitraan eksklusifnya yang senjang dari masyarakat. Bayangkan saja 30 tahun dari sekarang, pada saat bahasa Cina sudah jadi bahasa Internasional, kita yang lebih “Amrik oriented” berusaha berkomunikasi dengan ahli hukum muda dalam bahasa inggris. Wo pu ce tao! Begitu mungkin jawab mereka.

-ery-

No comments:

Post a Comment