Dalam buku “Legislative Drafting for Social Democratic Change: A Manual,” (Kluwer Internasional, 2000) Bob, Anne Seidman dan Abeysekere menggunakan terma Role Occupant (RO) sebagai istilah yang menunjukan kategori subyek yang menjadi target atau sasaran pengkajian dan implementasi aturan-aturan perundang-undangan. Dalam buku terjemahan Indonesia yang diterbitkan ELIPS Project II, RO diterjemahkan menjadi ‘Pelaku Peran’ (cat. menurut saya lebih tepat: ‘pengemban peran’).
Istilah ini dalam kajian sosiologis biasa digunakan oleh para pengikut Emile Durkheim

Durkheim percaya bahwa individu hanyalah bagian dari masyarakat. Yang membedakan satu individu dengan individu lainnya adalah perannya (role) dalam masyarakat. Peran-peran tersebut diemban oleh individu semenjak lahir dan disosialisasikan oleh komunitas sepanjang hidupnya. Peran-peran tersebut yang kemudian menjadi ‘perekat’ harmonisasi interaksi antar individu dan kelompok dalam suatu masyarakat. Perekat yang utama dalam kesinambungan hidup masyarakat menurut Durkheim adalah HUKUM.
Individu yang menyimpangi perannya dianggap mengganggu keserasian hidup bersama di dalam komunitasnya. Sehingga Ia patut dikenai sanksi yang tujuannya adalah untuk mengembalikan keseimbangan (equilibrium) kosmos yang terganggu oleh ulah individu tersebut. Sanksi, fungsi utamanya adalah menjadi sarana penyembuh masyarakat, bukan pengobat tabiat individu. Individu yang ‘sakit’ kalau bisa dikembalikan ke jalan yang benar, ya syukur. Tapi kalau tak bisa, ya tidak apa-apa, yang penting masyarakat ‘normal’ kembali. Makanya, kalau dalam pandangan ini, hukuman mati atau pengusiran jadi salah satu pilihan lumrah dalam penjatuhan sanksi .
Dengan begitu, Individu tak lain dan tak bukan hanyalah pengemban peran. Bila perannya dihilangkan, maka ia tak lagi eksis sebagai anggota masyarakat. Bila sebagian saja perannya ditiadakan, maka sebagian “hak”nya dalam ruang dan waktu tertentu juga diabolisi. Sehingga tak heran bila di dalam suatu masyarakat kaum perempuan tak punya hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, sebab perannya dalam ruang publik ditiadakan oleh masyarakat (yang didominasi laki-laki) tersebut. Atau, mereka hanya boleh bekerja kalau mendapatkan ijin dari suaminya atau bapaknya, sebab ruang publik bukanlah tempat utamanya berperan.
Individu sebagai subyek seolah-olah hilang dalam pandangan Durkheimian. Sebab, tanpa peran Ia bukan lagi subyek. Masyarakatlah yang menentukan jati diri subyek. Masyarakat selalu superior terhadap indvidu. Hukum, oleh karenanya mesti luhur dan diluhurkan. Dalam negara-bangsa modern, hukum yang luhur idealnya murni dari campur tangan anggota masyarakat yang berkepentingan dan yang berkuasa. Kalaupun ia dihasilkan dari kegiatan politik dan ekonomi, ia bisa dicabar dalam ruang steril kuasa, yakni pengadilan. Pengadilan menjadi penjaga sesuatu ‘yang luhur’ itu. Dengan demikian, si pengemban peran punya kepastian terhadap perannya (termasuk hak-haknya) dalam masyarakat.
Terhadap cara pandang Durkheimian tersebut, Soetandyo Wignjosoebroto menggugatnya (lihat dalam berbagai tulisan dalam bukunya Hukum: Paradigma, Teori dan Metode, terbitan Huma, Walhi dan Elsam, 2002). Menurutnya, Individu tak mungkin direduksi jadi sebatas pengemban peran dalam masyarakat. Sebab, individu diciptakan sebagai mahluk berbudi, kreatif dan rasional. Ia tak melulu (harus) tunduk terhadap masyarakat di mana dia hidup dan bertumbuh-kembang. Ia dianugerahi kemampuan untuk ‘memilih’ (choose) dan ‘bertindak’ (action) mandiri. Kala Ia siap mengarungi kehidupan sebagai Individu dewasa, Ia adalah subyek yang menggendong penuh hak-haknya sebagai manusia yang utuh. Sehingga perlakuan yang patut terhadapnya adalah: perlakuan yang mengajaknya berpikir, perlakuan yang beradab dan perlakuan yang menantangnya untuk berkreasi/berkarya.
Pandangan Pak Tandyo ini tentu saja dipengaruhi oleh garis pikir dasar Weberian dan

Terbalik dengan apa yang dipikirkan Durkheim, Individu dalam pandangan Weberian dan Konstruksionis adalah pembentuk masyarakat. Tak ada masyarakat tanpa Individu, atau dengan bahasa lain; masyarakat tak ubahnya penjumlahan individu-individu yang berkemampuan mengubah sejarah. Dengan begitu, masyarakat yang sehat adalah yang memberikan kesempatan dan ruang kepada individu untuk bertindak bebas merdeka. Sebab kebebasan adalah pangkal dari tanggung jawab. Dan, tanggung jawab ialah modal dasar keserasian hidup bersama. Begitu kata seorang filsuf dari Amerika sana.
Alhasil, konsep Role Occupant jadi tidak cocok dengan pandangan yang belakangan ini. Dalam beberapa literatur, kaum weberian dan konstruksionis mengistilahkan pihak yang menjadi sasaran pengaturan dengan ‘Aktor Sosial’. Kesan yang timbul dari konsep itu adalah individu yang aktif (berpikir dan bertindak) dalam sebuah arena sosial.
Konsekuensi dari pilihan dua cara pandang tersebut bagi Perancang Progresif adalah pilihan perspektif dan metode yang digunakan dalam mengidentifikasi masalah sosial, mencari penyebab dan yang terpenting dalam menyusun solusi.
Jadi apakah konsep Role Occupant atau Pengemban Peran masih memadai untuk Perancang Progresif?
Ps. Sesungguhnya masih ada satu pandangan lagi yang perlu diajak diskusi, untuk memperkaya dan mempertajam cara pandang kita. Mungkin dalam kesempatan yang lain...
No comments:
Post a Comment