Wednesday 11 May 2011

Sumba Barat: Manda Elu #1

Manda elu artinya ‘Sumba yang elok’. Keindahan alamnya tidak bisa diperdebatkan lagi. Alam menjadi kekayaan yang memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari mereka. Tidak hanya sebagai sumber daya yang dimanfaatkan sebagai kebutuhan hidup yang bersifat materi, alam juga menjadi salah satu nilai penting dalam kehidupan sosial. Setidaknya, itulah yang saya lihat di Sumba Barat.

Saya mendapat kesempatan untuk pergi ke Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur bersama PSHK. Konon, Sumba Barat begitu luas. Sejak mengalami pemekaran, daerah itu terbagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Sumba Barat, Sumba Barat Daya, dan Sumba Tengah. Di sana, kami diminta untuk membantu membuat Rancangan Peraturan Daerah tentang Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif.

Setelah berdiskusi dengan teman-teman di Sumba Barat, tercetuslah 15 April 2011 sebagai awal dari rangkaian acara. Dua minggu sebelumnya, teman-teman di Sumba Barat yang sebagian besar tergabung dalam Yayasan Bahtera sudah turun lapangan untuk mengumpulkan data. Kami mengusulkan beberapa pertanyaan terkait dokumen, media, dan forum yang harus dijawab oleh warga Sumba Barat.

Acara dimulai dengan mengejewantahkan hasil penelitian lapangan yang dilakukan oleh teman-teman di Yayasan Bahtera. Kemudian, hasil penelitian itu ditunjukkan kepada warga secara lebih luas, berikut para pemangku kepentingan. Terakhir, perancangan peraturan daerah tentu saja menjadi jadwal di akhir. Hasil akhir yang diharapkan ada di tangan adalah rancangan akhir Peraturan Daerah tentang Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif Sumba Barat, berikut naskah visual dan naskah akademiknya.

Katakan Kepada Kami
Dua hari pertama, kami mendekam di kediaman Yayasan Bahtera bersama teman-teman yang lain. Tentu saja, perkenalan menjadi pembukaan. Semua peserta sibuk menempel sticker yang kami bawa di mandalanya. Gempar, terbukti sudah! Banyak peserta bekerja keras demi daerahnya dengan sepenuh hati. Air mata menetes ketika menceritakan impiannya tentang Sumba Barat dan yayasannya.

Tetesan air mata tersebut justru menambah semangat acara. Untuk membuatnya menjadi sistematis, peserta dibagi menjadi tiga kelompok. Pembagian dilakukan berdasarkan inisiatif forum, yaitu program, pemerintah, dan warga sendiri. Hal itu menunjukkan fasilitator dalam setiap forum warga yang kemudian menjadi media partisipasi warga. Selama dua hari, kami dan teman-teman siap memaparkan hasil penelitian. Semua forum sudah dijabarkan, termasuk fasilitator, peserta, metode, dokumen, biaya, waktu, persiapan, dan informasi lain yang teman-teman miliki.

Secara keseluruhan, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa warga Sumba Barat mempunyai banyak forum nonformal yang melibatkan semua elemen. Wadah untuk menyampaikan suaranya begitu besar. Sifat kekeluargaan yang dibangun oleh budayanya membuat Sumba Barat patut menuntut Ranperda Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif. Warga Sumba Barat sudah menunjukkan kesiapannya; hanya menunggu waktu untuk melegitimasikannya.

Hasil yang luar biasa tersebut tentu saja tidak bisa ditunjukkan dengan sesuatu yang biasa. Setelah dirundingkan, kami sepakat untuk menampilkannya dalam bentuk pentas drama keesokan harinya dalam acara seminar. Tanpa menghilangkan partisipasi, kami pun mengajak warga. Beberapa orang ditelepon, beberapa orang didatangi rumahnya, beberapa lainnya dicegat di jalan. Semua siap bergabung. Setengah hari sebelumnya, kami sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Naskah, setting, kostum, pembagian peran, dan hal seru lain membuat kami tak sabar.

1 comment:

  1. Mbak Erni, Mas Rival, Mas Tommy, teman-teman PSHK dan Inspirit. Luar Biasa! Proses ini masih hangat diperbincangkan di SUmba Barat. "Membicarakan hukum/aturan dengan hati yang sejuk suasana tidak tegang, gembira, bersahabat....dan kami dari desa pun tidak merasa tertinggal saat bicara Perda" Ini komentar-komentar dari peserta. Terima kasih banyak untuk dukungan yang luar biasa dan sangat inspiratif.....salam hangat dari Sumba, Martha

    ReplyDelete