Thursday 28 April 2011

Mendialogkan HAM dalam Perancangan Undang-Undang

Oleh: Giri Ahmad Taufik

Pasca-Perang Dunia II, gagasan constitutionalism telah menyebar secara cepat dan masif ke seantero dunia. Hampir 2/3 dari penduduk dunia saat ini, setidaknya secara nominal, hidup di bawah gagasan besar constitutionalism. Setidaknya terdapat tiga pilar utama dari gagasan constitutionalism, yakni, pemisahan kekuasaan, kekuasaan yang saling mengawasi dan mengimbangi, serta perlindungan hak-hak asasi manusia.

Salah satu bentuk implementasi dari gagasan constitutionalism dalam hukum, ialah berperannya institusi pengadilan di dalam melakukan dinamika ‘pembuatan’ undang-undang sebagai institusi kontrol, melalui mekanisme hak uji pengadilan (judicial review). Peran pengadilan ini menjadi mekanisme penting untuk menilai sejauh mana sebuah undang-undang berselaras dengan hak-hak asasi manusia yang dipositifkan ke dalam konstitusi.

Hak Uji Pengadilan Yang Problematik

Gagasan constitutionalism, terutama dalam hak uji pengadilan, merupakan sebuah gagasan yang kontroversial. Bahkan, di banyak negara-negara yang mapan demokrasinya, terutama negara-negara Anglo-Saxon, memberikan kewenangan bagi pengadilan untuk melakukan koreksi terhadap keputusan parlemen adalah problematik. Kanada sebagai contoh, baru pada tahun 1982 memberikan kewenangan bagi pengadilannya untuk melakukan hak uji, yang kemudian diikuti oleh Inggris pada tahun 1998, kemudian diikuti oleh beberapa negara bagian (states) Australia namun ditolak oleh pemerintah federalnya.

Bagi negara-negara Anglo-Saxon, yang memiliki tradisi sistem pemerintahan parlementer yang kuat, memberikan pengadilan kewenangan untuk mengoreksi keputusan parlemen merupakan pengkhianatan terhadap tradisi parlementer. Sistem parlementer memposisikan parlemen sebagai kekuasaan omnipotent yang tidak dapat diganggu gugat kecuali oleh parlemen itu sendiri. Selain itu, menyerahkan sebagian kekuasaan legislasi pada segelinitir orang merupakan sebuah bentuk defisit demokrasi.

Kedua argumen tersebut begitu kuat sehingga memperlambat proses pengadopsian hak uji pengadilan di negara-negara tersebut. Namun demikian, untuk menjustifikasi keberadaan hak uji pengadilan, ahli politik dan hukum di negara-negara itu, melakukan rasionalisasi terhadap hak uji pengadilan, bahwa ‘campur tangan’ pengadilan dalam proses legislasi merupakan sebuah bentuk dialog antarkekuasaan yang dapat memajukan perlindungan hak-hak asasi manusia. Hak uji pengadilan tidak perlu dipandang sebagai pelemahan parlemen atau bentuk defisit demokrasi, melainkan sebuah mekanisme yang dapat menciptakan ruang bagi diskursus/dialog HAM di dalam perancangan sebuah undang-undang.

Dialog HAM dalam Konteks Indonesia

Dalam konteks Indonesia, diskursus HAM dalam perancangan undang-undang sangatlah potensial untuk dilakukan dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi. Keberadaan MK sebagai lembaga pengoreksi undang-undang, memiliki nilai strategis dalam mendialogkan HAM. Namun, dialog HAM dalam proses pembuatan undang-undang belum berjalan optimal. Dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis, dalam kurun waktu 2003-2011 (11 Maret 2011), terdapat 283 putusan pengujian undang-undang, di mana hampir 60%-nya merupakan perkara yang terkait atau setidaknya menggunakan argumentasi HAM.

Walaupun belum ada penelitian lebih lanjut mengenai tingkat kesuksesan penggunaan argumentasi hak dalam membatalkan undang-undang, tetapi hal itu mengindikasikan bahwa terdapat peningkatan kesadaran masyarakat atas perlunya perlindungan dan penghormatan HAM oleh pemerintah. Masyarakat melihat keberadaan MK sebagai institusi yang strategis menyuarkan aspirasi mereka terkait HAM. Oleh karenanya, keberadaan MK dapat dijadikan sebuah bentuk insentif untuk menginisiasi dialog di dalam perumusan undang-undang pada saat sesi-sesi, baik di parlemen maupun pemerintah.

Dialog mengenai HAM sangatlah bermanfaat ditilik dari pengembangan perlindungan dan penghormatan HAM di suatu negara. Hal ini dikarenakan pengembangan HAM memiliki karakter yang evolutif dan gradual. Dalam proses yang evolutif dan gradual, dialog merupakan kunci terpenting dalam mendorong perkembangan progresif sebuah gagasan.

Dalam perancangan undang-undang, hal yang perlu dilakukan untuk menginisiasi dialog HAM ialah dengan memasukkan poin keselarasan HAM ke dalam naskah akademik suatu undang-undang sebagai poin wajib. Seperti kita ketahui, naskah akademik suatu undang-undang setidaknya harus memuat tiga poin wajib, yakni, poin urgensi pengaturan, poin ruang lingkup pengaturan dan poin cara pengaturan. Dengan penambahan poin keselarasan HAM, hal ini setidaknya dapat memicu perdebatan di dalam proses pembuatan undang-undang tersebut. Dengan demikian, diharapkan dapat berkontribusi terhadap penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.

No comments:

Post a Comment