Monday 25 April 2011

Inflasi Tindak Pidana

Oleh: Giri Ahmad Taufik

Pada masa awal reformasi (1998-2000), salah satu pakar hukum tata negara Indonesia mengemukakan kekhawatirannya terhadap banyaknya jumlah undang-undang yang diproduksi oleh lembaga legislatif. Kekhwatiran timbul dikarenakan perencanaan yang tidak matang, sehingga dikhawatirkan produksi undang-undang melebihi apa yang dibutuhkan oleh masyarakat (Inflasi undang-undang). Kekhawatiran pakar hukum tata negara tersebut cukup beralasan, mengingat memproduksi suatu undang-undang dalam waktu yang singkat akan menimbulkan persoalan mengenai kualitas dari pengaturan undang-undang tersebut.

Pada saat ini, keresahan yang sama juga melanda penulis ketika melakukan penelitian mengenai jumlah undang-undang yang memuat tindak pidana di Indonesia. Dalam kurun waktu 14 tahun, tercatat terdapat 43 undang-undang yang memuat ragam tindak pidana di luar KUHP (Pidana Khusus). Jika ditilik dari dari kuantitas, mungkin sebagian dari kita akan menganggap bahwa hal tersebut tidaklah terlalu signifikan. Namun, jika dilihat lebih dalam lagi, terdapat dua kekhawatiran dengan kuantitas tindak pidana yang demikian. Hal ini terkait dengan infrastruktur penegakan hukum dan kulitas rumusan delik dari undang-undang tersebut.

Infrastruktur Penegakan Hukum

Infrasturktur penegakan hukum merupakan faktor penting dalam menegakkan suatu norma hukum apapun. Infrastruktur penegakan hukum ini meliputi, pengadilan, kejaksaan, kepolisian, dan aparat pemerintahan lainnya. Terkait dengan persoalan di atas, persoalan yang timbul adalah sejauh mana sumber daya infrasturktur penegakan hukum Indonesia mampu mengembang 43 pidana khusus ditambah dengan tindak pidana KUHP. Tentu untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan sebuah penelitian yang mendalam. Namun penulis memiliki hipotesis bahwa, sumber daya penegak hukum konvensional tidaklah memadai. Kepolisian misalnya, dengan spesialisasi keahlian yang terbatas, harus menangani tindak pidana non-KUHP. Secara kuantitas, 43 pidana khusus ditambah tindak pidana KUHP dengan penegakan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), memberikan beban yang besar bagi kepolisian dalam melaksanakan tugasnya.

Tentu persoalan di atas sangatlah disadari oleh pembentuk undang-undang. Untuk mengatasi persoalan persoalan tersebut, dibuatlah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang berasal dari domain sektor tindak pidana tersebut. Justru hal ini menimbulkan persoalan, dalam iklim pemerintahan yang tidak bersih, hal ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Kekuasaan di bidang pidana, merupakan kekuasaan besar yang sangat potensial untuk melakukan tindakan pemerasan dan pelecehan oleh aparat pemerintahan. Sehingga, keberadaan PPNS akan menyebabkan penyebaran penyalahgunaan kekuasaan.

Kualitas Rumusan Delik

Persoalan kedua, hal ini terkait dengan kualitas rumusan delik. Merumuskan sebuah perbuatan pidana bukanlah perkara mudah dan tidak seharusnya dimudahkan. Terdapat satu syarat penting di dalam perumusan sebuah tindak pidana, yakni prinsip lex certa. Prinsip lex certa mengisyaratkan bahwa sebuah rumusan tindak pidana harus dirumuskan secara pasti dengan kualifikasi yang jelas dan sebisa mungkin menghilangkan ruang tafsir yang terlalu bebas bagi pelaksana undang-undang maupun masyarakat umum. Pemenuhan prinsip lex certa dalam sebuah perumusan tindak pidana adalah mutlak, mengingat pemidanaan seringkali menimbulkan penderitaan mental dan fisik bagi orang yang dihukum. Hal ini merupakan bagian terpenting dalam proses hukum yang wajar dan layak dalam sebuah sistem pemidanaan.

Hal yang patut dicatat adalah seringkali rumusan pemidanaan yang dibuat seringkali tidak memenuhi prinsip lex certa. Kita sangat paham betul berbagai undang-undang kontroversial, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau UU Pornografi, telah menimbulkan polemik yang luar biasa. Pada tataran pelaksanaan, undang-undang tersebut telah menjadi instrumen represif dibandingkan untuk melindungi kebebasan, keamanaan, dan kententraman masyarakat.

Rumusan yang ambigu dan cenderung lentur, acap kali menyebabkan digunakannya pidana khusus secara sembarangan. Pada tataran praktek, seringkali seorang tersangka dipidanakan menggunakan 4 undang-undang yang berbeda sekaligus. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran bagi kita semua, bagaimana dengan gampangnya seorang aparat hukum, mencari-cari kesalahan masyarakat dengan menggunakan undang-undang yang lentur dan ambigu tersebut.

Selain prinsip lex certa, ancaman pemidanaan hendaknya juga digunakan secara hati-hati dan proposional. Dalam perancangan suatu ketentuan hukum, hendaknya ancaman pidana merupakan instrumen terakhir yang digunakan sesudah instrumen hukum lainnya, i.e, administrasi. Ketidakproporsional dari penggunaan ancaman pidana misalnya dapat terlihat dari UU Keimigrasian yang baru disahkan. Dalam undang-undang tersebut, dapat dilihat bagaimana sebuah kesalahan yang sifatnya administratif, tidak melaporkan orang asing, dipidana dengan ancaman pidana penjara dan denda yang substansial.

Berangkat dari pemaparan di atas, ada baiknya jika kita melihat lebih dekat dan secara lebih kritis untuk menilai perlu atau tidaknya sebuah undang-undang ataupun peraturan daerah dapat mengandung ancaman pidana. Inflasi tindak pidana jika tidak, dalam jangka panjang negeri ini akan dibanjiri oleh ancaman hukum pidana, dan pada saat itu terjadi kebebasan kita sebagai individu akan hilang.

2 comments:

  1. wah kalo dari data yang gw punya undang-undang yang memuat ketentuan pidana dari tahun 1999-2010 lebih dari 43 UU. Total UU yang mengatur ketentuan pidana sejak 1999 sebanyak 108 buah, yang masih berlaku sebanyak 100 buah.

    ReplyDelete
  2. Wah iya sil ..., lebih gila lagi. Soalnya datanya diretrive dari datanya MA untuk mengakategorikan kejahatan di laporan perkara. Entar dicek lagi, datanya.

    ReplyDelete