Tuesday 12 April 2011

Sanksi dalam Peraturan Daerah

Oleh: Irfan R. Hutagalung

Paper ini memuat ringkas aspek-aspek konseptual dan teknis menyangkut pemuatan sanksi di dalam peraturan daerah (perda). Dibuka dengan argumen ringkas tentang diperlukannya ketentuan sanksi disusul dengan panduan bagaimana menentukan kejahatan. Disebutkan pada bagian berikutnya bahwa aspek non hukum harus sangat diperhatikan dalam menentukan sanksi dimaksud. Selanjutnya soal penghukuman (punishment) yang mengacu pada ketentuan undang-undang yang berlaku disebutkan pada dua bagian terakhir paper ini, sebelum ditutup dengan kalimat perundang-undangan tentang menuliskan aturan sanksi di dalam batang tubuh perda.

A. Mengapa Perlu Menentukan Sanksi

Undang-undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menentukan bahwa perda, sebagaimana halnya undang-undang, dapat memuat ketentuan sanksi berupa pidana kurungan, denda, dan administratif. Kemudian, Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Pasal 143, secara spesifik mengatur batasan otoritas perda dalam menentukan besaran atau jumlah sanksi yang dapat diberikan untuk dua jenis sanksi yang disebut pertama. Dua ketentuan dasar ini membawa ke suatu pertanyaan pokok sebelum sampai ke pembahasan yang lebih spesifik tentang sanksi: Mengapa ketentuan sanksi dan penghukuman baik itu pidana pokok maupun pidana tambahan diperlukan dalam suatu peraturan perundang-undangan (dalam hal ini peraturan daerah)?

Terlepas luasnya dan beragamnya pemahaman fungsi hukum (tertulis) dan perundang dalam suatu negara, salah satu fungsi hukum yang lajim diterima secara luas adalah bahwa seperangkat norma itu merupakan instrumen untuk mengarahkan seperangkat perilaku individu atau kelompok masyarakat untuk suatu tujuan tertentu. Konsekuensi dari upaya mencapai tujuan spesifik tadi, negara lewat organ tertentu yang dimilikinya, perlu memastikan bahwa seperangkat perilaku dimaksud termaterialisasi (terimplementasi). Salah satu upaya untuk memastikan terselenggaranya hal ini dilakukan dengan menetapkan sanksi bagi siapa saja yang tidak berperilaku sebagaimana ditentukan.

Namun, perlu segera ditegaskan di sini bahwa upaya memastikan terimplementasinya serangkaian perilaku yang diinginkan oleh perundang-undangan, tidak selamanya harus dilakukan dengan penentuan sanksi. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dan diperhatikan dalam memastikan agar pihak-pihak yang diperintahkan untuk berperilaku tertentu mau bertindak sebagaimana diinginkan oleh perundang-undangan. Hal ini akan dibahas kembali pada bagian C di bawah.

B. Menentukan Kejahatan (Pelanggaran)

Dalam menentukan sanksi, sesungguhnya telah termuat terlebih dahulu tindakan penentuan perbuatan (baik itu commission ataupun ommission) yang dilarang. Dengan kata lain, penentuan sanksi terjadi setelah terlebih dahulu ditentukan mana perbuatan yang dimasukkan sebagai kejahatan (pelanggaran) dan mana yang bukan. Tindakan ini lajim disebut kriminalisasi. Menentukan apa perbuatan yang dilarang adalah satu tindakan sentral dalam pemuatan aturan sanksi dalam peraturan perundang-undangan termasuk perda.

Pada prinsipnya, ada dua macam kejahatan: Mala in se dan Mala prohibitum. Mala in se adalah kejahatan yang karena nature-nya dinilai selamanya sebagai kejahatan. Mala in Prohibitum adalah suatu kejahatan yang oleh suatu keputusan -lewat perundang-undangan- dinyatakan sebagai kejahatan. Kejahatan yang ditentukan dalam perda seharusnya dan pada prinsipnya adalah kejahatan jenis kedua ini. Sementara kejahatan yang disebut pertama pada dasarnya telah dimuat dalam KUHP termasuk sebagian pada ketentuan-ketentuan pidana lainnya dalam beragam undang-undang. Bahkan, sebelum asas legalitas muncul, kejahatan ini telah dilarang dalam hukum tak tertulis.

Persoalan penting yang harus dijawab oleh perancang dan kemudian oleh legislature sebelum menuliskan dan memutuskan pasal-pasal tentang sanksi adalah menentukan mana perbuatan yang dilarang (crime) dan mana yang bukan. Lalu menentukan jenis hukuman ketika perbuatan terlarang itu dilakukan.

Tidak mungkin menentukan dengan pasti dan rigit atau membuat semacam daftar perbuatan yang harus disebut sebagai kejahatan di dalam perda. Namum beberapa panduan dapat disampaikan di sini.

1. Mengingat Ruang Lingkup Materi Muatan Perda.

Undang-undang 10 tahun 2004 dan UU No 32 tahun 2004 telah menentukan ruang lingkup materi muatan perda. Pasal 12 UU No.10/2004 menyebutkan:

Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Atas dasar ini, menentukan perbuatan yang dilarang harus berkesesuaian dengan norma perda secara keseluruhan sebagai bagian dari penyelenggaraan otonomi daerah, tugas perbantuan, penjabaran lebih lanjut peraturan perundangan di atasnya, atau menampung kondisi khusus daerah.

2. Mengingat Prinsip Hirarki Perundang-undangan

Menurut dengan prinsip hirarki perundang-undangan dan senapas dengan poin pertamadi atas, perda tidak boleh mengatur kembali ketentuan pidana yang sama atau mengatur suatu jenis kejahatan yang bertentangan dengan ketentuan yang diatur oleh UU. Termasuk juga jenis sanksinya. Menuangkan ketentuan sanksi yang bertententangan dengan ketentuan di atasnya lajim dikenal sebagai ultra vires

3. Pastikan Menentukan Kejahatan Baru

Seperti telah disebut di atas, cakupan kejahatan yang dapat dimuat dalam perda adalah kejahatan (pelanggaran menurut istilah KUHP) mala prohibitum. Dan mengingat bahwa kejahatan (mala in se) sudah dimuat di dalam KUHP dan UU lain, maka perda tentu tidak boleh menyebut atau mengatur ulang kejahatan-kejahatan yang sudah ditentukan di dalam perundang-undangan dimaksud. Hal ini membawa konsekuensi bahwa perda harus menentukan kejahatan baru di luar yang telah diatur oleh UU sembari mengingat poin (1) dan (2) di atas.

(Latihan: Periksalah ketentuan pidana Perda Kabupaten Serang No.5 Tahun 2006 Tentang Penanggulan Penanggulan Penyakit Masyarakat, apakah telah lulus tes tiga kategori di atas).

C. Pertimbangan Non-Hukum

Dalam perancangan perundang-undangan termasuk perda, pertimbangan dalam menentukan perlu tidaknya membuat ketentuan sanksi tidak semata-mata menyangkut aspek yuridis. Pertimbangan yang paling menonjol seringkali justru pada aspek non hukum.

Individu maupun kelompok dalam memutuskan bersedia mengikuti apa yang diperintahkan dan dilarang oleh ketentuan perundang-undangan, tidak semata-mata karena faktor ada tidaknya ancaman hukuman yang menyertai larangan atau perintah dimaksud. Oleh karena itu, sebelum menentukan ancaman hukuman atas perbuatan tertentu, pastikan untuk menjawab terlebih dahulu pertanyaan berikut:

Mengutip Seidmans, “Mengapa orang berperilaku sedemikian rupa di hadapan hukum?” (why do people behave as they do in front of law).

Orang berperilaku tertentu di hadapan hukum karena misalnya: aturannya membingungkan; ketiadaan atau kekurangan kemampuan; adanya kepentingan tertentu; terbukanya kesempatan atau peluang; atau katena menganut pandangan/kepercayaan/ideologi tertentu. Contoh: Perlukah dibuat ancaman pidana bagi para siswa atau orang tua yang tidak memenuhi ketentuan wajib belajar?

Jika pertanyaan di atas telah berhasil dijawab. Satu aspek lain yang perlu pula dilakukan sebelum menentukan perlu tidaknya membuat aturan sanksi adalah melakukan kajian analisis menyangkut biaya dan manfaat atas diaturnya ketentuan sanksi itu. Analisis biaya dan manfaat ini dapat disederhanakan lewat pertanyaan berikut: Siapkah organ pemerintah dan aparatnya untuk melakukan penegakan hukum?; Siapkah pemerintah daerah secara finansial membiayainya?; Jika biaya ekonomi dapat dihitung relatif akurat, bagaimana dengan biaya sosialnya? Lalu, sebandingkan biaya-biaya ini dengan manfaat ekonomi dan sosial yang akan didapat? Dengan melakukan kajian ini, persoalan seputar keefektivitasan ketentuan sanksi juga akan terjawab.

(Nilailah Keefektivitasan ketentuan sanksi Perda Provinsi DKI Jakarta No.2 tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemenaran Udara)

D. Menentukan Hukuman Atas Kejahatan

Setiap kejahatan membawa konsekuensi penghukuman. Pada prinsipnya setiap orang yang terbukti melakukan kejahatan dapat dihukum. Kata dapat pada kalimat ini tentu berarti bisa dihukum bisa juga tidak. Ini tergantung pada hal berikut: orang yang dipersalahkan dapat bertanggung-jawab; penghukuman bukan atas dasar kejahatan yang ditentukan berlaku setelah kejahatan itu dilakukan (retroactive). Juga seorang tidak dapat dihukum dua kali atas perbuatan kejahatan yang sama (double jeopardy).

Dua pandangan utama memberi justifikasi mengapa penghukuman harus dilakukan. Pertama, berangkat dari filsafat utilitarianism, penghukuman adalah untuk menimbulkan efek jera (deterrence effect) . Kedua penghukuman dibuat guna membalas kejahatan yang dilakukan (retributivism). Kedua pandangan ini dalam kenyataan praktik perundang-undangan tidak dalam posisi bersaing tetapi saling melengkapi. Walaupun demikian, belakangan mucul pula pandangan yang mengktitik dua pandangan dominan ini. Dua pandangan dimaksud dinilai kurang memperhatikan aspek rehabilitasi terutama bagi korban kejahatan yang masif dan sistematis seperti kejahatan hak asasi manusia yang berat.

Pertanyaan yang lebih mendesak untuk dijawab kemudian adalah kadar dan jenis hukuman apa yang patut dikenakan pada pelaku perbuatan yang dilarang?

Pertanyaan yang sesungguhnya sulit dijawab itu pada pokoknya telah tersedia jawabnya di UU No. 32/2004. Pasal 143 UU itu menyebutkan:

(1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundangan.

(2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(3) Perda dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya.

Dari ketentuan ini, terlihat dua jenis pidana yang lajim dikenal yakni pidana kurungan dan pidana denda sebagai pidana pokok dan sekaligus menentukan semacam pidana tambahan berupa ‘biaya paksaan penegakan hukum’. Namun, UU ini juga memungkinkan perda untuk menentukan pidana atau denda di luar yang disebutkan atas dasar perundang-undangan lain. (Perhatikan perda syariat di Aceh). Hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan ancaman hukuman di perda adalah sifat alternatif-perhatikan kata ‘atau’- dari ancaman yang diatur di dalam UU ini. Jangan membuat ancaman hukuman kumulatif dari dua jenis pidana pokok itu.

UU ini tidak menyebut soal sanksi administratif dan sanksi keperdataan. Walau demikian, perda dapat memuat hal itu. UU No 10/2004 memungkinkannya. Sanksi administratif dapat berupa pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya paksa polisional sementara sanksi keperdataan dapat berupa ganti kerugian (Lampiran UU No.10/2004)

Menyangkut tentang kadar berat ringannya hukuman, dalam praktik, legislature biasa merumuskan ketentuan hukuman maksimal. Lalu diserahkan kepada hakim untuk menentukan ringan/beratnya hukuman dalam rentang sampai pada batas maksimal itu.

E. Merumuskan Norma Sanksi Dalam Kalimat Perundang-undangan di Batang Tubuh Perda

Dalam Lampiran UU No. 10/2004, ditentukan beberapa pedoman yang patut diperhatikan dalam menyusun norma sanksi di dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan termasuk perda. Namun, hal tersebut tidak akan diulang di sini. Aspek yang tidak dimuat akan dimuatkan di bagian ini menyangkut sisi kalimat perundang-undangannya.

Untuk merumuskan ketentuan sanksi, harus diperhatikan perumusan unsur-unsur pidananya. Hal ini biasa disebut perumusan delik. Gunanya adalah untuk memastikan bahwa tindak pidana yang terpaksa dimuat (ingat pemidaan adalah ultimum remedium) harus menghindari munculnya tindakan sewenang-wenang negara dan aparaturnya terhadap individu (dalam kasus yang tertentu institusi juga).

Seperti diketahui pemidanaan adalah tindakan negara merampas kebebasan tubuh atau harta benda dan bahkan keduanya atas individu. Tindakan ini hanya dapat dibenarkan dengan dasar yang sah jika pihak yang dituduh telah melakukan pelanggaran perbuatan yang dilarang dapat dengan akurat dibuktikan. Untuk kepentingan ini perumusan delik menjadi sangat penting. Perumusan delik di perda banyak sekali mengabaikan aspek ini.

Pada dasarnya kejahatan dibentuk oleh dua unsur yakni: actus reus dan mens rea. Secara sederhana prase latin yang disebut pertama itu berarti perbuatan atau tindakan fisik lahiriah dan frase kedua berarti sikap atau keadaan mental dalam melakukan tindakan dimaksud. Misalnya untuk delik menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja. Dalam delik ini unsur actus reus-nya adalah adanya perbuatan (apapun itu) yang dilakukan sehingga menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Sedangkan mens rea-nya adalah unsur kesengajaan itu. Contoh mens rea yang lain seperti pada perumusan delik berikut ini: “karena kelalainnya….”, “… patut diketahuinya...”

Orang yang hilang ingatan misalnya dapat saja melakukan perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa rang lain, namun dia tidak dapat dipidana karena unsur mens rea-nya tidak terpenuhi. Walaupun demikian memang dimungkinkan tidak secara eksplisit menyebutkan unsur mens rea ini karena misalnya jika perbuatan dimaksud dapat terjadi hanya jika keadaan mentalnya juga ikut terlibat. Kejahatan korupsi misalnya.

Jadi, dalam merumuskan delik harus menyebutkan dengan jelas: pihak (seperti: barang siapa, setiap orang; perbuatan apa yang dilarang (seperti: membongkar muat barang di kawasan C Terminal); dan ancam hukumannya denda paling banyak Rp. 50.000.000.,

Maka hindari perumusan ketentuan pidana sebagai berikut: Pelanggaran terhadap ketentuan peraturan daerah ini diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan kurungan atau denda paling banyak Rp 50. 000.000., (l.ima puluh juta rupiah). (Pasal 46 Perda Kab. Pekalongan No. 3 Tahun 2008 Tentang Terrminal).

*Makalah ini disampaikan pada pelatihan legislative drafting yang diselenggarakan oleh PATTIRO, Jakarta, 15 April 2009.

3 comments: