Sunday 21 December 2008

Melegalkan Tradisi Tolas Tma - Nikut Sebagai Model Dengar Pendapat Publik dalam Perumusan Kebijakan dan Pelayanan Publik di Kabupaten TTU

Oleh: Vincent Bureni—(bengkel APPeK NTT)

Partisipatif di era otonomi masih bergerak pada tataran normatif dan retorika. Masih mengambangnya prinsip partisipatif ini ditandai dengan belum adanya kebijakan di tingkat lokal (termasuk dalam bentuk Perda) yang mendorong atau menetapkan adanya keharusan untuk melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan publik. Dalam tataran yang lebih operasional, hingga saat ini belum ada mekanisme yang mengatur komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat secara memadai dengan standar yang jelas, dimana dengan mekanisme ini memungkinkan terakomodirnya kebutuhan dan permasalahan masyarakat dalam kebijakan publik. Mekanisme partisipasi masyarakat melalui sistim musrenbang dan reses yang dilakukan oleh DPRD untuk diproses menjadi kebijakan dan adanya perubahan kualitas pelayanan publik masih jauh dari harapan.

Dalam tataran praktis pola pendekatan pembangunan daerah di NTT pada umumnya termasuk kabupaten TTU yang terjabar dalam Sistim perencanaan, gejala umum dalam kajian lapangan pada berbagai diskusi diberbagai level baik dengan pemerintah maupun kelompok masyarakat secara umum pola pendekatan tersebut, cenderung masih teknokratis dan cenderung mengabaikan aspirasi masyarakat yang akhirnya menghasilkan kebijakan yang formalistik. Selain itu pola penjaringan aspirasi masyarakat oleh anggota legislatif melalui masa reses belum cukup menjamin terakomodirnya aspirasi masyarakat.

Pendekatan partisipasi yang dilakukan melalui kedua pola tersebut berdampak pada, Pertama; kecenderungan keterlibatan masyarakat sangat formalistik tanpa suatu kesadaran sabagai sebuah hak. sifatnya diorganisir ataupun ikut-ikutan. Artinya masyarakat terlibat jika ada undangan atau sudah merupakan agenda tetap suatu sistim perencanaan yang dilakukan setiap tahun pada bulan-bulan tertentu setelah itu masyarakat kembali melakukan aktivitas hariannya seperti biasa. Kedua; masyarakat berasumsi bahwa dalam kaitan dengan proses pengambilan keputusan terhadap pembangunan, pemerintahan dan persoalan kemasyarakatan adalah merupakan kewenangan pemerintah sementara masyarakat hanya sebagai pengguna dan pelaksana terhadap kebijakan tersebut. Kondisi ini diakibatkan oleh masih kuatnya pendekatan program sektoral yang dirumuskan oleh dinas atau instansi pemerintah. Ketiga; orientasii pembangunan melalui pendekatan-pendekatan tersebut lebih mengutamakan pembangunan fisik dibanding pembangunan manusia lainya seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi dan lainya kurang mendapat perhatian.

Walaupun demikian kedua pola tersebut sudah merupakan mekanisme dari sistim pemerintahan ini, tidak serta-merta diabaikan tetapi perlu didukung melalui suatu pola komunikasi untuk menjamin hubungan interaksi antar pemerintah dengan masyarakat, maupun Anggota legislatif dengan masyarakat/konstituenya dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat sipil untuk turut menyelesaikan berbagai persoalan pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan sebagai persoalan bersama.

Konsep Tolas Tma-Nikut

Kabupaten TTU sejak jaman kerajaan, kemudian muncul jaman swapraja dan hingga kini muncul sistim pemerintahan modern pendekatan pembangunan selalu memperhatikan tradisi budaya yang perkembang dan hidup. Kabupaten TTU dikenal dengan tiga swapraja besar yakni swapraja Miomafo, swapraja Insana dan swapraja Biboki yang disingkat BIINMAFO.

Tradisi penyaluran aspirasi masyarakat TTU baik swapraja Miomafo, Insana maupun swapraja Biboki, dikenal dengan Tolas Tmanikut.

Tolas-Tmanikut berasal dari kata Tolas artinya musyawarah, pertemuan atau rapat dan Tmanikut artinya berkumpul, berhimpun, bersama-sama. Musyawarah (tolas) tidak hanya melibatkan segelintir orang tetapi melibatkan semua yang berkepentingan, berkumpul secara fisik atau bersama-sama (tabua’) untuk membahas atau membicarakan sesuatu / beberapa hal yang menjadi kepentingan bersama (musyawarah). Dalam tutur adat sering kata tolas lebih dipertegas dengan sinonimnya yang lain yaitu kata Nikut, sehingga menjadi tolas-tabua, nikut-tabua’ (Toltabua’ ma tniuktabua’). Nikut atau Tniuktabua’ berarti : me-rapat yakni bergerak bersama-sama dari berbagai arah menuju satu titik “tolas” yang disepakati. Dalam arti yang lain, “nikut” dapat bermakna duduk bersama dalam bentuk lingkaran atau membundar. Dengan demikian, aspek-aspek penting dari tolas-tabua nikut-tabua’ adalah duduk bersama, dalam bentuk lingkaran, untuk bermusyawarah dan ada keputusan bersama.

Mengapa dalam bermusyawarah harus duduk membentuk lingkaran ?

Pertama, Berangkat dari filosofi rumah tinggal. Pada umumnya masyarakat tradisional Atoin meto’ pada zaman dahulu memiliki rumah tinggal yang disebut “uembubu’‘ (rumah bulat) yang dipasangkan dengan “lopo” yakni sebuah bangunan berbentuk bundar, bertiang empat tanpa dinding yang biasanya ditempatkan di depan atau di samping rumah (uembubu). Uembubu’ identik dengan perempuan dan Lopo adalah laki-laki. Pada zaman dahulu, perempuan tidurnya di Uembubu’ sedangan laki-laki tidur di lopo. Karena itu perempuan (isteri) dijuluki “Sontuaf” yang artinya tuan rumah. Rumah/Uembubu’ bukan tempat menerima tamu. Semua tamu hanya diterima di lopo. Termasuk untuk kepentingan pertemuan keluarga atau kepentingan-kepentingan lain yang melibatkan banyak orang dii luar penghuni rumah tangga sendiri. Dengan demikian Tolas-Tmanikut dengan sendirinya dilaksanakan di Lopo yang berbentuk bundar. Bentuk inilah yang berpengaruh terhadap cara duduk dalam setiap pertemuan yang harus berbentuk lingkaran berlapis dengan pemimpin rapat yang adalah “Amaf” (Kepala Suku) yang duduknya bersandar di bawah salah satu tiang lopo. Kedua, Filosofi yang terkandung dalam cara duduk yang berbentuk lingkaran berlapis itu adalah satu hati, setiap peserta musyawarah memiliki hak suara yang sama, program harus mendapat dukungan semua pihak (tidak mengenal voting). Momentum Tolas Tmanikut biasanya digunakan oleh suku/klen untuk membicarakan/membahas/ merencanakan atau memusyawarakan berbagai hal apa saja untuk kepentingan bersama di dalam suku atau klen. Tolas Tmanikut juga sering digunakan oleh pemangku jabatan pemerintahan dalam membicarakan tentang berbagai hal yang terkait dengan pelaksanaan pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengontrolan pelaksanaan pembangunan.

Dalam Tolas Tmanikut ini biasanya disepakati hal-hal yang harus dilaksanakan demii kebaikan dan kesejahteraan bersama, disamping juga putusan-putusan yang tidak boleh dilanggar (larangan-larangan yang harus dipatuhi yang disertai dengan sanksi-sanksi adat, seperti denda dalam bentuk sopi, uang dan hewan yang disebut OPAT.

Mekanisme Tolas Tmanikut Masa Kerajaan dan Swapraja

Pemberi Informasi Tolas Tmanikut. Biasanya sebelum tolas tmanikut diawali dengan informasi tujuan/topic diskusi yang disampaikan oleh mafefa / Apeat. Mafefa atau apeat ini akan menyampaikan informasi dari raja kepada amaf Hitu sebagai amaf tertua dan selanjutnya amaf hitu akan mengundang amaf-amaf dan atau suku-suku dibawahnya yang lain untuk melakukan tolas tmanikut melalui Nai Boas.

Peserta Tolas Tmanikut. Peserta rapat terdiri dari perempuan dan laki-laki. Namun dalam tradisi Insana, Biboki maupun Miomafo, perempuan hanya berfungsi untuk menyiapakan tempat dengan membuka tikar dan menyiapkan tempat siri untuk Loe kepada para peserta rapat yang hadir. Perempuan tidak diperbolehkan untuk mengikuti rapat karena menurut anggapan laki-laki perempuan tidak bisa menyimpan rahasia. Jadi perempuan dijuluki sebagai “Bife Kon Luman”/ perempuan tidak berkumis. Setelah itu perempuan kembali mengambil posisi dibelakang dan tidak disertakan dalam tolas tmanikut.

Proses Tolas Tmanikut. Pimpinan rapat ditingkat raja dengan amaf-amaf dipimpin oleh raja sementara ditingkat amaf dengan suku-suku dipimpin oleh amaf naek dari amaf-amaf.
Proses Tolas tmanikut diawali dengan persembahan sebotol sopi dan siripinang yang ditaruh diatas meja sebagai simbol bahwa proses diskusi akan segera dimulai. Sopi dituang dan diederkan untuk diminum oleh peserta dan langsung diawali penyampaian maksud dan tujuan tolas tmanikut.

Penyampaian aspirasi dari peserta, biasanya disampaikan oleh Mafefa (juru bicara suku-suku). Jadi untuk menyampaiakan pendapat, tidak semua peserta yang hadir menyampaikan pendapat namun diwakili oleh mafefa.

Pengambilan keputusan. Kesimpulan hasil tolas tmanikut secara keseluruhan disimpulkan secara bertingkat yaitu jika tolas tmanikut itu dilakukan antara raja dan amaf maka disimpulkan oleh Malasi sementara untuk tingkat amaf dengan suku disimpulkan oleh mafefa. Hasil simpulan tersebut disampaikan kepada peserta dan masyarakat umum (tob’) untuk ditindaklanjut atau dijalankan. Jika tidak ada yang menjalankan keputusan tersebut maka yang bersangkutan diberi sanksi Tua Kusi Bijae Tobo’ ( 1 botol sopi, 1 ekor babi dan 1 karung beras) sebagai wujud pedamaian/ganti rugi terhadap kesalahan yang dilakukan. Selanjutnya jika yang bersangkutan tidak mampu membayar maka yang bersangkutan dirotani oleh raja.

Dalam proses tolas tmanikut keputusan diambil oleh raja terhadap hasil simpulan yang disampaikan oleh mafefa atau malasi. Kemudian diturunkan dalam bentuk perintah untuk dilaksanakan.

Fasilitator. Dalam tradisi Tolas Tmanikut, fasilitator dikenal sebagai orang yang meluruskan masalah yang disebut dengan Anon Molok atau anon lasi.

Gambaran trdisi Tolas Tmanikut tersebut menunjukan bahwa pada jaman kerajaan hingga jaman swapraja ada model muswarah untuk mufakat dengan mekanisme jelas. Namun budaya ini masih merupakan budaya tutur sehingga hasil proses dan hasil Tolas Tmanikut tidak didokumentasikan dengan baik. Walaupun demikian dengan mengadalkan ingatan ketaatan untuk menjalankan hasil musyawarah sangat tinggi. Selain karena kesadaran tetapi juga karena sanksi adat yang membuat masyarakat tersebut menjalankan dan takut untuk melanggar kesepakatan.

Dengan fakta sistim perencanaan dan reses disatu sisi dan tradisi Tolas Tmanikut disisi lain dengan kelebihan dan kekuranganya, maka pemerintah TTU bekerjasama dengan pemerintah German melalui program Good Local Governance (GLG) yang dimediasi oleh Bengkel Advokasii Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung (Bengkel APPeK) NTT merumuskan model dengar pendapat publik dengan tetap mengacu pada tradisi atau nilai-nilai lokal yang memiliki roh dan spirit demokratisasi dan Good Governance. Program kerjasama ini sudah dilaksanakan sejak Desember 2007 hingga Oktober 2008. untuk efektifitas pelaksanaan perumusan model ini maka terbentuk sebuah tim kerja kolaborasi yang berasala dari pemerintah kabupaten TTU (Bappeda, Pemdes, PMD, pihak kecamatan), Akademisi (UNIMOR), LSM (YABBIKU dan LAKMAS) dan pemerintah desa yang mewakili 3 swapraja yakni desa Tes dan desa Noebaun (Miomafo), desa Loeram (Insana) dan desa Orinbesi (Biboki).

Perjalanan yang panjang mulai dari diskusi kampung di desa, kajian naskah akademis, perumusan model, lokakarya, dialog publik dan diksusi rutin lainnya ditingkat tim kerja, maka menghasilkan sebuah model dengar pendapat publik versi TTU yang disebut TOLAS TMANIKUT. Untuk menjamin pelaksanaan Tolas Tmanikuta maka pemerintah Kabupaten TTU melegalkan model ini menjadi Peraturan Bupati TTU Tentang PEDOMAN PELAKSANAAN TOLAS TMANIKUT ANTARA MASYARAKAT DAN PEMERINTAH DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK DAN PELAYANAN PUBLIK DI KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA. Peraturan ini masih bersifat draf karena masih ada kajian lanjutan untuk memperdalam substansi peraturan Tolas Tmanikut.

Mengapa Tolas Tmanikut Di-legalformal-kan?

Ada 4 Tujuan mendasar tolas Tmanikut dikembangkan menjadi model dengar pendapat adalah pertama; meningkatkan keterlibatan masyarakat dan stakeholders dalam upaya perumusan kebijakan atau peraturan, kedua; Menemukan solusi yang lebih berdasarkan pada permasalahan dan kebutuhan masyarakat lokal dan dapat diterima, ketiga; memperbaiki dan memperluas mekanisme alokasi (redistributif) dari kebijakan yang telah diambil dan keempat adalah mendorong adanya pembentukan kesepakatan dan penyelesaian konflik secara terlembaga dalam penyusunan kebijakan publik dan pelayanan publik.

Model Tolas Tmanikut ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah disatu sisi dan masyarakat disisi lain. Bagi pemerintah TTU dengan adanya tolas tmanikut, maka: (1) pemerintah dapat memperoleh data dan informasi sebagai dasar penyusunan dan penetapan suatu kebijakan dan peraturan berdasarkan data dan fakta yang lebih komprehensif; (2) Meningkatkan komunikasi yang efektif di antara masyarakat dengan pemerintah secara lebih partisipatif; (3) Sebagai instrument untuk menunjukan kinerja pemerintah yang lebih transparan, tanggap, dan akuntabel; dan (4) Meningkatkan dukungan publik terhadap kebijakan yang direncanakan atau dihasilkan.

Sementara manfaat yang akan dipereoleh masyarakat adalah bahwa dengan adanya Tolas Tmanikut maka (1) Posisi tawar masyarakat dalam sebuah kebijakan menjadi lebih terlembagakan, (2) Memiliki instrument untuk mendesakkan kebutuhan dan kepentingannya kepada para pengambil kebijakan; (3) Menyampaikan keluhan, usulan, dan masukan-masukan tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik yang mempengaruhi kehidupan masyarakat

Substansi Atau Isi Tolas Tmanikut Sebagai Model Dengar Pendapat Publik Dalam Draf Peraturan Bupati

Draf Peraturan bupati TTU tentang pedoman pelaksanaan Tolas Tmanikut antara masyarakat dan pemerintah dalam perumusan kebijakan publik dan pelayanan publik di kabupaten timor tengah utara memuat beberapa substansi penting yakni :

I. Kriteria masalah. Suatu masalah dapat dijadikan sebagai acuan dalam pelaksanaan Tolas Tmanikut jika memenuhii kriteria sebagai berikut : Kebutuhan mendesak, Kebutuhan yang telah diusulkan berulang-ulang, Berdampak luas bagi publik, Meresahkan banyak orang, Diskriminatif (ketidakadilan) dalam kebijakan dan pelayanan serta Program Dadakan. Kriteria-kriteria tersebut dijadikan sebagai kriteria umum untuk mengikat berbagai komponen dalam melakukan Tolas Tmanikut, agar menghindari persoalan-persoalan atau masalah-masalah yang bersifat pribadi.

II. Lingkup Masalah. Terdapat tiga lingkup masalah Tolas Tmanikut yakni a) Kebijakan Publik, b) Pelayanan Publik dan c) Persoalan lokal yang khusus. Ketiga lingkup masalah ini sangat berkaitan dengan kriteria masalah. Artinya dalam hal perumusan/perencanaan hingga evaluasi kebijakan pelayanan publik benar-benar mengacu pada kriteria – kriteria tersebut perlu di Tolas Tmanikut-kan sehingga kebijakan yang dihasilkan dan pleyanan publik yang dilakukan benar-benar efektif, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan oleh semua pihak.

III. Penyelenggaraan Tolas Tmanikut. Penyelenggaraan tolas tmanikut sangat berhubungan dengan 1) siapa pelaku Tolas Tmanikut? bagaimana mekanismenya? Bagaimana Biayanya? Seperti apa tahapan pelaksanaanya?.

(1) Pelaku Tolas Tmanikut. Dalam penyelenggaraan Tolas Tmanikut ada tiga aktor penting yakni penginisiatif, Peserta dan fasilitator. Pertama, Penginisiatif. Tolas Tmanikut dapat dapat saja diinisasi oleh pemerintah, DPRD, warga sipil maupun pihak ketiga (Perguruan Tinggi, LSM dan pengusaha). Karena itu sebelum penginisiatif ini perlu menyiapkan data dan informasi yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Penginisiatif ini pun tidak saja menginisiasi proses tolas Tmanikut tetapi juga mengawal hasil Tolas Tmanikut sehingga dapat menginformasikan kepada pihak-pihak yang terkait dengan masalah tentang perkembanganya. Kedua, Peserta. Peserta Tolas Tmanikut tidak mengikat tetapi dapat membuka ruang bagi unsur-unsur yang terkait dengan topik pembahasan diantaranya; Masyarakat umum, Masyarakat terkait masalah, Tokoh masyarakat, Tokoh agama, Tokoh adat, Unsur perempuan, Tokoh pemuda, Unsur pendidikan dan akademisi, Asosiasi profesi, Lembaga swadaya masyarakat, Aparatur pemerintah, Anggota dewan perwakilan rakyat daerah Timor Tengah Utara. Peserta berhak menyampaikan pendapat dalam tolas tmanikut serta berhak memberikan usulan dan pertimbangan sebagai alternatif pengambilan kebuputasn dalam proses tolas tmanikut. Selain memiliki hak, perserta juga memiliki kewajiban mengikuti proses mulai dari awala sampai akhir proses tolas tmanikut, wajib mentaati ketertiban proses tolas tmanikut dan wajib menginformasikan hasil tolas tmanikut kepada pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan manfaat dan atau dampak hasil tolas. Ketiga, Forum Pengawal Tolas Tmanikut. Dalam rangka efisiensi dan efektifitas hasil Tolas Tmanikut, maka dibentuk Forum Pengawal Tolas Tmanikut yang berada pada tingkat Kabupaten yang beranggotakan setiap tingkatan administrasi pemerintahan Desa/kelurahan, kecamatan dan kabupaten.

Syarat-syarat keanggotaan Forum Pengawal Tolas Tmanikut terdiri dari
a) Memahami keseluruhan proses Tolas Tmanikut,
b) Memahami persoalan yang terjadi di masyarakat dan
c) Memiliki komitmen untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Dalam substansi inipun mengatur dengan jelas tugas anggota forum pengawal yakni ; Mengumpulkan data dan informasi, Menganalisasi hasil inventarisir/identifikasi masalah, Memfasilitasi proses Tolas Tmanikut sesuai dengan mekanisme/pentahapannya, Menindaklanjuti kesepakatan yang diperoleh kepada pihak pengambil keputusan, Menginformasikan hasil pengawalan Tolas Tmanikut kepada publik dan Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan Tolas Tmanikut. Keempat Anon-Molok (Fasilitator). Dalam rangka memudahkan dan memperlancar proses Tolas Tmanikut maka dibutuhkan Anon Molok (Fasilitator) yang diambil dari amaf, kader-kader daerah yang memiliki sifat netral dan mampu untuk mendengarkan orang lain dengan perananya sebagai berikut: Menjembatani ketika terjadi kebuntuan dalam proses Tolas Tmanikut, Mengkanter berbagai isu negatif yang muncul terkait dengan hasil yang disepakati dalam proses Tolas Tmanikut, dan Menyampaikan keseluruhan hasil kesapakatan dalam proses Tolas Tmanikut’ kepada semua pihak

(2) Mekanisme Tolas Tmanikut.

a) Bentuk Pelaksanaan Tolas Tmanikut. tolas Tmanikut dapat berbentuk langsung dan tidak langsung. Bentuk langsung berupa tatap muka berbagai pihak untuk membahas secara tuntas terhadap sebuah topik pembahasan sampai menemukan solusi bersama dengan metode musyawarah mufakat. Bentuk tidak langsung yakni penyampaian pengaduan atas persoalan dengan menggunakan media cetak, elektronik, line telphon dan email.

b) waktu dan tempat Tolas Tmanikut. Waktu Tolas Tmanikut dapat dijadwalkan dan atau tidak terjadwal. Waktu tidak terjadwal yang dimaksud adalah Kapan saja ketika ada permasalahan ditingkat masyarakat dan diinisiasi oleh masyarakat dan atau Kapan saja ketika pemerintah hendak menyusun, menyosialisasikan dan mengevaluasi suatu kebijakan dan pelayanan publik sementara Waktu terjadwal yang dimaksud adalah Setiap dua kali setahun diluar masa reses dan musrenbang, dijadwalkan oleh pemerintah kabupaten dan DPRD kabupaten Timor Tengah Utara serta pada saat pra musrenbang, proses musrenbang dan setelah musrenbang yang telah dijadawalkan oleh pemerintah. Tolas tmanikut dapat saja dilakasanakan pada tingkat wilayah administrasi pemerintahan kabupaten Timor Tengah Utara yakni tingkat desa dan Kelurahan, Tingkat Kecamatan dan atau Tingkat Kabupaten. Pelaksananaan tolas Tmanikut sebagaimana dimaksud ini berdasarkan masalah yang timbul dan dirasakan oleh masyarakat sesuai kriteria masalah dan letak kewenangan penyelesaian masalah.

C) Tahapan Pelaksanaan Tolas Tmanikut. Tim kerja Tolas Tmanikut mengembangkan tahapanya dalam tiga tahap penting yakni Tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap Monitoring dan evaluasi.

C.1) Tahap persiapan merupakan tahap awal yang menjadi dasar tahap pelaksanaan dan monev. Untuk itu pada tahap persiapan, diawali dengan pengumpulan data untuk memperdalam akan masalah yang timbul oleh penginisiatif baik pemerintah, masyarakat maupun pihak ketiga. Penginisiatif memperdalam pemahaman akan masalah dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan panduan berikut bagi perumusan masalah yang tepat: Apa topik masalahnya? Apa saja penyebabnya? Jika ada pelakunya, maka diperjelas siapa pelakunya? Apa akibat langsung dari masalah yang timbul? Apa saja dampak lanjutan yang ditimbulkan? Apa saja usulan tindakan perbaikan/penyelesaian yang mungkin diambil bagi kepentingan semua pihak? Apa keuntungan atau manfaat dari tindakan penyelesaian masalah? Yang dibantu dengan format sederhana untuk menyaring masalah – masalah menjadi masalah prioritas yang dalam substansi Tolas Tmanikut disebut sebagai Format Identifikasi dan pembobotan prioritas masalah. Pada format ini, kriteria penilaian yang digunakan untuk menilai suatu masalah terdiri atas dua bagian yakni kriteria akibat dari masalah yang ditimbulkan dan kriteria sebab (penyebab) yang menimbulkan atau turut memicu munculnya masalah. Kriteria akibat terdiri dari mengancam nyawa, banyak yang dirasakan, dan mengganggu produktivitas. Sementara kriteria penyebab terdiri dari ada atauran/kebijakan, ada dukungan program dan potensi masyarakat. Setelah menentukan prioritas masalah maka langkah selanjutnya adalah Analisis Pelaku dan Perilaku bermasalah. Analisis ini dibantu dengan format yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mengetahui pelaku – pelaku dan perilaku bermasalah yang ditimbulkan terhadap suatu masalah baik yang datang dari masyarakat maupun lembaga. Penyebutan pelaku jangan menyebut nama orang tetapi alangkah lebih baik jika dalam bentuk status/strata dan lembaga baik pemerintah maupun non pemerintah. Uraian perilaku bermasalaha berdasarkan pelaku dari suatu masalah prioritas, artinya sebuah masalah prioritas pelakunya bisa lebih dari satu dan setiap pelaku bisa lebih dari satu perilaku bermasalahnya. Langkah selanjutnya adalah penginisiatif bersama pihak yang terkena dampak atau yang mengalami masalah menganilisis Penyebab perilaku bermasalah dan akibat yg ditimbulkan. Format ini digunakan untuk menganalisis sebab-sebab suatu perilaku bermasalah ditimbulkan oleh pelaku serta mengetahui akibat langsung maupun lanjutan yang akan terjadi peilaku bermasalah tersebut. Format ini juga membantu kita untuk mengetahui berapa banyak korban dari prilaku bermasalah yang ditimbulkan tersebut. Karena itu dari hasil penentuan perilaku tersebut, dikaji lebih jauh tentang penyebab, akibat yang ditimbulkan, banyaknya korban dari perilaku bermasalah serta tindakan penyelesaianya. Untuk menentukan suatu tindakan penyelesaian atau perbaikan mengacu pada penyebab timbullnya perilaku bermasalah dan dapat juga peserta dapat merencanakan tindakan perbaikan terhadap akibat yang ditimbulkan. Logikanya tindakan perbaikan dilakukan guna menyelsaikan penyebab perilaku bermasalah dan dapat menghilangkan akibat yang timbul dari perilaku bermasalah tersebut. Langkah berikut dari tahap persiapan ini adalah Menentukan Prioritasi Tindakan Perbaikan/penyelesaian. untuk menentukan bahwa apakah tindakan penyelesaian/perbaikan tersebut prioritas untuk dijakdikan sebagai alternatif penyelesaian masalah atau tidak maka digunakan bobot tindakan. jumalh bobt tertinggi berdasarkan ururtan dan atas petimbangan berbagai kemampuan dan kewenangan maka akan dijadikan sebagai prioritas untuk dilaksanakan dan akan dibahas pada tahap II proses tolas tmanikut.

Selanjutnya Perumusan kesimpulan hasil analisis masalah. Rumusan dibuat dalam bentuk deskriptif dengan struktur tulisan sebagai berikut:

• Latar Belakang
- Gambaran masalah yang meliputi jawaban akan apa, mengapa, kapan, dimana, siapa?
- Gambaran proses identifikasi masalah.
• Prioritas Masalah
• Penyebab
• Akibat/dampak yang Ditimbulkan
• Usulan Rencana Penyelesaian
• Penutup

Langkah terakhir dari tahap persiapan ini adalah Kesimpulan beserta lampiran lainnya disampaikan kepada pemerintah sesuai wilayah permasalahan (desa da kelurahan, kecamatan, dan kabupaten) dimana masalah itu timbul.

C.2) Tahap II Pelaksanaan Tolas Tmanikut. Permasalahan yang disampaikan oleh penginisiatif direspon oleh pemerintah sesuai dengan wilayah permasalahan. Selanjutnya Mempersiapkan moderator dan notulis Tolas Tmanikut, Mempersiapkan alat dan bahan bagi kelancaran Tolas Tmanikut, Mempersiapkan ruangan tempat pelaksanaan Tolas tamnikut dan Melaksanakan Tolas Tabua’ sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Hal-hal lain terkait penyelenggaraan Tolas Tmanikut yakni Penutupan pendaftaran peserta selambat-lambatnya adalah 1 jam sebelum pelaksanaan, Khusus peserta aktif, wajib menyerahkan materi presentasi saat pendaftaran, Pihak penyelenggara wajib untuk mengundang dan menghadirkan wakil pemerintah, paling kurang pihak Asisten Kepala Daerah dan Kepala SKPD terkait. Wakil pemerintah hendaknya yang berkapasitas untuk mengambil keputusan. Setelah itu Membangun Kesepakatan Bersama yang tertuang dalam perjanjian kerjasama dan Rekomendasi. Peserta Tolas Tmanikut melakukan perencanaan aksi bersama terhadap tindakan perbaikan/penyelesaian prioritas dengan menggunakan format aksi bersama. Perumusan perjanjian kerjasama dan Rekomendasi. Perumusan Nota Kesepakatan dan Rekomendasi dilakukan secara bersama-sama dengan mengacu pada tindakan aksi bersama. Selanjutnya Penandatangan kerjasama dan Rekomendasi. Hasil tolas tmanikut ini kemudian disosialisasi hasil kesepakatan kepada publik (berupa pengumuman di Radio, Koran, Media Keagamaan, papan informasi, serta media pengumuman lain yang relevan di tingkat komunitas).

c.3) Pasca Pelaksanaan.
 Monitoring. Penyelenggara melakukan pemantauan terhadap tingkat penyelesaian masalah dan Pemerintah berkewajiban mempublikasikan tingkat penyelesaian masalah (melalui media yang ada; papan informasi, pers, mimbar institusi keagamaan dll) berdasarkan Nota Kesepakatan

Evaluasi. Evaluasi kesepakatan dan pelaksanan kesepakatan (apakah ada pihak yang dirugikan, sejauhmana kesepakatan dilaksanakan). Yang melakukan evaluasi adalah elemen-elemen yang terlibat dan penerima manfaat dari masalah tersebut. Pemerintah (sesuai wilayah permasalahan) wajib membuat laporan tertulis pada bupati

d. Mekanisme Komplain. Dalam Tolas Tmanikut ini, substansi mengatur juga tentang mekanisme keberatan atau komplain. Keberatan atas pelaksanaan hasil Tolas Tmanikut disampaikan secara tertulis maupun secara lisan kepada satuan kerja dan atau pihak terkait melalui sarana yang tepat dan dapat dipercaya. Keberatan yang dimaksud dapat dilakukan jika terjadi penyimpangan kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian kerjasama dan atau Perjnajian Perbaikan dan rekomendasi. Sarana yang tepat dan dapat dipercaya dalam bentuk; Tatap muka, Publikasi melalui media, Demonstrasi, Surat pengaduan dan Kotak pengaduan

e. Pembiayaan. Pembiayaan pelaksanaan tolas Tabua dapat bersumber dari APBD Kabupaten, Swadaya dan Sumbangan pihak ketiga.

IV. Kedudukan Tolas Tmanikut Versus Musrenbang dan Reses

Tolas Tmanikut merupakan sebuah sarana komunikasi politik antara masyarakat dengan pemerintah di luar musrenbang dan reses. Karena itu kehadiran Model Tolas Tmanikut menjadi sarana alternatif dalam rangka membangun partisipasi masyarakat dalam rangka perumusan kebijakan dan pelayanan publik yang efektif dan akuntable. Jadi pada prinsipnya, kehadiran Tolas Tmanikut melengkapi berbagai sarana komunikasi yang dibangun selama ini.

*******

Pada akhirnya tim kerja kolaborasi mengucapkan terimaksih atas dukungan pemerintah daerah Kabupaten Timor Tengah Utara yang bekerjasama dengan Pemerintah Jerman melalui program Good Local Governance yang menghidupakan kembali nilai Tolas Tmanikut dengan tetap mengintegrasikan nilai demokrasi sehingga pada akhirnya dapat menciptakan pemerintahan daerah yang baik. Terimaksih juga disampaikan pada ibu Bivitri Susanti (Peneliti senior PSHK Jakarta) yang sudah membantu tim dari aspek legal formalnya, juga kepada teman-teman pers yang turut menyumbang; yopy (timor express) Ibu Ana Djukana (Pemred harian kota Kursor) dan terisitimewa Rusdi (Sahabat FM) yang selalu meliput secara langsung setiap kegiatan tim....Salam...

Wednesday 5 November 2008

Rakyat Menangkan Obama, Obama Menang?

Oleh: Rizky Argama

Tidak lama lagi, dunia segera tahu, Obama atau McCain yang akan menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) periode berikutnya. Lepas dari kenyataan bahwa sesungguhnya--menurut saya--tidak akan ada dampak yang sangat bermakna bagi keseluruhan masyarakat Indonesia apabila Obama menang atau kalah, ada yang lebih menarik untuk kita ulas terkait perhelatan akbar ini.

Hal menarik itu adalah sistem pemilihan yang digunakan di AS, yaitu "electoral college". Seperti diketahui, sistem ini membedakan antara "popular vote" dan "electoral vote", tolong dikoreksi kalau salah terminologi. "Popular vote" termanifestasikan melalui suara rakyat AS yang masuk ke setiap negara bagian, dan selanjutnya digabung dan dijumlahkan secara nasional. Seandainya, pada penghitungan suara ini, Obama meraih dukungan terbanyak, ternyata tidak dengan sendirinya McCain dinyatakan kalah dalam pemilihan ini.

"Electoral vote"-lah yang menentukan hasil final. "Electoral college",
lembaga inilah yang juga sangat menarik kita bahas kedudukannya. Tahun 2000, ketika Bush Jr berhadapan dgn Al Gore, hasil "popular vote" berbanding terbalik dengan "electoral vote". Pilihan keseluruhan rakyat AS lebih banyak jatuh ke Al Gore, sementara "electoral" menyatakan lain, dan akhirnya Bush Jr-lah yang berhak atas kursi AS-1.

Sistem inilah yang oleh sebagian orang (termasuk warga AS) disebut demokrasi semu. Ternyata, AS tidak menggunakan suara rakyatnya secara langsung untuk menentukan pemimpin, melainkan melalui sebuah "lembaga pemilih" yang oleh Konstitusi AS diberi wewenang untuk mewakili rakyatnya.

Bagaimana sebenarnya sistem pemilihan di AS?Apa itu "electoral college", dan bagaimana kedudukan serta fungsinya? Pertanyaan-pertanyaan ini yang menurut saya sangat menarik untuk dibahas secara mendalam.

Hal lain yang juga menarik, lihatlah kejadian tahun 2000, walaupun hasil pilihan rakyat dan hasil pilihan "electoral" bertolak belakang, namun tak terjadi gejolak yang berarti di tengah masyarakat Negeri Paman Sam. Apa jadinya seandainya sistem seperti ini diterapkan di Indonesia?

Jadi, jangan riang dulu kalau Obama dapat suara paling banyak malam ini. Perubahan melalui slogan "CHANGE, We Believe In" bisa saja urung terjadi seandainya "electoral" berkata lain esok malam.

Wednesday 22 October 2008

Kisah Sang Bangku Rusak

Oleh: Eryanto Nugroho

Konon sejarahnya, istilah bangkrut alias bankrupt berasal dari bahasa Italia “Banco Rupto” (Bangku Rusak). Di tanah kelahiran mafia itu, pada zaman dahulu orang melakukan bisnis keuangan (perbankan) dengan duduk di bangku-bangku pada suatu lapangan terbuka tengah kota yang disebut piazza. Banco Rupto menggambarkan suatu kejadian dirusaknya bangku-bangku para bankir yang mangkir bayar atau merugi berat sehingga tidak bisa berbisnis lagi.

Atraksi rusak-merusak bangku itu kelihatannya begitu mengesankan sehingga menular ke mana-mana, termasuk ke tanah nusantara yang sebenarnya justru lebih didominasi oleh tradisi lesehan, alias duduk tanpa bangku. Ada tiga fase pengaturan soal kebangkrutan di Indonesia, mulai dari fase Faillissement Verordening tahun 1906 yang terpaksa diberlakukan pasca kemerdekaan, fase UU No.4/1998, dan UU No.37/2004 yang merupakan revisi paling mutakhir.

Badai permohonan kepailitan sempat melanda saat krisis ekonomi melanda indonesia. Pada akhir tahun 1999 tercatat sampai 100 permohonan kepailitan didaftarkan di Pengadilan Niaga, pengadilan khusus yang dibentuk untuk menangani soal instrumen hukum untuk urusan rusak-merusak bangku tadi. Jumlah ini kian menurun seiring berjalannya waktu, 84 permohonan pada tahun 2000, 61 permohonan pada tahun 2001, 39 permohonan pada tahun 2002 dan seterusnya hingga kini yang rata-rata berkisar 20-30 permohonan pertahun.

Kalau zaman dahulu kita sering perlu merujuk ke Roma yang mengaku punya banyak jalan untuk mencapainya, di zaman modern ini kita terpaksa perlu melirik sejenak apa yang terjadi di New York sana.

Tiga lembar formulir permohonan kepailitan sukarela yang diajukan oleh Lehman Brothers Holdings Inc menyentak banyak orang di berbagai penjuru dunia. Selama beberapa minggu bebagai pemberitaan dan analisis ditebarkan secara intensif oleh para ahli. Supaya terlihat berwawasan global, beberapa orang (termasuk penulis) yang bahkan tidak punya tabungan yang cukup di bank, merasa perlu untuk urun rembug dalam berbagai obrolan santai, seolah-olah keluarga Lehman itu tetangga kita yang kena musibah.

Entah berapa bangku keluarga Lehman yang harus dirusak dengan hutangnya yang mencapai sekitar USD 600 miliar. Tak ada yang pernah menyangka, perusahaan raksasa yang awalnya berdagang kapas itu bisa bangkrut tak berdaya seperti itu. Pemikir pro-kebebasan pasar merengut, pemikir anti-pasar berkerenyit waspada, orang-orang yang malas berpikir cuma bisa berharap agar periuk nasinya yang sudah lama karatan, tak perlu juga dilego.

Sebetulnya sejak awal sudah jelas-jelas salah untuk percaya pada Lehman Brothers. Segala jenis perusahaan yang menggunakan kata “brothers” sudah dengan sendirinya patut untuk dicurigai akan mementingkan keluarga atau kroninya sendiri. Dikecualikan dari itu tentunya para maestro seni seperti “Everly Brothers”, “Twisted Sisters” ataupun “Koes Bersaudara” karena nilai kerugian finansial yang mungkin bisa mereka timbulkan sangatlah kecil, terlebih bila investasi kita adalah versi bajakannya.

Kita tinggalkan saja kisah bangku rusak Lehman bersaudara itu. Biarkan proses kepailitan di amerika sana berjalan dan kita lihat bagaimana nasib pembayaran kepada para kreditor yang sebagian besar tidak punya jaminan itu.

Lalu bagaimana perjalanan kisah sang bangku rusak di Indonesia?

Sejak krisis tahun 1998 lalu, instrumen kepailitan ala kebangkrutan warung kaki lima yang dipakai oleh Faillissement Verordening sudah dianggap tidak memadai lagi. Aset pailit yang harus dibereskan semakin kompleks dan bernilai raksasa. Belum lagi ada desakan banyak kreditor (asing) yang khawatir uangnya tidak kembali. Alhasil lahirlah rangkaian revisi UU Kepailitan, tahun 1998 dan tahun 2004, yang melahirkan Pengadilan Niaga dengan berbagai penajaman pengaturan kepailitan yang lumayan galak di sana sini.

Belum sampai sepuluh permohonan yang masuk pada awal 1998, dunia bisnis Indonesia sudah geger. PT. Modern Land yang memiliki aset lebih dari Rp.600 miliar, dinyatakan pailit hanya karena utang sebesar Rp.94 juta kepada Pak Sani dan Pak Subekti yang mutung karena apartemennya tidak selesai dibangun. Walaupun kepailitannya kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung, garangnya instrumen hukum kinyis-kinyis ini lumayan membuat banyak orang berhutang bergidik ketakutan.

Sayangnya kehebohan itu tidak berlangsung lama. Setelah satu dasawarsa, kini instrumen kepailitan tak lagi menarik bagi kreditor, debitor, akademisi dll. Instrumen kepailitan tidak terbukti cukup efektif bagi kreditor yang ingin uangnya kembali. Terlalu banyak jurang, lengkap dengan ular berbisa disana-sini, yang sering mengakibatkan aset kepailitan malah terbang kesana kemari. Ada kurator nakal, kreditor fiktif, hakimnya tidak paham, debitor tidak kooperatif, jaksa dan polisi yang tak mendukung dll.

Terlalu sering bahkan tidak tersisa satu bangku pun untuk dirusak kreditor sekedar untuk melampiaskan emosi. Debitor pun tidak takut, dan tidak juga malu lagi untuk pailit. Alih-alih malu bangkunya rusak, seorang debitor pailit di Indonesia malah dipercaya menduduki bangku kedudukan sebagai Gubernur di Gorontalo sana. Seorang debitor pailit sejatinya adalah seorang yang sudah tidak dipercaya lagi oleh hukum untuk mengelola asetnya sendiri, sehingga perlu diambil alih seorang kurator. Ngurus aset sendiri nggak becus, kok bisa dipercaya mengurus aset satu daerah? Apa kata dunia?

Tidak ada data yang jelas tentang jumlah kepailitan di Indonesia yang sukses. Kabarnya ada segelintir permohonan rehabilitasi, tapi perlu ditelusuri lagi lebih lanjut kisah suksesnya itu.

Tahun 2004 lalu sebetulnya ada kisah sukses kepailitan dari sebuah perusahaan yang didirikan oleh orang Jawa Timur asli. Namanya Anthony Fokker yang lahir di Blitar pada tahun 1890. Sayangnya perusahaan Cak Fokker ini dipailitkan di negeri Belanda, sehingga walau peraturan kepailitannya 90% mirip (alias dicontek) dengan peraturan kepailitan Indonesia, tetap saja kisah suksesnya milik si bangsa keju itu. Sayang Rek! Setelah delapan tahun kepailitan berjalan, perusahaan Cak Fokker ini berhasil membayar sebagian besar utang-utangnya, 100% utang untuk kreditor Fokker Aircraft B.V , dan 37.03% untuk kreditor Fokker N.V.

Tapi tentu kita tidak boleh iri apalagi frustrasi. Terlebih lagi tulisan melantur ini juga harus segera berakhir dan segera menyajikan penutup berupa solusi ciamik yang seakan-akan bisa menyelesaikan semua hal. Satu pilihan klise adalah menyajikan solusi yang sering diusulkan banyak penelpon linglung di berbagai diskusi radio malam hari: Kembali ke hati nurani (diucapkan dengan nada bijak).

Untuk tulisan ini penulis memilih untuk mengajak pembaca sekalian untuk berimajinasi saja. Jangan-jangan instrumen rusak-merusak bangku memang tidak cocok untuk Indonesia yang lebih suka duduk-duduk di tikar atau bale-bale. Masih terkenang pesan Alm. Prof. Dan Lev pada suatu pagi yang sepi di PSHK, “Hukum Indonesia perlu imajinasi”, ungkapnya sambil tersenyum wicaksana.

Friday 17 October 2008

Permendagri tentang Penerimaaan dan Pemberian Bantuan Ormas dari dan kepada Pihak Asing

Setelah berulangkali gagal memasukkan revisi UU No.8/1985 Tentang Ormas ke dalam prioritas legislasi nasional tahunan, Departemen Dalam Negeri pada tanggal 15 Agustus 2008 yang lalu mengeluarkan Permendagri No.38/2008 Tentang Penerimaaan dan Pemberian Bantuan Organisasi Kemasyarakatan Dari dan Kepada Pihak Asing (Permendagri).

Sesungguhnya tidak ada yang benar-benar baru dari materi muatan yang diatur dalam Permendagri ini. Pengaturan mengenai keharusan untuk mendapatkan persetujuan pemerintah dalam hal mendapatkan bantuan dari pihak asing sesungguhnya telah diatur dalam PP No.18/1986 Tentang Pelaksanaan UU Ormas.

PSHK telah menyusun analisis singkat mengenai Permendagri tersebut. Untuk mendapatkannya, silakan klik pranala ke situs PSHK di bawah ini:

Monday 13 October 2008

LDT I PSHK di Bali, Juli 2008

Ini video LDT I PSHK di Bali Juli 2008 lalu. Pelatihan yang terbuka untuk umum ini pernah kami umumkan di sini. Dan "opening video"-nya juga sudah kami unggah ke sini. Sekarang, silakan nikmati videonya! :-) Video ini sudah diedit (bukan yang asli dari Rendra) supaya pas di youtube dan juga ada bagian-bagian yang diminta untuk dihilangkan oleh pihak-pihak tertentu yang pingin jaim ;-)

Enjoy!

Tuesday 23 September 2008

Sorelam, Bukan Soleram!

Penulis: "Mpok Noeri"
(tulisan ini dikopi dari situs PSHK)

Kalau anda pernah jadi anak-anak, tentu tak asing lagi di telinga anda lirik lagu anak-anak nasional berjudul “Soleram” yang terkenal itu
“Soleram anak yang manis. Anak manis janganlah diganggu sayang, kalau diganggu marahlah papanya.”
Tentu, tak mengherankan apabila si papa marah, kalau si anak manis diganggu. Sesuatu yang disayang, tentu akan dijaga dengan sepenuh hati.

Meskipun “Soleram” si anak manis sudah sangat terkenal, belum begitu halnya dengan “Sorelam”. Karena, pada saat ini, “Sorelam” masih merupakan anak yang baru lahir. Sehingga tidaklah aneh, jika orang belum menyayangi “Sorelam” yang masih asing ini. Siapakah yang disebut “Sorelam” itu?

“Sorelam” itu anaknya PSHK. Dari sebuah proses persalinan yang panjang dan melelahkan, melalui pergulatan panjang merumuskan konsep dan gagasan, para peneliti PSHK sampailah pada sebuah gagasan besar menyangkut pembentukan hukum yang ideal.

”Sorelam” yang merupakan kependekan dari ”socially responsible lawmaking” (pembentukan hukum yang bertanggungjawab sosial) dipandang dapat menjadi jawaban akan keresahan yang timbul akibat tumpulnya proses politik dan berliku-likunya proses perubahan hukum di Indonesia. Sebagai sebuah gagasan yang dipikirkan matang-matang, ”Sorelam” menjadi anak manisnya PSHK. Kalau sampai diganggu, marahlah ibunya.

Apa yang dimaksud dengan pembentukan hukum yang bertanggungjawab sosial? Pembentukan hukum dapat dilihat sebagai suatu proses yang berkelanjutan. Produk hukum (perundangan) tidaklah dibentuk sekali jadi dan dapat diaplikasikan dalam segala situasi dan kondisi. Karena itu pulalah pembentukan hukum menjadi menarik. Di balik dapur tempat produk hukum itu digodok, tersimpan sengitnya tarik ulur politik berdasar kepentingan politik para pembuatnya.

Hukum yang bertanggungjawab sosial adalah hukum yang dapat menawarkan pemecahan praktis bagi sebuah masalah sosial, sekaligus mengantisipasi timbulnya masalah sosial baru dengan berangkat dari asumsi/presumsi yang bersifat umum.

Seorang perancang produk perundangan yang menyayangi ”Sorelam”, akan sepenuh hati menjaga prinsip ini. Produk yang dibuat tidak hanya cerminan kepentingan pribadi/partisan saja – kepentingan pribadi/partisan bagaimanapun tak mungkin dihindarkan, namun produk tersebut juga harus dapat memberikan solusi yang nyata bagi masalah sosial. Karenanya, kecakapan untuk mengenal dan merumuskan masalah sosial merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki perancang produk perundangan – selain, tentu saja, pengetahuan dan pemahaman akan kehidupan sosial yang baik.

Dalam hal antisipasi timbulnya masalah sosial, tentu pembuat undang-undang tak lepas dari keterbatasan ruang dan waktu. Produk hukum yang dihasilkan, harus dilihat tak lebih dari asumsi/presumsi dalam konteks tertentu saja. Karenanya, di dalam prakteknya, peran lembaga peradilan sebagai pemegang kekuasaan mengadili menjadi penting.

Hakim sebagai penyelesai perselisihan, mengemban tugas untuk dapat menyelesaikan konflik-konflik yang timbul karena adanya perbedaan interpretasi implementasi, maupun perbedaan antara asumsi yang dipakai pembuat undang-undang dan kenyataan di lapangan. Fungsi seperti ini, membuat hakim juga tak jarang disebut telah ”membentuk hukum” – lepas dari perdebatan demokratis tidaknya kondisi tersebut, sehingga sering dipakai istilah yang lebih halus seperti ”menggali hukum”, ”menemukan hukum”, atau ”menghaluskan hukum, praktek tersebut pada kenyataannya tak dapat lagi dihindari.

Untuk dapat mengeluarkan putusan yang bertanggungjawab sosial, seorang hakim juga harus memahami masalah sosial yang dulunya ingin dipecahkan oleh pembuat undang-undang. Hakim tersebut pada dasarnya harus menjalankan amanat yang tertuang di dalam ketentuan undang-undang.Apabila sebuah putusan bukan hanya bentuk implementasi dari undang-undang atau bahkan berbeda dengan ketentuan perundangan, maka harus ada penjelasan yang cukup dari hakim, setidaknya memuat hal-hal berikut: (1) Asumsi/presumsi apa yang (dulunya) dipakai oleh pembuat undang? (2) Bagaimana implementasi ketentuan tersebut dalam perkara bersangkutan? (3) Mengapa ketentuan tersebut harus disimpangi? (4) Bagaimana seharusnya ketentuan yang dipakai dalam perkara bersangkutan? (5) Mengapa harus begitu?

Pendek kata, ”Sorelam” adalah sebuah prinsip yang dapat dijadikan pegangan seorang perancang dengan visi perubahan dan kemajuan (progresif), sekaligus prinsip yang dapat menjadi pegangan hakim progresif dalam menjaga terciptanya sebuah proses yang jujur dan adil.

Sebuah proses yang jujur dan adil, mau tidak mau, bukan hanya harus dapat memberikan keadilan substansiil, namun juga mensosialisasikan amanat perundangan agar dipahami oleh khalayak pencari keadilan. Sekali lagi, ”Sorelam”, bukan ”Soleram”.
*”Satu dua tiga dan empat, lima enam jalan yang rata. Kalau tuan hendak jadi wakil rakyat, lihat dan dengar masalah mereka.”*

Wednesday 13 August 2008

Menormakan Model Partisipasi

Menarik sekali yang dilakukan oleh Bengkel APPeK (Advokasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kampung) ini. Mereka mau membuat Model Dengar Pendapat dalam Proses Perumusan Kebijakan dan Pelayanan Publik di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Kota Kupang. Saya sedang di Kefa, TTU, pada saat menulis ini; dan sedang terinspirasi.

Mereka ingin membuat model dengar pendapat (hearing) menjadi pengaturan. Letih dengan forum-forum dengar pendapat yang tak membuahkan hasil dan janji-janji yang tak dipenuhi.

Dalam kajiannya, Tim menggunakan daftar periksa ROCCIPI (Rule, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, Ideology). Untuk yang belum tahu, ROCCIPI ini adalah alat analisis yang merupakan bagian dari Metode Pemecahan Masalah (MPM) rumusan Bob dan Ann Seidman yang disebarluaskan oleh PSHK. Tim Bengkel APPeK ini memang dulunya kerja di Sanlima dan pernah mendapat pelatihan PSHK di Kupang 2003 lalu. Setelah pelatihan itu, mereka membuat panduan penyusunan Perdes berdasarkan MPM, dengan dukungan dana dari YAPPIKA.

Analisisnya bagus dan cukup 'genuine'. Bukan model “copy-paste” Perda yang biasanya terjadi, sayangnya termasuk di kalangan akademisi. Bahkan, mereka belum lihat Perda Transparansi dan Partisipasi Lebak, Gorontalo, dll.

Tolas Tabua’

Di TTU ini, yang ramai diangkat adalah mekanisme adat yang bernama “Tolas Tabua”. Saya sendiri baru belajar tadi malam dan seharian ini. Selain diberikan catatan 4 halaman tadi malam, saya lagi jadi pelajar yang tekun pada bapak-bapak ini (hanya ada satu ibu :-( ). Filosofinya luar biasa. Ini kutipan dari 4 halaman informasi yang diberikan oleh tim kajian kepada saya:

Tolas artinya musyawarah, pertemuan atau rapat. Tabua’ artinya berkumpul, berhimpun, bersama-sama. Jadi tolas-tabua’ dapat diartikan sebagai musyawarah bersama-sama. Kata Tabua’ sebenarnya hanya menegaskan kata Tolas; bahwa yang namanya musyawarah (tolas) tidak hanya melibatkan segelintir orang tetapi melibatkan semua yang berkepentingan, berkumpul secara fisik atau bersama-sama (tabua’) untuk membahas atau membicarakan sesuatu / beberapa hal yang menjadi kepentingan bersama (musyawarah). Dalam tutur adat sering kata tolas lebih dipertegas dengan sinonimnya yang lain yaitu kata Nikut, sehingga menjadi tolas-tabua, nikut-tabua’ (Toltabua’ ma tniuktabua’). Nikut atau Tniuktabua’ berarti : me-rapat yakni bergerak bersama-sama dari berbagai arah menuju satu titik “tolas” yang disepakati. Dalam arti yang lain, “nikut” dapat bermakna duduk bersama dalam bentuk lingkaran atau membundar.

Prosesnya terbagi tiga. Pertama, SEON-BASAN (sapa). Pemimpin rapat (mnasi’/amaf) meminta sebotol sopi (minuman keras di daerah Timor dan sekitarnya) dan tempat sirih (kabi’) dari pemilik hajatan dan meletakkannya di depan para peserta rapat lalu menginformasikan tentang maksud pertemuan, atas nama pemilik hajatan (Tua tonas). Kedua, MANENAN HANAF-MANOEB HANAF (saling dengar pendapat). Tahap ini adalah pembahasan materi rapat yang dipimpin oleh amaf/mnasi’ tadi.Mekanisme yang ditempuh dalam musyawarah ini adalah saling dengar pendapat (manenan hanaf) dan berbicara secara bergilir (manoeb hanaf) hingga mendapatkan suatu kesepakatan. Pada umumnya tidak terjadi banyak pertentangan dalam musyawarah sejenis ini karena dilandasi filosofi matoup-mafit (saling bergandeng tangan dan saling meringankan beban). Ketiga, MOLKE ’FEKAN - MOLKE ’BELAN. Tahap ini dilakukan semacam kesimpulan yang dibuat oleh amaf/mnasi’ dengan mengulangi hal-hal yang telah disepakati, kemudian sebagai penutup dikukuhkan dengan minum bersama sebotol sopi. (Kemudian bisa juga dilanjutkan dengan acara makan bersama atau minum bersama sebelum bubar).
Saya melihat prosesi itu dengan sopi dan lain-lain, sama dengan ketika seorang fasilitator mencairkan suasana. Semua orang didorong untuk berbicara. [Footnote: kesimpulan saya dan vincent: partisipasi akan terjadi dengan baik ketika mabuk! :-)... Inilah “air kata-kata” :)). Pak Kepala Bappeda saat ini lagi berapi-api mempraktekkan gaya “amaf” tidur-tiduran santai setelah membagikan sopi dan menunggu orang tipsy :-)... siapa mau jadi “amaf” tunjuk tangan!]

Namun seperti banyak mekanisme adat lainnya, prosesi ini sebenarnya sangat elitis (dalam konsep pemimpin adat dalam konteks monarki) dan bias jender. Saya hanya kuatir mereka terjebak dalam kerangka ini. Dalam Tolas Tabua’ ini, perempuan tidak ikut diskusi dan mereka tidak mengenai voting. Mereka harus keluar dengan mufakat dan kalau sampai terlalu lama ada yang tidak sepakat akan diusir dari komunitasnya.

Di dalam diskusi kelompok yang sedang saya nikmati ini, orang ramai berdebat dalam dua titik ekstrim: mendewa-dewakan dan mengritik tolas tabua’. Saya tadi mengingatkan kelompok pendukung untuk mengingat dua hal dalam konteks “masa lalu”. Pertama, asumsinya pada masa lalu tetua adat bisa dipercaya sebagai orang yang luar biasa bijak sana. Kontraskan dengan orang-orang culas yang terpilih karena politik uang. Kedua, soal mufakat itu, dulu mungkin bisa diterima dengan tujuan “harmoni” dalam komunitas masyarakat adat. Sekarang? Bisa dilakukan dengan amplop atau dengan ancaman.

Hukum Yang Tidak Menindas, Tetapi Memberdayakan

Tulisan ini saya lanjutkan di Kupang. Di Kupang saya diskusi intensif dengan kawan-kawan tim kajian, jadi saya bisa menyampaikan langsung pertanyaan-pertanyaan saya. Sebenarnya masih ada yang belum tuntas di kepala saya: seperti apa sebenarnya pengaturannya. Yang saya pahami, mereka ingin memaksa semua orang yang mau melakukan dengar pendapat untuk menggunakan model ini. Daya paksanya ada di mana? Model pengaturannya nanti seperti apa? Janji politik tidak bisa punya sanksi. Dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan kritis saya dalam rapat sempat membuat mereka sedikit “down”, merasa bahwa ekspektasi mereka pada hukum salah. Sebenarnya bukan salah, ini soal cara melihat hukum. Setelah diskusi sekitar 2 jam, rasa “down” itu hilang, malah semangat. Masukan untuk mereka saya buat dalam catatan singkat dan saya cuplik sedikit di bawah.

Cuplikan:

Tim Kajian mengusulkan kriteria, prosedur, dan tindak lanjut dengar pendapat secara rinci. Namun setelah mengetahui kelemahan-kelemahan tersebut dan solusinya, pertanyaan besarnya adalah: bagaimana caranya membuat forum dengar pendapat yang lebih efektif menjadi terlembagakan? Terlembagakan di sini bukan dalam arti organisasi, namun menjadi sesuatu yang biasa dilakukan dalam sebuah pemerintahan yang demoratis dan responsif. Pemerintah daerah perlu terbiasa mengelola forum dengar pendapat sebagai efektif dan “kebutuhan” untuk membuat kebijakan yang responsif. Sementara rakyat yang sudah skeptis perlu didorong untuk memahami bahwa pengelolaan pemerintahan membutuhkan peran serta mereka dan tidak semua hal bisa diserahkan begitu saja kepada pemerintah sehingga bila ada yang tidak diakomodasi maka mereka bisa menuntut. Yang ingin kita lakukan di sini adalah pelembagaan komunikasi dalam pembentukan kebijakan.

Peraturan seringkali dilihat sebagai jalan keluar terbaik untuk mengubah perilaku secara massif; melembagakan suatu mekanisme. Namun masalahnya, apa yang perlu diatur agar peraturan itu dapat diterapkan dengan efektif dan tidak hanya menjadi teks tak bermakna?

Yang pertama kali harus dipahami adalah bagaimana suatu peraturan bisa mempunyai “daya paksa”. Daya paksa peraturan bisa lahir karena adanya ancaman sanksi atau adanya insentif. Dalam istilah organisasi biasa dikenal dengan punishment and reward. Negara juga pada hakekatnya adalah suatu organisasi, yang sangat kompleks. Dalam peraturan, sanksi diberikan dalam bentuk sanksi pidana, berupa kurungan dan denda; serta sanksi administratif. Sementara insentif diberikan dalam bentuk memberikan sesuatu sebagai insentif; serta mendapatkan sesuatu dalam prosedur administrasi tertentu, misalnya kenaikan pangkat.

Isu berikutnya, di mana letak peraturan yang mengatur dengar pendapat? Hal ini penting diketahui untuk meletakkan dengan tepat persoalan sanksi dan insentif ini. Hukum ada untuk mengatur relasi antara negara, pemerintahan, dan warga negara. Karena itulah ada hukum publik (hukum pidana, hukum administrasi pemerintahan, hukum tata negara), yang mengatur relasi negara dan pemerintahan dengan warga negara; dan ada hukum privat yang mengatur relasi antar-warga atau badan hukum (hukum perdata). Persoalan dengar pendapat dalam kebijakan publik berada di arena hukum administrasi negara. Hukum administrasi mengatur prosedur-prosedur dalam administrasi pemerintahan.

Tentu saja ada keinginan kuat untuk membuat model ini diikuti oleh semua pihak yang ingin mengadakan dengar pendapat. Untuk itulah peraturan dianggap jalan keluarnya. Namun dua catatan di atas membuat kita mesti berhati-hati dalam mengatur dengar pendapat ini. Dalam konteks pembuatan kebijakan, yang bisa diatur adalah pembuat kebijakan itu sendiri. Apakah bisa memaksakan “masyarakat”, baik sebagai penyelenggara dengar pendapat ataupun sebagai peserta yang wajib hadir, dalam peraturan ini nantinya? Dalam suatu peraturan yang mempunyai kekuatan memaksa, tentu saja hal ini bisa dilakukan, namun dengan cara apa?

Hukum tidak selalu berwajah “seram” sebagai instrumen pemaksa dengan memberi ancaman sanksi. Peraturan jangan sampai hanya berwajah represif, yang pada akhirnya bisa mematikan inisiatif dan kreativitas. Hukum bisa dilihat dari sisi lainnya, yaitu hukum yang memberdayakan dan hukum yang bisa memfasilitasi demokrasi secara substansial.

Dalam konteks pembicaraan kita, peraturan mengenai model dengar pendapat yang dibuat jangan sampai justru membuat inisiatif kelompok-kelompok masyarakat sipil melemah dan mati karena peraturan dianggap membebani dengan memaksa mereka melalui sanksi, sementara prosedur yang harus dilakukan juga tidak sederhana. Misalnya dengan mengatakan bahwa setiap orang atau organisasi yang tidak melaksanakan dengar pendapat model ini akan diberi sanksi denda sekian rupiah. Secara ilmu perundang-undangan pun, tidak semua hal bisa dikategorikan sebagai tindak pidana.

Dalam kerangka pikir hukum yang memberdayakan, maka usulan saya adalah untuk membuat pengaturan yang memaksa pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan memberikan insentif bagi masyarakat sebagai pihak yang diharapkan ikut mendorong lahirnya kebijakan yang responsif.

Konkritnya, model ini nantinya disyaratkan sebagai bagian dari proses pembuatan kebijakan. Pembuat kebijakan (pemerintah) wajib melaksanakan model ini. Bila tidak maka ada sanksi administratif yang diberikan ataupun ada mekanisme keberatan yang bisa berujung pada pembatalan kebijakan. Sementara kelompok-kelompok masyarakat sipil didorong untuk mengadopsi model ini dengan memberikan insentif berupa semacam jaminan bahwa topik yang dibahas didengar dan ditindaklanjuti oleh pembuat kebijakan. Siapapun bisa saja membuat forum dengar pendapat dengan model apapun, namun hasil dengar pendapat yang menggunakan model ini akan lebih efektif karena pembuat kebijakan diikat untuk melaksanakannya.

***

Saya kagum sekali sama mereka. Dengan caranya sendiri, merekalah yang telah memperluas pengetahuan saya, bukan sebaliknya seperti yang berulang kali mereka katakan. Ke luar Jakarta selalu memberi inspirasi dan memperluas pengetahuan. Itulah sebabnya saya selalu memilih ke daerah kalau ada jadwal yang bentrok antara acara di Jakarta dan di daerah. Saya merasa semangat hidup saya sedang diisi ulang. I am charged.

Wednesday 6 August 2008

Siklus Legislasi

Februari dan Maret 2008 yang lalu, saya menjadi salah satu trainers dalam Pelatihan Perancangan Peraturan yang diadakan oleh Asian Law Group (Melbourne) untuk ACCESS/AusAid. Pelatihannya diadakan di beberapa wilayah kerja ACCESS, yaitu Senggigi (untuk Lombok Barat dan Lombok Timur), Waingapu (untuk Sumba Timur), Bau Bau, dan Makassar (untuk Bantaeng dan Jeneponto). Yang Bau Bau saya nggak bisa ikutan karena sudah ada komitmen conferences, jadi Erni yang ikutan. Trainers lainnya: Campbell Duncan, Simon Butt, dan Riris. Mirip dengan 2005: dua orang Australia dan 2 orang Indonesia dan waktu itupun saya bersama Campbell, jadi sudah lumayan biasa dengan segala tabiat dan body language dia yang lucu. Bedanya pada 2005 ada tambahan narasumber tamu. Saya dan Campbell bersama bersama Bang Sony Maulana dan Rob Baiton, plus Rowena Armstrong. Dulu juga language facilitator-nya Fiona. We're such a good team! :-)

Ada dua yang berbeda antara training ini dengan training yang biasanya PSHK lakukan: ada field trip dan materi agak baru yang dibawakan Campbell.

Campbell memperkenalkan "legislation cycle" serta metode "converging" dan "diverging" dalam merumuskan peraturan. Legislation cycle bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Terminologi ini sudah lumayan dikenal di beberapa literatur yang saya baca. Namun tidak banyak yang membahasnya di Indonesia.

Campbell membuka makalahnya dengan mengatakan:

Laws are constantly being made, amended, repealed and replaced. But it makes no sense to ask – why can’t law-makers get it right, once and for all? Why? Law-making is a continuous process which is never completed. New needs arise, circumstances change, and law-makers and administrators learn from experience. When one phase of the law making process is completed, another starts: each builds on the phase which has preceded it. For this reason, law-making can be seen as a cycle—


Sekadar perbandingan, MPM memperkenalkan empat tahap dalam perancangan: (1) mengidentifikasi masalah sosial, (2) menemukan penyebab masalah sosial, (3) mencari solusi, dan (4) monitoring dan evaluasi. MPM lebih fokus ke proses penelitiannya yang agak mirip analisis sosial. Sehingga pentahapan yang dilakukan lebih ke penelitiannya itu sendiri ketimbang sebagai sebuah proses legislasi. Namun yang menarik, dua-duanya sama-sama menggambarkan pentingnya melihat ulang sebuah peraturan: review atau evaluasi. Justru karena percaya bahwa legislasi adalah kebijakan, maka keduanya menempatkan monitoring dan evaluasi di dalam tahap-tahapnya. Saya jadi teringat petanyaan seorang peserta dalam sebuah training. Menurutnya undang-undang seharunya tidak perlu diubah-ubah karena menciptakan ketidakpastian hukum. Sayangnya pandangan ini lumayan banyak ditemukan di kalangan birokrasi. Peran hukum dibatasi pada kepastian, ketertiban. Dan proses perancangan dibenturkan pada soal anggaran dan waktu secara tidak proporsional (mereka sering mengeluh soal biaya partisipasi yang besar, lupa bahwa biaya-biaya tidak resmi seperti kasus RUU Bank Indonesia dan pengeluaran inefisien seperti studi banding itu jauuuh lebih besar dari biaya membuat diskusi bersama stakeholders).

Maaf, saya lagi kena komplikasi antara males nulis, pingin pulang, kepanasan (AC di PSHK sudah nggak dingin di atas jam 10 malam), kehausan tapi malas ke pantry, digigit nyamuk, dan banyak kerjaan :-). Jadi saya malas menulis lebih banyak soal legislation cycle dan converging-diverging. Mungkin Riris bisa nambahin Ris? :-)

Yang jelas, field trip-nya seru. Saya sangat menikmati field trip, meski ini berarti kerjaan trainers nambah dan biasanya pada hari field trip kami akan luar biasa capek, terutama karena kepanasan (manja! :-)), terutama waktu di Waingapu dan Jeneponto. Sebelum field trip peserta dibekali dulu metode wawancara dan survey, difasilitasi dalam merumuskan panduan wawancara dan kuesioner, serta mensimulasikan FGD.


Saya menikmati field trip karena saya jadi banyak ketemu kenyataan di "lapangan". Tentang desa yang tidak mengenal WC, tentang penduduk yang digusur untuk sebuah bendungan, tentang anak-anak kecil yang lari-lari telanjang mengikuti Campbell yang "bule", tentang anak umur 16 tahun dengan anak berusia 6 bulan, tentang perempuan-perempuan yang jadi tulang punggung keluarga dengan mengambil rumput laut yang hampir habis, tentang desa tanpa air mengalir. Tentang Indonesia.

Harta Karun PSHK

Tuesday 13 May 2008

Mau Ikut Pelatihan PSHK?

"Peraturannya sih sudah bagus, tapi pelaksanaannya aja yang buruk."

Pernyataan di atas seolah menjadi jawaban pamungkas atas berbagai permasalahan hukum di negeri ini. Benarkah demikian? Lalu mengapa pelaksanaannya buruk? Bukankah baik buruknya pelaksanaan juga tergantung baik buruknya sebuah peraturan? Bagaimana caranya membuat suatu peraturan yang menjamin adanya pelaksanaan yang baik? Mungkinkah ini dilakukan?

Temukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas pada Pelatihan Perancangan Peraturan Perundang-undangan yang digelar PSHK dengan tema "Drafting in Neverland"

Bertempat di Kuta Bali, 21-25 Juli 2008.

Untuk keterangan lebih lanjut klik www.pshk.or.id

Tuesday 6 May 2008

Pelatihan di Aceh dengan MiSPI dan UNICEF

29 Feb sampai 4 Maret yang lalu, PSHK mengadakan pelatihan perancangan peraturan perundang-undangan di Banda Aceh. Pelatihan ini diadakan bersama dengan MiSPI (Mitra Sejati Perempuan Indonesia) dan didukung oleh UNICEF. Trainers-nya Ery, Ronald, Reny, dan Irfan. Maryam dan Wiwid, dua anak "baru" di PSHK, ikut sebagai peserta dan "asisten" para trainers :-).

Agak berbeda dengan pelatihan-pelatihan sebelumnya, pada pelatihan kali ini PSHK menggunakan perspektif anak untuk mendorong adanya Qanun Perlindungan Anak. Pelatihan ini menjadi satu rangkaian dengan penelitian tentang hak anak di Aceh yang dilakukan oleh PSHK, MiSPI, dan UNICEF. Karena itu pesertanya juga pemangku kepentingan soal hak anak. Ada yang dari Ornop di Aceh, Pemda, akademisi, dll.

Menariknya juga, pas beberapa minggu sebelumnya, trainers dari PSHK baru mendapatkan training vibrant facilitation dari Inspirit. Jadi yang awalnya baru saya (bibip), Rival, dan Erni yang sudah mulai mengembangkan "vibrant training" (let's call it this way), sekarang semua mulai secara kreatif banyak menggunakan permainan, lagu, gambar, dan banyak hal lainnya. Thanks to Mas Dani dan Mbak Budhsi! :-)

Seperti bisa dilihat di video di bawah (yuuk diklik! :-)), pelatihannya sangat menyenangkan. Tapi tentu saja semua materi tetap tersampaikan dengan baik. Justru, menurut beberapa peserta, mereka bisa lebih mengingat sebagian besar materi dengan pendekatan ini. Karena ini pelatihan perancangan, bagian "serius"-nya tetap saja ada, dengan latihan-latihan membuat Naskah Akademik dan draf Qanun. Namun cara mempresentasikan dan mensimulasikan materi banyak dikombinasikan dengan cara-cara yang lebih kreatif.

Monday 28 January 2008

Ada Seni Perancangan Di Bau-bau

Saya baru saja memberikan pelatihan perancangan peraturan kepada para fasilitator desa di Bau-bau Sulawesi Tenggara pada 21-24 Januari 2008 lalu. Training ini sungguh luar biasa. Luar biasa, karena pesertanya sebagian besar adalah orang-orang desa, petani, nelayan, ibu rumah tangga. Luar biasa, karena ternyata mereka memiliki kecerdasan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Dan luar biasa, karena selama pelatihan saya tidak merasa lelah sama sekali secara mental, setiap sesi menjadi ajang untuk berkreasi dan belajar bersama.


Pelatihan kali ini, saya total mengawinkan metode MPM dengan vibrant. Sehingga jangan heran, jika presentasi masalah sosialnya dilakukan dengan pementasan drama, proses legislasi dengan ular tangga, menemukan masalah sosial dengan diskusi kelompok dan solusi dengan sebuah poster. Peserta juga membuat jingle tentang ROCCIPI, yang membantu mereka mengingat pisau analisis tersebut dengan cara yang mudah. Mereka juga dapat belajar sistematika perundang-undangan dengan lebih baik dengan permainan kartu. Saya juga sempat belajar sebuah tarian dari Muna dari Lia salah seorang peserta yang sangat cerdas.

Presentasi masalah sosial dengan menggunakan pementasan drama ternyata membuat imaginasi para peserta lebih tergali. Sayapun tidak mengira dengan waktu yang sangat terbatas, mereka dapat menyiapkan drama yang begitu baik. Mereka berhasil memetakan aktor dan perilaku bermasalahnya tanpa harus diterangkan panjang lebar terlebih dahulu. Saat refleksipun peserta dapat menangkap kata kunci dalam sesi ini yaitu “institusi”.

Pelatihan ini membuat saya berpikir dan berefleksi tentang metode konsultasi publik yang sering dilakukan di DPR. Sebagian besar didominasi dengan forum-forum adu ilmu, hingga tidak heran jika kita lebih sering berdebat soal pendapat Kelsen atau Rousseau dibandingkan keinginan Ibu Asmah atau Bapak Jayasin, lebih banyak berdebat teks daripada konteks. Forum-forum seperti ini terlalu “menakutkan” bagi sebagian besar masyarakat. Bagaimanapun berhadapan dengan seorang anggota DPR yang terhormat atau akademisi yang pinter-pinter, membuat apa yang semula sudah ada di kepala dan tenggorokan, kembali tertelan. Saya lalu berkhayal, andakaikan masyarakat boleh menyampaikan pendapat mereka melalui drama, melalui lagu atau melalui gambar sederhana yang mereka coretkan, mungkin akan lebih mudah buat mereka. Sehingga naskah akademis kita tidak hanya dihiasi oleh sederetan nama tokoh hukum, tapi ada juga nama Ibu Asmah, Bapak Jayasin dan Ibu Dahlia.